Senin, 08 Desember 2014

Representasi Isu Hijau dalam Periklanan Indonesia: Middle Class as Green Hero


Arief Sofyan Ardiansyah
Kajian Budaya dan Media, Pascasarjana UGM

ABSTRACT
Advertising is part of a social phenomenon of contemporary consumer society. Objects in the ad does not stand alone but is formed by a system of language. Through language, the ad shows people's daily practice in the relationship in which power relations including lifestyle supported by consumptive life. Currently, when environmental issues became popular, the ad was taking shape of it into a green advertising. Construction of meaning "green" in the ad shows a paradox .This article found that green with the tagline "saving energy" and "environmentally friendly" is just mask of reality. Existing green ads actually build a new type of consumption that make environmental issues a new class marker. A class that builds their superiority by creating an upper middle-class subjects as environmental heroes.
This article takes a case on ads household electronic appliance be energy efficient so that it can be used by the lower classes that would basically eliminate the distinctive nature of the upper class. However, through the construction of the myth of the upper middle class as environmental heroes then this distinctive trait can be maintained simultaneously keep open the possibility of lifestyling. Through this green advertising, capital is able to expand its market reach lower class consumers while keeping the upscale market.
This article looks at the construction of the imaginary subject position creates a distinctive imaginary relationship that is able to maintain the hierarchy between the lower class and upper class, although both consume the same thing
Keywords: Representation, identity, consumption


Introduction
            Saat ini wacana hijau sedang populer di Indonesia. Indikatornya, isu hijau masuk dalam pembahasan media massa besar dengan berbagai tema. Institusi pendidikan pun menggalakkan program green campus dan green school. Berbagai wacana lingkungan pun terus direproduksi di berbagai media. Bahkan isu hijau kemudian digunakan dalam iklan. Isu hijau digunakan dalam berbagai macam varian. Ada yang sekedar menjadi background iklan, ada yang memang memasarkan produk yang diklaim hijau, ada juga yang sekedar menambahkan citra-citra hijau pada produk dan ada juga yang menjual isu hijau sebagai bentuk advokasi lingkungan (Corbett, 2006, 149 – 154).
            Salah satu iklan yang menarik perhatian adalah iklan alat elektronik yang menyatakan diri eco friendly dan hemat energi. Iklan ini menurut saya sangat unik. Terdiri dari berbagai macam paradoks makna yang saling berbenturan namun dapat membentuk sebuah kesatuan. Seperti misalnya, pada satu sisi menyatakan hemat energi namun di sisi lain justru mempromosikan gaya hidup konsumtif lewat relasi antar tokoh dan pemilihan scene. Kata “hemat energi” itu sendiri merupakan sesuatu hal yang sangat bermasalah. Karena, hemat energi artinya alat elektronik tersebut dapat digunakan pada rumah dengan daya listrik rendah. Maka, produk yang dahulu hanya bisa digunakan kelas menengah ke atas seperti air conditioner, lemari es dan mesin cuci kini bisa digunakan oleh kelas bawah.
            Throstein Veblen berkata, kelas atas menggunakan konsumsi untuk membedakan diri dari kelas-kelas di bawahnya dalam hierarki sosial, sementara kelas-kelas bawah berupaya meniru mereka (dalam Ritzer&Smart, 2012,825). Melihat teori Veblen, frasa “hemat energi” justru menghilangkan perbedaan antara kelas atas dan kelas bawah dalam hal konsumsi. Hal ini bisa saja membahayakan bagi modal karena membuat konsumsi kehilangan sifat distingtifnya. Namun ternyata tak menghentikan modal untuk terus melempar iklan serupa tapi tak sama ke pasar. Hal ini memunculkan kecurigaan bahwa ada sebuah cara yang digunakan iklan untuk tetap menjaga hierarki antara kelas menengah ke atas dan kelas bawah. Paper ini berusaha untuk mengkaji hal tersebut dengan menggunakan teori Stuart Hall tentang representasi. Berusaha melihat bentuk representasi isu hijau dalam iklan hijau/lingkungan produk elektronik di Indonesia.


