Sabtu, 11 Mei 2013

SEMANGAT POLITIK ISLAM


Karya: Syed Ameer Ali

“Darah orang Zimmi sama dengan darah orang Islam.”---‘Ali’

Sejauh ini, kita memandang ajaran Muhammad semata-mata hanya dari sudut pandang sebagai ajaran moral dan tuntunan akan kewajiban manusia terhadap sang Pencipta, selain juga terhadap sesama manusia. Kini, kita akan mencermati pengaruh ajaran Islam terhadap umat manusia secara keseluruhan.
            Tujuh abad telah berlalu sejak Nabi dari Nazareth mewartakan risalahnya tentang kerajaan surga pada si miskin dan si papa. Sebuah kehidupan yang indah berakhir sebelum pekerjaan dimulai. Di dunia barat maupun timur, kondisi kehidupan rakyat begitu sengsara tiada tara. Mereka tidak mempunyai hak perdata maupun hak politik. Hak-hak tersebut dimonopoli oleh mereka yang kaya dan yang berkuasa, atau golongan pendeta. Hukum tidak diberlakukan sama antara si lemah dan si kuat, si kaya dan si miskin, para bangsawan dan rakyat jelata. Di bawah pemerintahan Sassanid Persia, golongan pendeta dan tuan tanah, Dehkan, memegang seluruh kekuasaan dan kekayaan negara di tangan mereka. Kaum tani dan orang-orang miskin umumnya tidak berdaya di bawah telapak kaki kekuasaan yang tiran. Di Imperium Bizantium, golongan pendeta dan kaum berpunya, kalangan istana, serta sejumlah besar pembantu wakil Kaisar dan gubernur, adalah orang-orang yang bahagia, yang memiliki kekayaan, pengaruh dan kekuasaan. Adapun rakyat jelata dalam kepedihan yang hina. Sejatinya, dalam kerajaan barbar, di mana sistem feodal berkuasa, sebagian besar penduduk pada umumnya adalah budak atau hamba sahaya.
            Status budak merupakan hal biasa bagi petani. Pada mulanya, hanya ada sedikit perbedaan antara budak petani dengan budak rumah tangga. Kedua golongan budak itu, beserta keluarga dan harta mereka, adalah milik si Tuan Tanah. Tuan tanah boleh memperlakukan budak mereka sekehendak hatinya(1). Di waktu berikutnya, para budak itu menjadi milik para tuan tanah dan mereka bisa diperjual-belikan beserta tanah yang mereka miliki, atau dianggap sebagai barang pribadi milik si tuan tanah yang bisa dipindahkan dari satu pemilik ke pemilik lain. Mereka tidak bisa meninggalkan tuannya tanpa ijin. Jika mereka melarikan diri atau dicuri dari tuannya, mereka bisa diperoleh kembali dengan cara seperti memperoleh hewan beban atau barang lainnya.. Para budak itu memiliki sepetak kecil tanah untuk menghidupi keluarga mereka, tapi kepemilikan itu hanya bisa dimungkinkan atas itikad baik tuannya; si tuan bisa mencabut hak atas tanah itu kapanpun sekehendak hatinya. Seorang budak tidak dapat memiliki harta benda, baik dalam bentuk tanah atau barang; tapi kalaupun ia membeli barang atau tanah, tuannya tetap bisa mengusir mereka dan merampas harta benda si budak itu.
            Kalung besi besar yang membelenggu leher merupakan tanda bahwa seseorang adalah budak petani atau budak rumah tangga. Secara berkelompok, budak-budak itu digiring dari satu tempat ke tempat lain. Mereka diberi makan layaknya babi, diberi rumah lebih buruk dari kandang babi, kaki dan tangan mereka dibelenggu, sementara sebuah kalung besi mengikat leher-leher  mereka dan menghubungkannya menjadi satu barisan. Si pedagang budak menunggang kuda dengan cambuk besar bersimpul-simpul di tangan; dengan cambuk itu ia “menyemangati” budak yang telah begitu letih dan tak berdaya. Cambuk itu jika dilecutkan, seringkali mengelupaskan daging tubuh para budak. Laki-laki, perempuan dan anak-anak berjalan tertatih-tatih ke seantero negeri dengan pakaian compang-camping, mata kaki penuh nanah, dan kaki telanjang mereka dihiasi luka-luka. Jika ada diantara budak malang itu tiba-tiba terjatuh, mereka akan dibaringkan di tanah dan dicambuk hingga kulit terkelupas dan nyaris tewas.
            Gambaran di atas merupakan bentuk kekejaman yang terjadi pada sekitar abad pertengahan; penderitaan yang dialami budak negro di negara bagian selatan Amerika Utara sebelum perang saudara, juga kekejaman yang dilakukan pemburu budak di Sudan. Semua itu memberikan gambaran pada kita betapa mngerikannya penderitaan para budak di bawah penguasaan pemerintahan Kristen pada saat pertama kali Islam diturunkan hingga akhir abad ke-15 M(2). Dan, bahkan setelah hampir dua ribu tahun kelahiran Isa, kita masih bisa menemukan orang Kristem mencambuk seorang perempuan tak berdaya hingga tewas, yang dipenjara karena perbedaan pandangan politik yang sesungguhnya atau karena rekayasa salah satu imperium yang paling berkuasa di dunia yang beradab ini(3).
            Adapun keadaan orang yang dinamakan “orang merdeka” sama sekali tidak lebih baik dari keadaan budak biasa. Jika mereka ingin menjual tanahnya, mereka harus membayar denda pada si tuan tanah. Sebaliknya, jika mereka ingin membeli tanah, ,mereka juga harus membayar denda. Mereka tidak bisa menerima warisan tanpa membayar pajak yang berat. Mereka tidak bisa menggiling jagung atau membuat roti tanpa memberi sebagian pada tuannya. Mereka tak bisa memanen tanaman mereka sebelum gereja mengambil sepersepuluh bagiannya, raja seperduapuluh, dan kerabat istana lainnya mendapat bagian yang lebih kecil. Mereka tak bisa meninggalkan rumah tanpa seijin tuannya; mereka terikat sepanjang waktu untuk melayani tuannya. Jika anak tuannya kawin, mereka harus senang hati memberikan sumbangan. Tapi ketika anak gadis si orang merdeka akan kawin, si gadis harus membiarkan dirinya diperkosa lebih dulu—bahkan oleh seorang uskup yang notabene hamba Kristus. Jika ia kebetulan tuan tanah, maka ia tak boleh menolak hak istimewa yang kejam dan barbar itu. kematian bahkan bukan penghiburan bagi para korban barbarisme yang malang ini. Ketika masih hidup, mereka teraniaya. Ketika mati, mereka dikatakan akan masuk neraka abadi; karena ia serupa dengan orang yang bunuh diri yang dianggap penjahat paling terkutuk. Maka tidak ada tempat bagi jasad yang malang itu di tanah yang suci; jasadnya hanya bisa diselundupkan di tengah malam buta dan dikuburkan di tempat yang tidak suci dengan tubuh ditusuk tonggak sebagai peringatan bagi orang lain.
            Demikianlah penderitaan yang selalu membayangi rakyat. Tapi sang bangsawan di balai persidangannya, sang uskup di istananya, si pendeta di biaranya, mereka hanya sedikit memperhatikan penderitaan rakyat banyak. Awan gelap telah menyelimuti sebagian besar wilayah Afrika dan Eropa. Di manapun  itu, kehendak pihak yang paling kuat menjadi ukuran hak dan hukum. Gereja tidak berupaya membantu pihak yang tertindas dan teraniaya. Ajaran gereja bertentangan dengan konsepsi pembebasan umat manusia dari cengkraman kekuasaan yang lalim. Para pemuka gereja awal mengutuk perlawanan terhadap pemegang kekuasaan dan menganggapnya sebagai dosa besar. Tidak ada kezaliman, penindasan atau kekejaman atas kemanusiaan yang dapat membenarkan rakyat untuk melindungi diri mereka dari kezaliman para penguasa. Para pengikut Nabi Isa pun berperilaku sama dengan mereka yang dikecam nabinya; yakni orang-orang kaya dan penguasa tiran. Mereka telah menjadi golongan feodal dan menikmati hak-hak istimewa sebagai tuan tanah, para bangsawan dan pangeran.