Iklan sebagai Representasi
Barker menyebutkan representasi merupakan salah satu kajian utama dalam cultural Studies, yaitu tentang bagaimana dikonstruksi dan disajikan secara sosial kepada dan oleh diri kita (Barker, 2005, 10). Salah satu acuan penting dalam teori representasi adalah tulisan Stuart Hall, Representation through language is therefore central to the processes by which meaning is produced (1997, 01). Representasi adalah proses produksi makna dengan mengenakan bahasa sebagai sarana utamanya. Bahasa digunakan untuk menghadirkan kembali atau menggantikan kehadiran subjek/objek.
Kemudian Hall melanjutkan, terdapat dua sistem representasi yang terlibat dalam proses pemaknaan yaitu mental representation yaitu meaning depend on the system of concept and image formed in our thought which can stand for or represent the world, enabling us to refer to things both inside and outside our heads. Sistem di mana semua subjek/objek baik peristiwa, manusia dihubungkan dengan satu konsep representasi mental. Tanpa adanya konsep tersebut dalam kepala kita, kita tak dapat menginterpretasi segala sesuatu yang ada di dunia. Kedua adalah bahasa, karena dengan bahasa kita mengkonstruksi makna atas dunia. Hal ini dapat berlangsung bila kita memiliki akses pada bahasa tertentu. Seperti yang kita lihat, walaupun terpisah dalam penjelasannya, namun keduanya adalah sebuah kesatuan yang saling membangun satu sama lain dan tak mungkin dipisahkan (1997, 17 – 18)
Bahasa bisa berwujud kata – kata, tulisan atau citraan visual seperti iklan. Iklan merupakan teks budaya yang mendasarkan pada kepercayaan – kepercayaan budaya, stereotype serta shared belief (Frith dan Mueller, 2003, 119). Iklan merupakan jendela yang signifikan untuk melihat proses produksi dan reproduksi ideologi (Noviani, 2009). Ideologi yang membentuk relasi kuasa yang dibangun dari konstruksi atas kelas, identitas dan gaya hidup lewat bahasa.


Advertising List
Semua iklan adalah teks sosial yang merespon perubahan penting pada masa mereka muncul ( Kellner, 2010, 340). Studi ini menggunankan dua objek kajian iklan yang dirasa merepresentasikan perubahan sosial ini, yaitu :

1.      Panasonic Econavi – Atikah Hasiholan versi “precious moment, dad version”
2.    Toshiba Glacio – Hemat Listrik versi “Untuk Semua”


Selanjutnya kedua iklan tersebut akan disebut sebagai iklan 1 dan iklan 2.


IKLAN 1. Green Individual Saving (Account)
            Iklan ini menceritakan seorang ayah dengan keluarga bahagia sesuai standar pemerintah dengan dua anak cukup yang menganggap rumah dan keluarganya sebagai hal yang paling berharga. Pada awal scene kemunculan tokoh ayah, ia sedang berada di jalan raya.
Gambar 1.1
Gambar 1.2