            Golongan yang tidak beragama Kristen—Yahudi, ahli bid’ah atau Pagan, di bawah kekuasaan Kristen—hidup tanpa kepastian. Tergantung pada nasib apakah mereka akan dibinasakan atau dijadikan budak. Mereka tidak mempunyai hak apapun; sudah cukup bagi mereka untuk tetap hidup meskipun harus menderita. Jika orang Kristen melakukan pernikahan terlarang dengan orang non-Kristen—pernikahan absah di antara dua golongan itu dilarang—maka ia akan dibakar hidu-hidup hingga tewas. Golongan Yahudi tidak boleh makan, minum atau duduk semeja dengan orang Kristen. Anak-anak mereka bisa saja dirampas dari orang tua mereka, begitupun harta benda, atas kehendak para bangsawan, uskup atau rakyat yang fanatik. Dan keadaan ini terus berlangsung hingga penghujung abad-17 M.
            Baru setelah sang Muhammad melantunkan nyanyian kebebasan—baru setelah ia memproklamasikan kesetaraan di antara umat manusia dan menghapuskan hak-hak istimewa yang dimiliki tiap kasta dan mengemansipasikan kerja—maka rantai yang membelenggu bangsa-bangsa di muka bumi ini putus. Muhammad datang dengan risalah yang sama, yang telah diwartakan oleh nabi-nabi sebelumnya, hanya ia menyempurnakan pelaksanaannya.
            Karakter utama politik Islam bisa ditemukan dalam piagam yang diberikan Muhammad setelah kedatangannya di Madinah, serta dalam surat-suratnya yang dikirim pada orang-orang Kristen Najran, dan negara tetangga lainnya setelah Islam berdiri mantap di Jazirah Arab. Piagam tersebut memberikan sebagian besar dasar-dasar tuntunan pada semua penguasa muslim dalam memperlakukan rakyat mereka yang non-muslim. Jika ada yang menyimpang dari isi piagam itu maka persoalannya menjadi tanggung jawab penguasa yang bersangkutan. Jika kita memisahkan keniscayaan berpolitik yang sering berbicara  dan bertindak atas nama agama, tidak ada agama lain yang lebih toleran dari Islam dalam memperlakukan pengikut agama lain(4). Alasan-alasan kenegaraanlah yang mendorong penguasa muslim di sana-sini, dalam batas tertentu, menunjukkan sikap intoleransi atau bersikeras memberlakukan satu agama saja; tapi sistem politik Islam itu sendiri telah memelihara sikap toleransi yang paling luas.
            Orang Yahudi dan Kristen, tidak diganggu saat menjalankan agama mereka. Mereka juga tak dipaksa untuk pindah agama. Jika mereka diwajibkan membayar pajak khusus, pajak itu merupakan ganti dari wajib militer dan sudah semestinya bagi mereka yang menikmati perlindungan negara; harus memberikan sumbangan pada negara untuk kepentingan publik. Sementara para penyembah berhala, berlaku ketentuan yang lebih keras; tapi ketentuan itu hanya dalam teori, karena prakteknya, hukum yang mengatur mereka juga amat liberal. Jikapun pada suatu saat mereka diperlakukan tidak manusiawi, hal itu karena nafsu pribadi si penguasa atau penduduk. Agama hanya dijadikan dalih semata.
            Untuk mendukung pandangan yang telah berubah usang bahwa penduduk non muslim di dalam negara Islam berada dalam keadaan tak berdaya sama sekali(5), mereka merujuk tidak hanya pandangan sempit para ahli hukum Islam namun juga pada beberapa ayat Al-Quran tertentu. Ini untuk menunjukkan bahwa Muhammad tidak senang dengan penduduk non muslim dan ia tidak menganjurkan hubungan baik antara pengikutnya dan penduduk non muslim(6).
            Berkenaan dengan masalah tersebut, kita tidak boleh melupakan bahwa umat Islam sedang berjuang mati-matian ketika ayat-ayat tersebut diwahyukan. Dan kita juga tidak boleh melupakan cara-cara khianat yang sering digunakan oleh golongan Pagan, Yahudi dan Kristen, untuk merusak ajaran Islam yang masih baru, serta untuk menggoda kaum muslimin agar berpaling dari agama baru mereka. Pada saat yang demikian itu, adalah wajib bagi Muhammad untuk memperingatkan pengikutnya untuk mewaspadai muslihat dan maksud licik penganut agama lain yang memusuhi Islam. Tak ada seorangpun yang mempelajari ilmu perbandingan sejarah dapat menyalahkan hal itu karena Muhammad mencoba melindungi negara kecilnya dari pengkhianatan musuh dan orang asing.
            Jika kita perhatikan perlakuan Muhammad terhadap penduduk no-muslim secara umum, kita bisa melihat betapa sikapnya begitu toleran, lapang dada serta penuh simpati. Apakah ada sebuah bangsa atau agama penakluk yang memberikan penduduk taklukannya jaminan yang lebih baik daripada yang terekam dalam kata-kata Muhammad berikut:
            “Pada orang Kristen Najran dan kawasan sekitarnya, jaminan Allah dan janji Rasul-Nya meliputi jaminan terhadap agama, harta benda dan hidup mereka. Penduduk taklukan tidak diganggu dalam menjalankan ibadah menurut keyakinan mereka. Hak-hak dan keistimewaan mereka juga tak berubah. Tak ada uskup yang diusir dari keuskupannya; rahib dari biaranya. Tidak ada pendeta yang diusir dari wilayah kependetaannya. Mereka boleh terus menikmati hal-hal yang mereka sukai seperti sediakala. Tak ada lukisan atau kayu salib yang boleh dihancurkan. Mereka tidak boleh menindas atau ditindas. Mereka tak boleh lagi melakukan balas dendam berdarah seperti pada jaman Jahiliyah. Rakyat taklukan tidak boleh dibebani pajak, mereka juga tidak boleh dituntut untuk menyediakan perlengkapan untuk kepentingan tentara.”(7)
            Setelah Hira ditaklukan, segera setelah rakyat menyatakan baiat, Khalid bin Walid menyampaikan maklumat bahwa ia menjamin hidup, harta benda dan kebebasan orang Kristen. Lebih lanjut ia menyatakan “Orang-orang Kristen tidak boleh dilarang membunyikan nakus dan mengarak salib mereka ketika ada festival.” “Demikian maklumat ini,” kata Imam abu Yusuf(9), disetujui dan didukung khalifah(10) dan para penasehatnya(11)
            Penduduk non muslim diperkenankan mendirikan gereja atau kuil. Tapi di tempat yang secara khusus didiami oleh kaum Muslimin, peraturan itu tidak berlaku.”Tidak boleh ada gereja atau biara barudidirikan di tempat yang hanya didiami kaum Muslimin,” kata Abdullah bin Abbas(12). “Tapi di tempat lain, di mana kaum Zimmi telah ada sebelumnya, kita harus menghormati kesepakatan yang kita buat dengan mereka.”(13)
            Namun dalam prakteknya, larangan itu tidak diindahkan sama sekali. Pada masa pemerintahan Ma’mun, kita mendengar terdapat sebelas ribu gereja Kristen selain ratusan sinagoga milik Yahudi dan kuil api di seluruh kerajaan. Sang raja yang cendikia ini, yang digambarkan sebagai musuh bebuyutan orang Kristen, mengangkat penasehatnya dari berbagai golongan masyarakat yang ada dalam wilayah kekuasaannya—orang Islam, Kristen, Yahudi, Saba, Zoroaster. Sementara itu, hak dan keistimewaan yang dimiliki gereja diatur dengan hati-hati dan tetap dijamin.
Adalah suatu fakta penting, yang hanya ada sedikit pembandingnya di zaman modern ini, bahwa setelah menaklukkan Mesir, Khalifah Umar dengan hati-hati tetap menjaga harta-benda yang diwakafkan orang ke gereja. Ia juga memberikan tunjangan pada gereja untuk menyokong para pendeta sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya(14). Kesaksian terbaik mengenai toleransi pemerintahan Islam masa awal diberikan oleh orang Kristen sendiri. Pada masa pemerintahan Utsman, khalifah ketiga seorang pemuka gereja dari Merv menulis surat pada uskup Fars yang bernama Simeon sebagai berikut,”Orang-orang Arab yang dikaruniai Tuhan kerajaan di bumi ini tidak menyerang agama Kristen, sebaliknya mereka membantu agama kita. Mereka menghormati Tuhan kita dan para santo, dan memberi derma ke gereja dan biara kita.”
            Untuk menghindari kesewenang-wenangan—sekecil apapun—yang mungkin terjadi, tidak ada orang Islam yang diperbolehkan mengambil tanah orang Zimmi sekalipun dengan cara membelinya.” Baik imam maupun sultan tidak boleh merampas harta benda orang Zimmi.”
            Di mata hukum, orang Islam dan orang Zimmi mempunyai kedudukan yang sama.” Darah mereka,” kata khalifah ‘Ali,”Seperti darah kita.” Banyak pemerintahan modern, tanpa terkecuali beberapa diantaranya yang paling beradab sekalipun, mencontoh model pemerintahan Islam. Hukuman dikenakan sama pada semua pelaku kejahatan, baik penguasa atau rakyat jelata. Menurut hukum Islam, jika seorang Zimmi dibunuh oleh orang Islam, si pembunuh tetap harus mendapatkan hukuman yang sama dengan hukuman orang Zimmi yang membunuh orang Islam(15).
            Guna menyejahterakan penduduk non muslim, Khalifah Baghdad, sebagai pesaing mereka di Kordoba, mempunyai departemen khusus yang bertugas melindungi orang Zimmi dan menjaga kepentingannya. Di Baghdad, kepala departemen ini disebut Katib al Jihbazih, sementara di Spanyol disebut Katib al Zimam(16).
            Mutawakkil, yang menghancurkan makam imam Husain hingga rata dengan tanah dan melarang orang berziarah ketempat suci itu, tidak mengijinkan penduduk non muslim untuk memangku jabatan pemerintahan. Sikapnya ini juga ia berlakukan pada kaum rasionalis Muslim. Mutawakkil juga meminggirkan kedua golongan penduduk ini. Dalam yurisprudensi hukum selanjutnya, yang ditulis tatkala perang besar sedang berlangsung antara dunia Islam dan dunia Kristen—disatu pihak disebabkan untuk mempertahankan kehidupan, sebab lainnya untuk memperoleh kekuasaan—tak bisa diragukan pastilah ada peristiwa yang menyebabkan munculnya dugaan bahwa orang-orang Zimmi diperlakukan secara hina dalam Islam.
            Tapi pernyataan di atas tidak akan ditemukan dalam peraturan yang diajarkan Muhammad, atau oleh para sahabat dan penerus kekuasaannya. Akan tetapi, harus ditambahkan di sini bahwa pandangan fanatik ahli hukum berikutnya tidak pernah dipraktekkan. Bahwa penduduk non-Muslim diperlakukan dengan toleran dan murah hati bisa dibuktikan dengan fakta yaitu bahwa orang Zimmi dapat ditunjuk sebagai pelaksana surat wasiat oarng Islam. Mereka kerap menjadi rektor pada universitas Islam dan lembaga pendidikan lainnya. Mereka juga bisa menjadi kurator lembaga amal Islam sepanjang tidak menjalankan fungsi keagamaan. Dan, jika ada orang non-Muslim yang terpandang atau amat berjasa meninggal, kaum Muslimin berbondong-bondong menghadiri pemakamannya.
            Pada tahap awal, dengan alasan yang jelas, panglima militer tidak dipercayakan pada penduduk non-Muslim, tapi jabatan lainnya terbuka bagi mereka—sama dengan orang Islam. Kesetaraa itu tidak hanya dalam teori, karena sejak abad pertama Hijriyah, kita bisa menemukan jabatan penting dalam pemerintahan dipegang oleh orang Kristen, Yahudi dan Magi. Pemerintahan Abbasiyah tidak mengakui diskriminasi atas dasar agama. Semua penduduk diperlakukan sama, terlepas dari agama mereka. Dan, dinasti yang menggantikan mengikuti jejak mereka.
            Jika dibandingkan perlakuan negara-negara Islam terhadap penduduk non-Muslim pada umumnya, jauh lebih baik dan manusiawi ketimbang perlakuan negara-negara Eropa terhadap penduduk non-Kristen. Di bawah kekaisaran kaisar-kaisar Mogul di Delhi, orang-orang Hindu bisa menjadi panglima angkatan bersenjata, memerintah daerah propinsi, dan menjadi penasehat raja. Bahkan, hingga sekarang ini, bisa dikatakan tak ada kerajaan di Eropa yang memiliki penduduk yang berbeda suku dan agama, tidak membuat perbedaan perlakuan atas dasar agama, warna kulit dan suku bangsa.
            Doktrin yang amat istimewa dalam Islam yang diajarkan pada umat manusia ialah prisip-prinsip keesaan Tuhan dan kesetaraan umat manusia, sebagaimana diajarkan oleh Muhammad. Asalkan doktrin utama Islam, tauhid dan risalah Muhammad diakui serta diterima, Islam memberikan keleluasaan bagi perkembangan pemikiran manusia. Karena itu, di manapun prajurit Islam datang, ia disambut gembira oleh golongan rakyat tertindas dan Orang-orang bid’ah yang teraniaya, sebagai pertanda pembebasan dari perbudakan yang menyengsarakan. Islam datang pada mereka dengan membawa ajaran persamaan manusia di depan hukum dan pajak yang tak seberapa memberatkan.
            Perang Kadesia, yang menyebabkan Persia jatuh ke tangan orang Islam, menjadi tonggak pembebasan sebagian besar orang Persia; sebagaimana perang Yarmuk dan Ajnadin menjadi tanda pembebasan orang Siria,yunani dan Mesir . Bangsa Yahudi yang dari masa ke masa selalu dibantai oleh penganut Zoroaster, dan orang-orang Kristen yang selalu diburu dari satu tempat ke tempat lain, akhirnya bisa hidup bebas di bawah kekuasaan Muhammad yang mengajarkan persaudaraan antar umat manusia. Di mana-mana, orang menyambut Islam sebagai pembebas. Dan jika terjadi perlawanan, hal itu hanya dilakukan golongan pendeta dan golongan bangsawan. Rakyat dan kaum buruh secara umum, yang tertindas di bawah kekuasaan kaum Zoroaster, berbaris mendukung sang penakluk. Hanya dengan mengucapkan pengakuan sederhana atas kebenaran abadi, merekapun ditempatkan sederajat dengan Sang Pembebas—Kaum Muslimin.