            Penggambaran suasana malam di atas menyembunyikan kelamnya asap knalpot. Kelap-kelip berbagai lampu di jalan seakan menampilkan suasana romantisme keindahan malam. Membuat kemacetan terlihat menawan sambil menyembunyikan kegelisahan sosial atas pertumbuhan kendaraan bermotor yang tak terkendali. Image ini seakan menutupi realitas pertumbuhan kapitalisme otomotif Indonesia yang tak terkendali dan didominasi oleh produk impor.
              Kapitalisme impor ini meminggirkan transportasi massa yang terlihat dalam gambar 1.1, sebuah bis Kopaja yang terkepung puluhan mobil dan motor pribadi dalam suasana yang bisa dikatakan sebagai “perang memperebutkan ruang”. Seperti dikatakan Massey, ruang merupakan sebuah konstruksi sosial di mana sosialitas selalu terkonstruksi secara spasial, dinamis, terbentuk oleh relasi sosial yang selalu berubah serta ruang selalu berhubungan dengan pertanyaan mengenai kekuasaan dan simbolisme (dalam Kunci, Maret 2001, 06).
              Kondisi kemacetan di jalan raya yang penuh polusi ini tampak berlawanan dengan tema “hijau” yang dibawa. Di jalanan yang macet ini berbagai macam kendaraan mencoba berebut ruang untuk dapat melaju mendahului yang lain dan membebaskan diri dari kemacetan. Terlihat mobil pribadi lebih mendominasi . Sepeda motor pun terhimpit dan dipaksa melewati ruang-ruang sempit yang masih tersisa dari “perang” perebutan tersebut.  Dominasi mobil pribadi yang begitu jelas menandakan bahwa merekalah penguasa ruang jalan raya yang terbesar sekaligus pihak yang mengkonsumsi ruang jalan dengan kuota paling banyak. Bus, walaupun besar namun ia diisi oleh banyak orang. Sehingga jika dirata-rata, konsumsi ruang per orangnya sangatlah kecil. Begitu juga dengan sepeda motor. Namun berbeda dengan mobil pribadi. Karena bentuk mobil yang lebih besar, maka mereka mengkonsumsi ruang jalan raya lebih banyak dari lainnya. Semakin  besar mobil pribadinya, maka semakin besarlah konsumsi ruang jalan raya yang “dihabiskan”. Pemilik kendaraan pribadi adalah para pemenang dalam “perang” merebut ruang di jalan raya.
            Kemampuan melakukan konsumsi merupakan unsur utama pembeda antar kelas dalam gaya hidup. Semakin besar konsumsi yang dilakukan, semakin tinggi kelasnya. Dalam mengkonsumsi ruang jalan raya, hal yang sama pun terjadi. Dalam banyak film misalnya, diceritakan bahwa sang konglomerat adalah ia yang memiliki limosin, sebuah mobil pribadi yang panjang. Selain mobil itu menunjukkan kemampuan membeli sang konglomerat, hal itu juga menandakan kemampuan untuk mengkonsumsi ruang jalan raya sang konglomerat.
            Kemampuan konsumsi ini kembali ditunjukkan ketika ayah telah sampai di rumah.
Gambar 1.3
            Ruang keluarga yang kemungkinan memiliki fungsi ganda sebagai ruang tamu ini terlihat sangat indah, tertata rapih, putih, bersih dan bercahaya. Penggambaran ruang keluarga ini dapat dianggap sebagai tanda indeksikal. Menandakan keadaan rumah yang keseluruhan ruangannya memiliki keindahan yang sama dengan ruang keluarga. Ini adalah rumah ideal keluarga ideal kelas menengah. Bisa dikatakan rumah ini adalah apa yang disebut Walter Benjamin sebagai phantasmagoria,
Munculnya tempat-tempat konsumsi baru ini oleh Benjamin dihubungkan dengan tempat lain, hunian pribadi, yang untuk pertama kalinya tampak berbeda dengan ruang kerja. Di sini para penghuni berusaha menciptakan ruang-ruang fantasi milik mereka sendiri, ‘phantasmagoria-phantasmagoria dalam ruangan’. Untuk itu, sebagai konsumen mereka diarahkan ke tempat-tempat konsumsi baru guna memperoleh apa yang mereka butuhkan untuk mengubah hunian mereka menjadi dunia impian (dalam Ritzer&Smart, 2012, 841)
            AC econavi merupakan bagian penting dari phantasmagoria ruangan tersebut. Ia menjadi pesan penting yang coba dibangun oleh panasonic
Ayah : Momen berharga buat aku....Di rumah dengan ruangan yang nyaman
Di sini, Atikah Hasiholan sebagai bintang iklan sekaligus brand ambassador Panasonic menyapa ayah dan sekaligus viewers.

Gambar 1.4

Atikah : Melalui econavi, panasonic selalu menyertai setiap momen berharga anda. Demi       kenyamanan hidup lingkungan dan masa depan anda.
            Panasonic melakukan interpelasi. Ia memanggil sang ayah, tokoh dalam iklan, sekaligus memanggil kita para penonton (viewers) dan menempatkan kita pada posisi subjek sang ayah. Kita (viewers) menjadi subjek panasonic. Panasonic memanggil viewers sebagai individu bukan kelompok dan menawarkan solusi kenyamanan hidup yang sebenarnya merupakan panggilan untuk membeli. Di samping memanggil, ia juga merayu sekaligus mengancam dengan mengatakan, pembelian econavi panasonic semata demi kenyamanan hidup lingkungan dan masa depan. Jika tak membeli maka tak ada jaminan apapun dalam hidup anda.
            Iklan ini juga membentuk/menawarkan kategorisasi posisi imajiner pada subjek sebagai bentuk subjektivitas. Penawaran/pembentukan pilihan ini selanjutnya membentuk hierarki imajiner karena bagi “anda” yang merespon interpelasi dan tawaran kenyamanan disediakan posisi subjek yang hebat dan kuat yaitu sang ayah yang memiliki rumah ideal, keluarga ideal dan yang paling penting, kemampuan besar dalam berkonsumsi dan pemenang “perang” memperebutkan ruang di jalan raya. Sedangkan bagi bukan “anda”, yang tidak merespon interpelasi, sama sekali tidak disediakan pilihan posisi subjek. Bukan “anda” dianggap tidak ada, bukan siapa-siapa.
            Kemudian, jaminan kenyamanan lingkungan dan masa depan berhubungan dengan salah satu kelebihan econavi yang diklaim panasonic yaitu teknologi hemat energi. Hemat/saving bermakna, tidak berlebihan dalam mengkonsumsi energi dan menyimpannya untuk masa depan. Dalam bentuk sederhananya mungkin seperti yang dikatakan pepatah lama, hemat pangkal kaya. Tujuannya adalah kelestarian energi dan menyelamatkan bumi dari kerusakan. Namun sebelum kita menerima klaim tersebut bulat-bulat, ada sesuatu yang harus disadari, yaitu kenyamanan lingkungan dan masa depan yang ditawarkan hanya ditujukan pada “anda” sebagai individu semata. Maka, kelestarian energi yang dihasilkan bukanlah untuk menyelamatkan lingkungan tapi untuk memastikan energi tersebut masih bisa digunakan oleh “anda” di masa depan. Prinsipnya mirip dengan tabungan di mana untuk mendapatkannya anda harus membuat rekening dengan membeli econavi panasonic. Frasa hemat energi dan menyelamatkan lingkungan hanyalah penopengan realitas belaka.