            Kepala-kepala suku dan kabilah-kabilah mendapatkan semua hak istimewa mereka, kehormatan dan pengaruh lokal—“Lebih dari yang bisa kami percaya,” kata Gobineau, “bahwa penindasan dan penganiayaan yang dilakukan kaum Muslimin terlalu dibesar-besarkan.” Penaklukan atas Afrika dan Spanyol menimbulkan akibat yang sama. Orang-orang Aria, Pelagia dan orang bid’ah lainnya, yang hingga saat itu menjadi korban amarah dan kebencian kaum ortodoks—massa rakyat yang telah lama ditindas dengan kejam oleh para prajurit dan juga oleh golongan pendeta—menemukan kedamaian dan ketentraman di bawah pemerintahan orang Islam.
            Adalah suatu ironi, bangsa Yahudi yang kebenciannya terhadap Islam hampir menghancurkan negara Islam, mendapati kaum Muslimin sebagai pelindung terbaik mereka. Bangsa Yahudi dihina, dirampok, dibenci dan dilaknat oleh semua negara Kristen. Tapi, mereka menerima perlindungan di bawah pemerintahan Islam dari kekejaman diluar perikemanusiaan—perlindungan dari kekejaman yang tak mereka dapatkan dari dunia Kristen.
            Islam memberikan rakyat seperangkat aturan hukum, betapa pun kuno dan sederhananya, namun dapat mengikuti kemajuan peradaban dunia. Islam memberikan pada negara bantuan hukum yang fleksibel berdasarkan apresiasi yang benar atas hak dan kewajiban manusia. Islam juga membatasi pemungutan pajak, mengajarkan persamaan manusia di mata hukum, dan menyucikan prinsip-prinsip pemerintahan yang mandiri. Islam juga menerapkan kontrol atas pemegang kekuasaan  dengan menempatkan kekuatan eksekutif di bawah kekuatan hukum—hukum yang didasarkan atas kewajiban agama dan sanksi agama. “Kesempurnaan dan efektifitas tiap ketentuan hukum itu,” kata Urquhart, “membuat yang lainnya bernilai; dan jika semuanya digabung akan menciptakan suatu sistem politik yang lebih unggul dari sistem politik manapun.”
            Dalam sejarah manusia, walau di tangan orang-orang liar, bodoh dan tak berarti, Islam menyebar luas ,melampaui luasnya kekuasaan Imperium Romawi. Meski begitu, agama Islam tetap bersifat sederhana, tapi pengaruhnya tak terbendung(17).
            Masa pemerintahan Abu Bakar yang singkat terlalu sarat dengan kerja keras untuk mendamaikan para kabilah padang pasir, hingga ia tak ada waktu untuk mengatur provinsi-provinsi yang ada secara sistematis. Tapi selama pemerintahan Umar, dimulailah upaya tak kenal lelah untuk menyejahterakan rakyat bangsa taklukan. Upaya ini menjadi ciri khas pemerintahan Islam periode awal.
            Jika dicermati secara seksama, kehidupan politik Islam di bawah kekuasaan khalifah awal menunjukkan kepada kita sistem pemerintahan rakyat yang dipimpin oleh orang yang dipilih dengan kekuasaan yang terbatas. Kepala negara hanya berkuasa atas soal-soal administrasi dan eksekutif, seperti pengaturan lembaga kepolisian, kontrol atas angkatan bersenjata, perdagangan dengan negeri asing, keuangan negara dan lain-lain. Seorang kepala negara tidak bisa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang sah.
            Badan peradilan tidak tergantung pada badan pemerintah. Keputusan mereka merupakan kekuasaan tertinggi, dan para khalifah awal tidak memiliki kekuasaan untuk mengampuni seseorang yang telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan. Semua orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum tanpa memandang apakah ia orang kaya atau miskin, penguasa atau buruh di ladang—semua sama.
            Ketika zaman semakin maju, kekerasan sistem hukum Islam pun berkurang, tapi bentuknya selalu terjaga. Bahkan, para perampas kekuasaan yang tanpa hak dan penuh khianat membunuh dan merampas kekuasaan pemerintahan telah memeluk Islam. Mereka adalah representasi dari dari kekuasaan oligarki kaum Pagan yang taat hukum—meski hanya luarnya—dari pemerintahan yang representatif. Para penguasa dinasti selanjutnya, apabila mereka melampaui batas kekuasaannya dan bertindak sewenang-wenang, mereka dicegah dengan putusan hukum yang dibuat oleh lembaga ahli hukum, yang di semua negara Islam bertindak sebagai pengontrol penguasa atas dasar Undang-Undang Dasar.
            Pada masa awal pemerintahan Islam, para sahabat nabi merupakan Dewan Negara yang efektif. Julukan kehormatan sebagai “sahabat nabi” punya pengaruh besar di daerah perkotaan atau di padang pasir. Pengaruh yang begitu besar yang dimiliki sahabat nabi itu terus meningkat seiring bertambah luasnya wilayah yang ditaklukan kaum Muslimin. Kata ashab berati suci dan mulia. Jika seseorang menyandang gelar tersebut, maka segala tingkah lakunya akan diikuti oleh orang banyak, dan merekapun akan tunduk di bawah kepemimpinannya. Pada tingkat pertama, mencakup mereka yang menyertai Muhammad saat hijrah dari Makkah, yang disebut sebagai golongan Muhajirin dan golongan Ansar. Golongan Muhajirin adalah orang-orang yang penuh kesetiaan mengikuti Muhammad dan turut serta dalam perang Badar dan perang Uhud untuk membela agama Islam. Mereka juga pernah menerima tugas, berbicara, melihat dan mendengar kata-kata Muhammad. Dan pada tingkat kedua, mencakup mereka yang pernah mendapat tugas dari para sahabat yang secara tidak langsung mendapat petunjuk dari Muhammad.
            Suatu peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan khalifah Umar membuktikan bahwa Islam memandang semua umat manusia mempunyai kedudukan yang sama. Jabala, seorang Raja Ghassan, setelah masuk Islam, pergi ke Madinah untuk memberi penghormatan pada Amirul Mukminin. Ia memasuki Madinah dengan penuh kebesaran dan disambut dengan penuh penghormatan. Ketika sedang melakukan tawaf, seorang peziarah miskin yang juga sedang melakukan kewajiban suci itu tanpa sengaja telah menjatuhkan pakaian haji dari bahunya. Jabala murka dan memukul si peziarah malang itu hingga giginya tanggal. Kelanjutan kisah tersebut lebih baik kita dengar dari kata-kata bersejarah Umar pada Abu Ubaidah, panglima tentara Islam di Siria. Umar menulis dalam suratnya:
Orang malang itu datang kepadaku dan minta keadilan. Jabala kusuruh datang. Dan, ketika ia datang kutanya kenapa ia memukul seorang saudara sesama Muslimin. Jabala menjawab bahwa laki-laki itu telah menghinanya, dan seandainya peritiwa itu tidak terjadi di tempat suci, ia pasti telah membunuh laki-laki itu ditempat itu juga. Kujawab, bahwa kata-katanya memperberat kesalahannya, dan jika Jabala tidak mendapat maaf dari laki-laki malang itu, ia akan dihukum sesuai ketentuan yang berlaku. Jabala menjawab,’Aku seorang raja dan lainnya hanya rakyat biasa.’ Tapi aku balas berkata,’Raja atau rakyat biasa, kalian berdua sama-sama orang Islam dan mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum.’Jabala meminta hukuman ditunda hingga keesokan harinya, dan atas persetujuan korban, aku setuju untuk menunda hukuman tersebut. Malam harinya, Jabala melarikan diri dan kini bergabung dengan anjing Kristen(18). Tapi Allah akan memberimu kemenangan atasnya dan atas orang-orang seperti mereka...”