Iklan 2. Green Consumption and Green Lifestyle
            Bercerita tentang tindakan konsumsi yang dilakukan kelas menengah secara gotong royong, membentuk sebuah rantai konsumsi dan berakhir di lemari es. Iklan diawali dengan adegan seorang perempuan membeli komoditas di sebuah mall/hypermarket

Gambar 2.1
Gambar 2.2



Gambar 2.3
Gambar 2.4


Gambar 2.5
Gambar 2.6


Gambar 2.7
Gambar 2.8

Pada gambar 2.1 terlihat seorang perempuan sedang membayar di kasir dengan penuh senyum. Menandakan kegembiraan dan kepuasan yang di dapat dari momen konsumsi. Ia berbelanja di bagian buah dan sayur, menandakan kesegaran dan kesehatan alami. Sebuah bagian dari wajah alam. Ia adalah bagian dari kelas menengah yang sedang melaksanakan ritual belanja. Pemilihan mall sebagai pembuka iklan seakan mengatakan pada kita bahwa semuanya berawal dari mall dan tanpanya, rantai konsumsi ini takkan terjadi. Mall adalah pusat dari ritual konsumsi, bukan pasar tradisional atau toko kelontong.
            Kemudian sang perempuan memberikan barang yang dibelinya kepada laki-laki dibelakangnya yang tak dikenalnya dan barang tersebut diteruskan kepada orang berikutnya, begitu seterusnya. Terbentuklah sebuah momen kebersamaan kelas menengah penduduk perkotaan yang sebelumnya tak saling mengenal. Momen konsumsi menyatukan individu-individu menjadi kelompok yang bekerja sama. Inilah gambaran masyarakat konsumsi. Berakhirnya momen kebersamaan di lemari es keluarga ideal yang lagi-lagi menurut versi pemerintah menandakan kapasitas lemari es yang begitu besar sehingga bisa memuat seluruh isi hypermart dan juga memperlihatkan kemampuan konsumsi sangat besar yang dimiliki kelompok ini.
Iklan ini menggambarkan keadaan saat ini di mana kehidupan yang telah terintegrasi begitu dalam dengan kapitalisme memang digerakkan oleh konsumsi. Ketika konsumsi melemah, maka pertumbuhan ekonomi/profit akan menurun dan dapat menciptakan krisis yang biasanya di atasi dengan menggelontorkan begitu banyak uang pemerintah ke pasar (bail out) dan diturunkannya suku bunga demi terus menciptakan konsumsi.
            Pemilihan tempat dalam iklan bukanlah hal yang acak begitu saja. Ia dirancang untuk memunculkan makna tertentu. Hampir keseluruhan tempat menunjukkan kesegaran hijau pepohonan, rumput dan birunya langit yang mengatakan kegiatan konsumsi merupakan kegiatan alami, sehat dan menyegarkan. Selain itu juga menyenangkan karena semua orang tersenyum. Konsumsi menjadi sumber kepuasan dan kebahagiaan. Selain itu, pada gambar 2.3, diperlihatkan barisan mobil pribadi yang menimbulkan kesan kemakmuran simbol gaya hidup kelas menengah namun tanpa diperlihatkannya jenis kendaraan lain. Hal ini dapat juga dimaknai sebentuk dukungan pada kapitalisme otomotif yang didominasi produk import dan sangat masuk akal mengingat toshiba glacio sendiri merupakan produk import.
            Pada gambar 2.3 juga terlihat boks telepon umum yang cukup unik. Berlawanan dengan kondisi real Indonesia saat ini yang tak lagi memiliki telepon umum, iklan justru menampilkan sebuah telepon umum yang masih terawat baik. Menandakan adanya sebuah fasilitas publik yang berfungsi dengan baik yang artinya, adanya peran aktif pemerintah dalam menyediakan pelayanan kepada kelas menengah. Gambaran ruang publik juga muncul pada gambar 2.5, sebuah taman yang tertata rapi.  Kedua ruang publik ini pada kenyataannya sangat sulit dijumpai di Indonesia. Maka, iklan ini memberikan sebuah gambaran imajinatif akan bentuk kelas menengah (masyarakat konsumsi) yang makmur, bersatu, saling menolong, mampu menikmati konsumsi waktu luang di taman dan memiliki pemerintahan ideal yang memperhatikan kepentingan mereka. Berlawanan dengan kondisi sekarang di mana penduduk kota sangat individual dengan mesin birokrasi pemerintah yang kurang memuaskan.
            Pada tempat-tempat tersebut juga tidak dijumpai adanya kelompok lain, selain kelas menengah. Di taman (gambar 2.5), di kompleks ruko (gambar 2.3) tak ada terlihat barisan PKL (pedagang kaki lima) yang biasanya memenuhi taman. Sama sekali tak ada tanda kehadiran kelas bawah di sana. Keadaan ini merupakan gambaran dari kondisi sosial saat ini, ketika PKL digusur pemerintah dengan alasan mengganggu pemandangan, merusak tata kota, membuat macet jalan raya bahkan menjadi sumber penyakit akibat makanan yang dijual seringkali dikampanyekan mengandung boraks. Inilah kondisi sosial yang diidamkan kelas menengah, dihilangkannya wajah kelas bawah. Iklan ini membentuk sebuah kategorisasi, antara kelompok yang dimunculkan (kelas menengah) dan kelompok yang dihilangkan/dianggap tidak ada (kelas bawah)
            Isu lingkungan yang dibawa pun menjadi bermasalah, apalagi ketika dihubungkan dengan slogan toshiba glacio, “Toshiba Glacio, Besar Kapasitasnya bukan Listriknya”. Slogan ini memiliki makna yang saling berlawanan. Glacio memiliki kapasitas besar yang artinya memungkinkan untuk dilakukan konsumsi berlebihan seperti digambarkan dalam iklan, namun tindakan ini jauh dari kata hemat yang di satu sisi menjadi kelebihan dari Glacio yaitu teknologi hemat listrik.