            Surat itu dibacakan Abu Ubaidah di depan pasukannya. Rupanya, komunikasi semacam itu sering dilakukan di bawah pemerintahan awal khalifah. Tak seorang pun yang berdiam di gurun atau di kota yang tidak mengetahui persoalan-persoalan publik. Tiap Jum’at, setelah menunaikan shalat Jum’at, Amirul Mukminin mengumumkan pada jamaah berkenaan dengan pengangkatan jabatan-jabatan penting dan peristiwa penting yang terjadi sehari-hari. Para Gubernur yang memimpin provinsi mengikuti teladan tersebut. Tak seorangpun dilarang hadir pada pertemuan umum tersebut. Inilah pemerintahan demokrasi dalam bentuk yang paling baik. Amirul Mukminin tidak diselubungi aura Ilahiah. Ia menjalankan pemerintahan dengan bertanggung jawab terhadap rakyat.            
            Upaya keras para khalifahawal untuk mensejahterakan rakyat, dan kesederhanaan hidup mereka, selaras dengan teladan Muhammad. Mereka shalat dan berkhutbah di masjid sebagaimana dilakukan oleh Muhammad. Mereka menerima orang-orang tertindas dan rakyat jelata di rumah mereka dan tak enggan mendengar keluhan orang paling hina sekalipun. Tanpa kemegahan dan iring-iringan kebesaran, mereka menguasai hati rakyat dengan akhlaknya. Umar mengadakan perjalanan ke Syiria untuk menerima penyerahan Yerusalem hanya ditemani seorang budak. Abu Bakar, di akhir hidupnya, hanya meninggalkan sepasang pakaian, seekor unta dan seorang budak sebagai harta warisannya. Tiap Jum’at ‘Ali membagi-bagikan sedekah—uang yang diambilnya dari kas negara—pada orang-orang yang susah dan menderita. Ia juga memberikan teladan pada rakyat untuk menghormati badan peradilan. Dalam perjalanan Republik Islam yang masih muda itu, tak seorangpun khalifah yang dapat merubah atau bertindak bertentangan dengan keputusan pengadilan yang sah(19).
            Tentu saja sulit bagi sebuah negara baru, yang didirikan dengan kekuatan senjata, untuk memperoleh simpati rakyat seketika. Akan tetapi, bangsa Muslim awal memberikan alasan yang menimbulkan kepercayaan besar dan kasih sayang bangsa yang ditaklukkan. Dipimpin oleh para pemimpin moderat dan ramah, seperti Abu Ubaidah, yang mampu mengekang dan mengendalikan keganasan para prajurit, juga seperti Khalid, tapi mereka tetap menjaga hak-hak rakyatnya. Mereka juga menjaga kebebasan beragama dan kebebasan sipil lainnya. Sikap mereka bisa menjadi contoh bagi banyak negara beradab di era modern ini. mereka tidak mencambuk perempuan hingga tewas. Mereka tidak menghukum kaum perempuan yang tidak bersalah dengan mengirimnya ke tambang-tambang di Siberia dan membiarkan para penjaga tambang memperkosanya. Mereka cukup cerdik untuk tidak mencampuri urusan lembaga sipil yang tidak berbahaya yang ada di negara taklukan sepanjang lembaga itu tidak melawan agama mereka.
            Upaya yang dilakukan Umar untuk menjamin kemakmuran petani menunjukkan perhatiannya akan kesejahteraan rakyat. Pajak atas tanah dikenakan dengan adil dan pantas; kanal-kanal air dan pipa air dibangun di seantero negeri. Feodalisme yang menyengsarakan kaum petani dihapuskan, dan kaum petani pun dibebaskan dari perbudakan yang telah berlangsung berabad-abad. Kematian orang besar ini di tangan pembunuh, tak diragukan lagi,merupakan kerugian besar bagi negara. Tabiatnya yang keras tapi adil, seorang terpelajar dan berpikiran praktis, membuatnya sangat pas untuk menekan dan mengendalikan ambisi anak-anak keluarga Umayyah. Menjelang kematiannya, Umar menunjuk enam orang untuk memilih penggantinya sebagai khalifah. Jabatan khalifah ditawarkan kepada ‘Ali bin Abi Thalib, tapi keluarga Umayyah melakukan intrik dan persekutuan dengan menambahkan syarat tertentu pada tawaran jabatan khalifah tersebut—mereka tahu ‘Ali tidak akan mau menerima syarat yang mereka tawarkan.
            Syarat yang diajukan golongan Umayyah yaitu ‘Ali diwajibkan memerintah tidak hanya sejalan dengan hukum dan teladan Muhammad, tapi juga harus mengikuti teladan yang diberikan kedua khalifah sebelumnya. Dengan sifatnya yang mandiri, ‘Ali menolak jika akal budinya dikekang. Jabatan khalifah ini kemudian ditawarkan—sebagaimana diinginkan keluarga Umayyah—pada Utsman yang merupakan keluarga Umayyah. Pengangkatan pemimpin terhormat ini sebagai pengganti Muhammad kemudian terbukti menjadi bencana besar bagi negara Islam.
            Utsman adalah anggota keluarga Umayyah—sebuah keluarga yang amat membenci keturunan Bani Hasyim. Mereka telah menganiaya Muhammad dengan penuh kebencian dan telah mengusirnya dari kampung halamannya. Mereka berjuang keras untuk menghancurkan agama Islam pada awal perkembangannya, dan terus memeranginya hingga saat terakhir. Anggota keluarga Umayyah amat kuat rasa persatuannya. Mereka memiliki pengaruh kuat di kalangan kabilah-kabilah Mozar, di mana mereka merupakan salah satu anggota kabilah terkemuka. Keluarga Umayyah merasa cemburu atas hilangnya kekuasaan lama dan prestise yang pernah mereka miliki. Setelah Makkah jatuh, mau tak mau, mereka terpaksa masuk Islam; tapi mereka tidak pernah bisa memaafkan keluarga Hasyim atau Islam karena Muhammad bin ‘Abdullah telah membuat kehancuran pada keluarga mereka(20).
            Selama Muhammad masih hidup, kepribadiannya yang kuat, membuat takut para pengkhianat ini. Banyak di antara mereka berpura-pura masuk Islam untuk kepentingan mereka sendiri dan karena keserakahan untuk memperoleh bagian atas harta yang diperoleh negara Islam atas kemenangan-kemenangannya. Tapi, mereka tak pernah berhenti membenci nilai-nilai demokrasi yang dibawa Muhammad. Pada umumnya, keluarga Umayyah merupakan orang-orang yang bejat moralnya, hidung belang, jahat dan kejam, yang dalam hatinya senantiasa menyembah berhala. Itulah sebabnya mereka membenci agama yang mengajarkan persamaan hak, menyuruh orang untuk menaati kewajiban moral, dan menjaga kesucian diri dengan keras.
            Sejak semula, keluarga Umayyah telah berniat menghancurkan pemerintahan Islam—meski telah bersumpah setia mendukung pemerintahan Islam—dan menghancurkan orang-orang yang mendukung pemerintahan tersebut. Dua khalifah pertama pengganti Muhammad bisa mengendalikan ambisi mereka dan meredam intrik serta pengkhianatan yang mereka lakukan. Namun, dengan terpilihnya Utsman, mereka segera berduyun-duyun ke Madinah, seperti burung elang mencium mangsanya. Naiknya Utsman ketampuk kekuasaan menjadi tanda akan meledaknya kebencian dan kebejatan moral yang selama ini dipendam keluarga Umayyah. Dan pertanda itu kemudian terbukti dengan terguncangnya dunia Islam hingga menghancurkan sendi-sendi kehidupan yang amat berharga dan mulia.
            Di bawah pemerintahan Utsman, terjadi perubahan radikal dalam kehidupan politik dan pemerintahan. Kebijakan politik kedua khalifah terdahulu tak lagi diikuti. Semua gubernur dan panglima tentara, yang merupakan orang-orang dekat Muhammad dan para sahabat, diganti. Jasa dan kesetiaan pada pemerintahan diabaikan sama sekali. Semuan jabatan penting dirampas keluarga Umayyah. Jabatan gubernur di setiap provinsi diberikan pada orang-orang yang telah terbukti paling memusuhi agama Islam, dan dalam sekejap kas negara pun kosong untuk kepentingan mereka.
            Kita harus memaparkan serangkaian peristiwa dengan lebih rinci untuk menggambarkan perpecahan yang terjadi dalam sejarah Islam pada masa Utsman. Tapi cukup dikatakan bahwa parahnya korupsi yang terjadi di pemerintahan, pengabaian total terhadap teladan Muhammad dan kedua sahabat ketika memegang kekuasaan, nepotisme tanpa malu-malu yang dilakukan Utsman terhadap kerabat dekatnya, dan penolakannya untuk mendengarkan kritik dan keluhan, menyebabkan kebanyakan otang dan para sahabat tidak menyukainya. Semua itu akhirnya mendorong terjadinya pemberontakan yang merenggut jiwa Utsman.
            Segera sesudah kematian Utsman yang tragis, ‘Ali diangkat untuk menduduki jabatan khalifah yang kosong atas persetujuan rakyat. Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi kemudian merupakan keniscayaan sejarah. “Seandainya ‘Ali mempunyai kesempatan untuk memerintah dengan tenang,” kata Oelsner, “maka dengan kebaikan, ketegasan, dan kewibawaannya ia akan tetap mempertahankan karakter Republik Islam dengan segala kesederhanaannya”(21). Pedang si pembunuh menghancurkan harapan dunia Islam. ”Dengan gugurnya ‘Ali,” demikian kata Major Osborn, “Hilanglah seorang Muslim yang paling jujur dan mulia yang pernah tercatat dalam sejarah dalam sejarah Islam.” Tujuh abad sebelumnya, orang yang luar biasa ini pasti telah dikultuskan; tigabelas abad kemudian bakat dan kejeniusannya, kebaikan dan keberaniannya, membuat ia dikagumi orang-orang dunia beradab. Sebagai seorang penguasa, ia mendahului zamannya. Kecintaannya akan nilai-nilai kebenaran yang tanpa kompromi, kelembutan dan tabiatnya yang penuh belas kasih membuatnya tak sanggup berurusan dengan keluarga Umayyah yang penuh khianat dan kebohongan.
            Dengan terbentuknya pemerintahan otokrasi di bawah kekuasaan Mu’awiyah, semangat politik Islam mengalami perubahan besar. Khalifah bukan lagi kepala pemerintah yang dipilih oleh rakyat, dan memerintah semata-mata untuk menyejahterakan rakyat dan kemuliaan agama. Sejak pemerintahan Mu’awiyah, khalifah yang berkuasa menunjuk penggantinya, dan rakyat diharuskan menyatakan sumpah setia dihadapannya atau didepan perwakilannya untuk mengukuhkan pengangkatan itu. sistem ini menggabungkan keburukan demokrasi dan despotisme tanpa sedikitpun mengadopsi kebaikan kedua sistem tersebut. Di bawah pemerintahan Republik Islam, tidak hanya para khalifah yang dibantu oleh Dewan Penasehat yang terdiri dari para sahabat nabi, tapi pemerintahan di tingkat propinsi pun memiliki dewan penasehat.
            Pada zaman Dinasti Umayyah, sistem pemerintahan pada dasarnya merupakan pemerintahan otokrasi yang sebenarnya. Keotoriteran pemerintah ini hanya bisa dikurangi sedikit oleh kemerdekaan bicara yang dimiliki orang-orang padang pasir, orang terpelajar, para ulama atau orang yang dikeramatkan yang memungkinkan mereka—seringkali dengan menyitir ayat Al Quran atau syair penyair ternama—merubah pendapat sang raja.
            Di bawah kekuasaan lima khalifah Dinasti Abbasiyah pertama, sistem pemerintahan kurang lebih sama otoriternya dengan pemerintahan Dinasti Umayyah, meski terdapat sejumlah menteri dan dewan penasehat yang anggotanya terdiri dari keluarga khalifah yang terkemuka. Suatu dewan yang anggotanya terdiri dari perwakilan golongan yang ada di masyarakat, yang tugasnya menyatakan kesetiaan pada khalifah, diadakan untuk pertama kalinya pada zaman pemerintahan Ma’mun Yang Agung. Orang-orang Buyid, Salman, Seljuk dan Ayyub, semuanya mempunyai perwakilan dalam dewan tersebut
            Di satu sisi absolutisme di tangan para penguasa Abbasiyah awal mendorong perkembangan intelektual dan meningkatkan kesejahteraan negara Islam. Para khalifah Abbasiyah yang menjalankan kekuasaan dengan tangguh dan tegas bisa dibandingkan dengan kekuasaan Tudor di Inggris. Mesin politik dan pemerintah khalifah Abbasiyah yang kemudian diadopsi oleh penerusnya berasal dari kejeniusan Manshur, pendiri kota Baghdad. Sistem pembagian kerja yang efektif dan sistem pengawasan hingga detail menbuat sistem pemerintahannya tak kalah dengan sistem pemerintahan modern yang paling teratur sekali pun.
            Pada awal kekuasaannya—dinasti ini berkuasa beberapa abad—mereka mendirikan Badan Keuangan dan Sekretariat Negara. Yang pertama, bertugas memungut pajak dan membiayai pengeluaran negara. Yang kedua, bertugas mengatur mandat yang dikeluarkan oleh negara. Belakangan, untuk membuat pembagian kerja berjalan lebih baik, didirikanlah beberapa departemen negara yang dinamakan Diwan.
            Beberapa departemen terpenting di antaranya bisa disebutkan sebagai berikut: Diwan ul Kharaj (Departemen Pusat Pajak) atau Departemen Keuangan, Diwan ud Dia (Departemen Harta Kerajaan), Diwan uz Ziman (Departemen Akuntan), Diwan ul Jund (Departemen Peperangan), Diwan ul Mawali wa’l Ghilman (Departemen Perlindungan Budak)—kantor ini menyimpan daftar catatan para bekas budak dan budak-budak milik khalifah, juga mencatat bagaimana pemeliharaan terhadap budak tersebut. Selain itu terdapat Diwan Barid (Kantor Pos), Diwan al Ziman al Nafakat (Kantor Pembelanjaan Negara), Diwan al Rasail (Kantor Sekretariat Negara), Diwan al Toukia (Kantor Penerimaan Permohonan), Diwan al Nazr fi al Mazalim (Kantor Pengaduan), Diwan al Ahads wa al Shurta (Kantor Polisi dan Milisi), Diwan al ‘Ata (Kantor Derma)—kantor ini sama dengan departemen yang bertugas menggaji tentara reguler. Sementara itu, perlindungan terhadap kepentingan golongan non-Muslim diatur dalam kantor yang dinamakan Katib al Jihbazah.
            Tiap kantor pemerintahan dikepalai oleh seorang direktur yang disebut Rais atau Sadr, dan tugas pengawasan dan kontrol dijalankan oleh seorang inspektur yang dinamakan Mushrif atau Nazir(22).
            Para khalifah Abbsiyah menambahkan pada pemerintahannya seorang pejabat yang disebut Hajib. Pejabat ini bertugas untuk mengangkat para duta besar dan juga membentuk Mahkamah Agung, yang bertugas memeriksa perkara yang diputuskan hakin di tingkat kasasi. Mereka juga mengangkat seorang Wazir atau Perdana Menteri yang bertugas memberikan pertimbangan pada raja atas perkara yang memerlukan keputusan raja. Seorang Wazir juga bertugas mengatur pemerintahan di tingkat provinsi dan menentukan sumbangan yang harus dipungut dari masing-masing daerah tersebut.