Green Hero
            Iklan 1 dan 2 di atas bisa dikatakan memiliki kesamaan pola pembentukan makna dalam membangun representasi tentang isu hijau. Keduanya menggunakan berbagai paradoks yang saling mengisi, berlawanan dan dibingkai dengan posisi subjek yang ditawarkan. Di satu sisi menawarkan teknologi hemat energi namun di sisi lain justru menawarkan posisi subjek dengan kemampuan konsumsi luar biasa. Dalam hal ini, paradoks inilah yang membentuk isi pesan iklan hijau. Pertama, konsumsi tinggi ini merupakan elemen yang sangat penting karena ia menjadi unsur distingtif imajiner yang membedakan kelas menengah dengan kelas bawah. Dari sisi inilah iklan hijau menawarkan motif berbeda bagi kelas menengah untuk membeli produk hemat energi. Karena itulah dalam kedua iklan tersebut, kelas bawah selalu dianggap tidak ada dengan membangun kategorisasi dalam posisi subjek imajiner
            Kelas bawah membeli barang hemat energi karena memiliki keterbatasan kemampuan konsumsi. Sedangkan bagi kelas menengah, motifnya bukanlah kekurangan daya beli. Dengan kemampuan konsumsi luar biasa besar yang bahkan bisa memindahkan semua isi hypermart ke dalam lemari es dan membangun phantasmogaria impian, kelas menengah tak perlu berhemat. Tindakan membeli barang hemat energi bisa dilihat sebagai bentuk penyelamatan lingkungan. Hal ini bisa dilihat dari ajakan Atikah Hasiholan untuk menyelamatkan lingkungan dan masa depan. Kelas menengah pun menjadi green hero.
Walaupun motif ini kemudian diselewengkan oleh iklan sebagai agen kapitalis. Karena kapitalisme memiliki sifat dasar untuk merusak lingkungan. Menurut pemegang nobel di bidang ekonomi Jan Tinbergen, degradasi lingkungan merupakan akibat dari pertumbuhan produksi dan penyelamatan lingkungan sudah tentu akan memerosotkan pertumbuhan produksi dan profit (Rich, 1999, 361). Pendapat ini dikuatkan oleh Hira Djamtani yang menganggap krisis lingkungan dan kerusakan sumber daya alam yang kita hadapi saat ini berakar dari cara produksi yang destruktif dan konsumsi berlebihan (2001, 161). Maka sudah jelas, tidak ada yang namanya “profit hijau”. Kerusakan lingkungan yang terjadi di bumi sebagian besar justru disebabkan oleh kapitalisme.