            Khalifah Abbasiyah juga membangun penginapan untuk para kafilah, membangun tangki-tangki air serta kanal-kanal sepanjang jalan dari Baghdad ke Madinah, menanam pohon di sepanjang rute jalan tersebut, dan membuat tempat beristirahat di pinggiran jalan yang disediakan bagi para peziarah ataupun para musafir. Mereka membangun rute perjalanan dari Makkah ke Madinah, dan pangkalan bagi kuda dan unta antara Hijaz dan Yaman untuk mempermudah komunikasi antara kedua provinsi tersebut. Mereka memperkerjakan kurir yang ditempatkan di berbagai kota untuk mengirim benda-benda pos. Mereka membangun kantor pusat di ibukota negara untuk menyimpan dan memelihara arsip kerajaan, dan membangun kepolisian yang efisien di seluruh wilayah kekuasaan mereka. Mereka membangun serikat pedagang yang bertugas mengawasi jalannya perdagangan, menengahi sengketa yang terjadi antara pedagang, dan berkewajiban memberantas kecurangan.
            Tidak hanya tiap pusat perdagangan memiliki serikat pedagangnya sendiri, tapi tiap kota penting memiliki dewan kotanya sendiri. Para Khalifah Abbasiyah juga membangun kantor Muhtasib atau pengawas pasar yang tiap hari berkeliling pasar untuk memeriksa timbangan dan alat ukur yang digunakan para pedagang. Mereka mendorong terbentuknya pemerintahan yang otonom dan melindungi serta mendorong dibangunnya berbagai lembaga ditingkat pemerintahan kotapraja. Dunia pertanian didukung sepenuhnya dengan cara memberi modal pada para petani, dan pejabat di tingkat provinsi harus memberikan laporan secara berkala berkenaan dengan kesejahteraan rakyat dan keadaan daerah mereka. Banyak di antara mereka—di tengah pameran kemegahan—mencoba menjaga keutamaan pemerintahan republik. Mereka menulis buku, menganyam keranjang dan dijual kepasar yang hasilnya digunakan untuk kepentingan pribadi khalifah. Semangat mereka untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat mungkin sebagai perimbangan atas kekejaman yang mereka lakukan terhadap pengikut ‘Ali. Di bawah pemerintahan Ma’mun dan dua penerusnya, Imperium Abbasiyah mencapai puncak kemakmurannya.
            Spanyol merupakan contoh paling baik dari karakter politik Islam dan kemampuan adaptasinya terhadap segala bentuk tatanan masyarakat. Negeri ini amat menderita karena serangan bangsa barbar yang menyerang, menghancurkan, dan memorakporandakan segala lembaga kemasyarakatan yang mereka temukan. Kerajaan yang dibangun di atas puing-puing kerajaan Romawi telah mematikan benih-benih perkembangan politik. Rakyat ditimpa beban kekuatan feodal yang amat berat, dan segala konsekuensi buruk yang timbul karenanya. Kawasan yang luas menjadi kosong melompong karena ditinggalkan penduduknya. Namun sejak diperkenalkannya hukum Islam telah membebaskan seluruh rakyat dan tanah dari perbudakan feodal. Padang pasir menjadi subur. Kota-kota yang makmur bermunculan di segala penjuru. Anarki digantikan dengan ketertiban dan keamanan.
            Begitu menjejakkan kaki di bumi Spanyol, orang-orang Muslim Arab mengeluarkan perintah yang menjamin kemerdekaan setiap penduduk, tanpa memandang suku, asal-usul dan agama mereka; tak soal apakah mereka itu bangsa Suevi, Goth, Roma, atau Yahudi. Semuanya mempunyai kedudukan yang sama dengan kaum Muslimin. Mereka menjamin kebebasan orang-orang Yahudi dan Kristen untuk menjalankan ibadah dan bebas menggunakan tempat ibadah mereka. Mereka juga menjamin sepenuhnya keamanan dan harta benda kedua golongan tersebut. Dalam batas tertentu, mereka bahkan mengijinkan orang Yahudi dan Kristen menggunakan hukum mereka sendiri. Kedua golongan ini juga diperkenankan untuk memangku jabatan di pemerintahan dan menjadi tentara. Kaum perempuan dari kedua golongan itu didorong untuk menikah dengan golongan penakluk. Tidakkah sikap bangsa Arab di Spanyol itu menunjukkan kontras yang mengherankan ketimbang kebanyakan negara Eropa, bahkan di era modern ini, dalam memperlakukan rakyat bangsa taklukan?
            Membandingkan pemerintahan kaum Muslimin dan orang Norman di Inggris, atau orang Kristen di Syiria selama perang Salib, merupakan pelecehan terhadap akal budi manusia. Kesetiaan orang Muslim untuk memenuhi janji mereka, perlakuan adil bagi semua golongan tanpa pandang bulu, membuat rakyat taklukan percaya pada mereka. Dan, tidak hanya dalam hal yang bersifat khusus ini saja, tapi juga dalam hal toleransi dan sopan santun serta keramahtamahan yang menjadi adat kebiasaan mereka; kaum Muslimin sangat berbeda dengan bangsa-bangsa lain pada zaman itu(23).
            Pengaruh golongan pendeta Kristen membuat kaum Yahudi sangat menderita di bawah kekuasaan bangsa barbar. Dan, setelah adanya pergantian pemerintahan maka merekalah yang paling diuntungkan. Kaum perempuan Spanyol dari kalangan bangsawan tinggi, di antara mereka termasuk adik perempuan Pelagius dan anak perempuan Roderick, menikah dengan orang kafir—begitu Jean Mariana ortodoks menyebut kaum Muslim.
            Pemerintahan Islam juga tidak mengusik hak dan privilise lainnya yang sesuai dengan kedudukan yang mereka miliki, dan mereka juga memiliki kebebasan berpikir. Kaum Muslimin mengundang semua pemilik tanah yang telah diusir dengan kekerasan oleh Roderick. Para pemilik tanah yang lari ke pegunungan itu kini meninggalkan tempat persembunyiannya. Sayang, jumlah penduduk yang telah banyak berkurang itu membuat tindakan penyediaan tanah bagi mereka itu tak banyak berguna. Karenanya, mereka menawarkan berbagai keuntungan bagi petani asing yang ingin tinggal di semenanjung. Tawaran ini menyebabkan datangnya penduduk daerah jajahan di Asia dan Afrika—yang pada umumnya rajin—ke Spanyol dalam jumlah besar. Lima puluh ribu orang Yahudi, beserta istri dan anak mereka, segera tiba di Andalusia.
            Selama tujuh abad, kaum Muslimin berkuasa di Spanyol. Meski ada berbagai pertengkaran dan persengketaan di dalam negeri, tetapi kebaikan mereka diakui bahkan oleh musuh-musuh kaum Muslimin. Kemajuan begitu tinggi yang dicapai oleh orang Arab Spanyol seringkali dikatakan sebagai akibat seringnya terjadi perkawinan antara orang Muslim dan orang Kristen. Tak diragukan lagi, kondisi ini berpengaruh besar terhadap perkembangan orang Muslim Spanyol dan perkembangan peradaban yang begitu mengagumkan, di mana bangsa Eropa modern berhutang banyak atas kemajuan yang mereka peroleh pada masa damai(24).
            Apa yang terjadi di Spanyol terjadi juga di tempat lainnya. Kemanapun kaum Muslimin datang, segera terjadi perubahan besar di negeri itu; ketertiban segera menggantikan kekacauan, kedamaian dan keramahtamahan pun tersebar di seantero negeri. Karena berperang bukanlah profesi istimewa suatu golongan, maka kerja keras pun bukan suatu tanda perendahan derajat bagi yang lain. Mencari keberhasilan di dunia pertanian sama populernya dengan mencari kesuksesan di bidang ketentaraan bagi semua golongan masyarakat(25).