Conclusion
Sifat distingtif ini kemudian sangat menguntungkan bagi panasonic dan toshiba. Di mana keduanya dapat melebarkan pasar lewat teknologi hemat energi dengan menyasar kelompok masyarakat kelas bawah (tidak perlu memasang daya listrik besar untuk menkonsumsi alat elektronik hemat energi). Kesempatan kelas bawah untuk memiliki barang yang sama dengan kelas menengah pun terbuka lebar. Namun di sisi lain panasonic dan toshiba dapat tetap mempertahankan konsumen sebelumnya yaitu kelas menengah atas lewat penggambaran imajinatif akan sifat distingtifnya sebagai kelas dengan kemampuan konsumsi sangat besar. Di sini kita bisa melihat kembali pada teori Veblen yang sempat dipertanyakan sebelumnya bahwa kelas atas menggunakan konsumsi untuk membedakan diri dari kelas-kelas di bawahnya dalam hierarki sosial, sementara kelas-kelas bawah berupaya meniru mereka (dalam Ritzer&Smart, 2012,825).
Tampaknya teori Veblen ini tidak lagi memadai untuk digunakan menganalisis konsumsi dan gaya hidup, karena paper ini menemukan hal yang berbeda. Bukan komoditas konsumsi dalam bentuk barang/kebendaan yang membedakan hierarki, namun lebih kepada kemampuan yang dipertunjukkan lewat pembangunan posisi subjek imajinatif lewat iklan. Hanya saja, apa yang dipertunjukkan bukanlah tanda yang nampak jelas, namun ia tersembunyi di balik makna dan membangun alam bawah sadar viewers, meredakan kegelisahan kelas menengah – tugas khas periklanan kontemporer (Kellner, 2010, 346).
  

Daftar Pustaka    
·         Barker, Chris., Cultural studies: Teori dan Praktek, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005        (penerj.Nurhadi)
·         Corbett, Julia B.(2006). Communicating Nature : How We Create and Understand Environmental Messages. Washington: Island Press
·         Djamtani, Hira.(2001). Ancaman Globalisasi dan Imperialisme Lingkungan. Yogyakarta: Insist Press
·         George Ritzer and Barry Smart.(2012). Handbook Teori Sosial. Bandung: Nusa Media (penerj. Imam Muttaqien, Derta Sri Widowatie, Waluyati)
·         Katherine Toland Frith & Barbara Mueller.(2003) Advertising and Representations of “The Other”. In Advertising and Societies: Global Issue. New York: Peter Lang Publisher
·         Kellner, Douglas.(2010). Budaya Media: Cultural Studies, Identitas, dan Politik antara Modern dan Postmodern. Yogyakarta: Jalasutra
·         Ratna Noviani.(2009) Performativitas Gender dalam Iklan Kontak Jodoh. Dalam (ed)Irwan Abdullah, et all, Dinamika Masyarakat dan kebudayaan Kontemporer. Hal.45-75. Yogyakarta: TICI Publications
·         Rich, Bruce.(1999). Menggadaikan Bumi. Jakarta : Penerbit INFID
·         Stuart Hall.(1997). The Work of Representations. In Representations: Cultural Representations and Signifying Practices. (ed) Stuart Hall. Pp 15-29. London: Sage Publications
Jurnal
·         Jurnal KUNCI.(cat) Editor. Edisi 9. Maret 2001. Politik Ruang



*Tulisan ini merupakan terjemahan dari  Representation of green issue in Indonesia advertising: Middle Class as Green Hero yang telah dipresentasikan dalam The 6th International Graduate Students and Scholars Conference in Indonesia  (IGSSC) di UGM 19-20 November 2014 dan dipublikasikan dalam bentuk proceeding