            Doktrin Islam yang mengajarkan pentingnya kewajiban penguasa terhadap rakyatnya untuk menyokong kemerdekaan dan kesetaraan penduduk serta melindungi mereka dari penindasan penguasa dipaparkan dalam buku yang amat menarik karya Safi ud din Muhammad bin ‘Ali bin Taba, atau yang populer dengan nama Ibn ur Tiktaka(26). Buku tersebut memaparkan hak-hak timbak balik yang dimiliki raja dan rakyatnya. Buku ini ditulis pada 701 H (1301-1302 M) dan didedikasikan bagi Fakhr ud din Isa bin Ibrahim, Amir di Mosul.
            Bagian pertama dari buku itu membicarakan kewajiban raja terhadap rakyatnya dan ketentuan-ketentuan yang mengatur administrasi publik dan ekonomi-politik. Si penulis memaparkan persyaratan penting yang harus dimiliki seorang raja, yakni bijaksana, adil, tahu apa yang diinginkan serta dikehendaki rakyatnya dan takwa pada Tuhan; ia menekankan bahwa ketaatan terhadap Tuhan merupakan akar dari segala kebaikan dan kunci bagi segala rahmat, “Karena jika raja menyadari kahadiran Tuhan, maka hamba-hamba-Nya akan menikmati rahmat perdamaian dan keamanan.”
            Seorang raja juga harus memiliki sifat kasih sayang. Ini adalah sifat terbaik dari semua sifat lainnya. Ia harus mempunyai kehendak yang kuat untuk menyejahterakan dan membahagiakan rakyatnya, dan menanyakan pada rakyat tentang keinginan mereka. Sewaktu Muhammad masih hidup ia senantiasa berkonsultasi dengan para sahabatnya. Dan, Allah pun berfirman, “Bermusyawarahlah dengan mereka mengenai tiap persoalan.” Dalam pengaturan urusan publik, rajalah yang berkewajiban mengawasi pendapatan negara, melindungi kehidupan dan harta rakyatnya, menjaga perdamaian, menahan penjahat, dan mencegah kejahatan lainnya. Ia harus memenuhi janjinya, dan kemudian, tambah si penulis, “Kewajiban rakyat ialah mematuhi raja, tapi tak seorangpun boleh patuh pada raja yang zalim.” Sedangkan Ibnu Rusyd berkata, “Seorang raja yang zalim(tiran) ialah orang yang memerintah demi kepentingannya sendiri dan bukan untuk kepentingan rakyatnya.”
            Hukum Islam berdasar atas prinsip-prinsip kesetaraan dan sangat akurat serta sederhana, tidak menuntut kepatuhan yang menyulitkan atau tidak selaras dengan kecerdasan manusia. Negeri tempat kaum Muslimin datang merupakan negeri yang belum dirusak oleh tatanan feodal dan hukum-hukum feodal(27). “Mereka tidak mengakui adanya hak-hak istimewa, adanya kasta, karena itu undang-undang mereka menghasilkan dua hal yang teramat penting—yakni, membebaskan tanah dari segala bentuk beban yang tak wajar, yang dibuat oleh ketentuan hukum barbar, dan menjamin persamaan hak yang amat sempurna bagi tiap individu”(28)
Keterangan:
1.       Gereja paling lama menahan budak-budak mereka. Sir Thomas Smith dalam bukunya Commonwealth memaparkan dengan pahit tentang kepalsuan pendeta-pendeta.
2.       Dalam Perang Parlemen kedua pihak menjual musuh yang kalah sebagai budak kepada kaum kolonis. Setelah pemberontakan Duke Monmouth dipatahkan, semua pengikutnya dijual sebagai budak. Perlakuan terhadap para budak di daerah-daerah koloni di bawah pemerintahan “Para Bapa Gereja” dan anak-anaknya sungguh tidak terperikan dengan kata-kata.
3.       Buku ini ditulis sebelum kejatuhan kerajaan Romanoff
4.       Bandingkan Gobineau, Les Religions et les Philosophies dans l’Asie Centrale.
5.       Dalam sistem Islam, rakyat non-Muslim dalam negara Islam disebut Ahl-uz-zimmah atau Zimmi, artinya “orang yang hidup dibawah jaminan keamanan.”
6.       Lihat esai-esai Sell mengenai Islam
7.       Artinya, mereka tidak boleh dipaksa untuk menerima tentara untuk tinggal di dalam rumah mereka; Futuh ul-Buldan (Balazuri), hal.65; Kitab ul-Kharaj karangan Imam Abu Yusuf. Muir mengemukakan jaminan Muhammad ini dengan lebih singkat, jilid II, hal.697.
8.       Sepotong kayu yang dipakai gereja-gereja Kristen Timur sebagai pengganti lonceng.
9.       Kadi kepala Harun ar-Rasyid
10.   Abu Bakar
11.   Terdiri dari Umar, Utsman, ‘Ali dan sahabat-sahabat nabi terkemuka lainnya; lihat kitab ul-Kharaj, hal.84
12.   Seorang keponakan Muhammad dan seorang ahli hukum Islam yang sangat diakui keahliannya.
13.   Kitab ul-Kharaj, hal.88
14.   Makrizi, hal.492, 499
15.   Zail’i dalam kitabnyaTakhrij ul-Hidayah menceritakan suatu peristiwa yang pernah terjadi pada masa khalifah Umar. Seorang Muslim bernama Bakar bin Wail membunuh seorang Kristen bernama Hairut. Khalifah memerintahkan agar “si pembunuh diserahkan kepada ahli waris orang yang terbunuh. “Si pembunuh kemudian diserahkan pada Hunain, ahli waris Heirut, yang kemudian membunuhnya, hal.338 edisi Delhi. Kasus yang sama juga dilaporkan pernah terjadi semasa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz.
16.   Lihat The short History of the Saracens, hal.573
17.   Urquhart, Spirit of the East, Jilid I. Introd. Hal.XXVIII
18.   Demikianlah julukan yang sering diberikan kepada para raja Bizantium oleh orang-orang Islam awal
19.   Hukuman pertama yang dijatuhkan oleh pengadilan dan tidak dilaksanakan eksekusinya terjadi pada jaman Mu’awiyah yang mengampuni orang yang divonis bersalah oleh hakim karena membaca sebuah sajak yang memuji sang perampas kekuasaan tersebut.
20.   Itulah sebabnya mereka disebut sebagai Mualafat ul-kulub (Islam nominal).
21.   Oelsner, Des Effets de la Religion de Muhammad
22.    Keterangan lengkap mengenai sistem politik dan administrasi Dinasti Abbasiyah, lihat di The short History of the Saracens, hal.402-443
23.   Conde, History of the Spanish Moors
24.   Renan, Averroes et Averroisme
25.   Oelsner
26.   Karya ini dikenal sebagai Kitab-i-Tarikh-ud-Duwal, Sejarah Dinasti-Dinasti,; tapi judul yang sebenarnya adalah Kitab-ul-fakhri fi’l adab-il-Sultaniyat wa’d duwal ul-Islamiyah, “Kitab Fakhri mengenai tingkah laku raja-raja dan Dinasti Islam”; Edisi Derenbourg.
27.   Di Korsika, Sardinia, Sisilia dan sebagian Italia, sistem feodal masuk setelah pengusiran orang Arab.
28.   Oelsner

SUMBER:
Tulisan ini diambil dari buku The Spirit of Islam karangan Syed Ameer Ali, bab VII, hal.309-332.Buku Diterbitkan oleh Penerbit NAVILA,Yogyakarta, Januari 2011, Penerjemah: Margono dan Kamilah,S.Pd

Tidak ada komentar:

Posting Komentar