Arief
Sofyan Ardiansyah
Kajian Budaya
dan Media, Pascasarjana UGM
ABSTRACT
Advertising is part of a social phenomenon of
contemporary consumer society. Objects in the ad does not stand alone but is
formed by a system of language. Through language, the ad shows people's daily
practice in the relationship in which power relations including lifestyle
supported by consumptive life. Currently,
when environmental issues became popular, the ad was taking shape of it into a
green advertising. Construction of meaning "green" in the ad shows a
paradox .This article found that green with the tagline "saving energy"
and "environmentally friendly" is just mask of reality. Existing
green ads actually build a new type of consumption that make environmental
issues a new class marker. A class that builds their superiority by creating an
upper middle-class subjects as environmental heroes.
This article takes a case on ads household electronic
appliance be energy efficient so that it can be used by the lower classes that
would basically eliminate the distinctive nature of the upper class. However,
through the construction of the myth of the upper middle class as environmental
heroes then this distinctive trait can be maintained simultaneously keep open
the possibility of lifestyling. Through this green advertising, capital is able
to expand its market reach lower class consumers while keeping the upscale
market.
This article looks at the construction of the
imaginary subject position creates a distinctive imaginary relationship that is
able to maintain the hierarchy between the lower class and upper class,
although both consume the same thing
Keywords:
Representation, identity, consumption
Introduction
Saat ini wacana hijau sedang populer
di Indonesia. Indikatornya, isu hijau masuk dalam pembahasan media massa besar
dengan berbagai tema. Institusi pendidikan pun menggalakkan program green campus dan green school. Berbagai wacana lingkungan pun terus direproduksi di
berbagai media. Bahkan isu hijau kemudian digunakan dalam iklan. Isu hijau
digunakan dalam berbagai macam varian. Ada yang sekedar menjadi background
iklan, ada yang memang memasarkan produk yang diklaim hijau, ada juga yang
sekedar menambahkan citra-citra hijau pada produk dan ada juga yang menjual isu
hijau sebagai bentuk advokasi lingkungan (Corbett, 2006, 149 – 154).
Salah satu iklan yang menarik
perhatian adalah iklan alat elektronik yang menyatakan diri eco friendly dan hemat energi. Iklan ini
menurut saya sangat unik. Terdiri dari berbagai macam paradoks makna yang
saling berbenturan namun dapat membentuk sebuah kesatuan. Seperti misalnya,
pada satu sisi menyatakan hemat energi namun di sisi lain justru mempromosikan
gaya hidup konsumtif lewat relasi antar tokoh dan pemilihan scene. Kata “hemat energi” itu sendiri
merupakan sesuatu hal yang sangat bermasalah. Karena, hemat energi artinya alat
elektronik tersebut dapat digunakan pada rumah dengan daya listrik rendah.
Maka, produk yang dahulu hanya bisa digunakan kelas menengah ke atas seperti air conditioner, lemari es dan mesin
cuci kini bisa digunakan oleh kelas bawah.
Throstein Veblen berkata, kelas atas
menggunakan konsumsi untuk membedakan diri dari kelas-kelas di bawahnya dalam
hierarki sosial, sementara kelas-kelas bawah berupaya meniru mereka (dalam
Ritzer&Smart, 2012,825). Melihat teori Veblen, frasa “hemat energi” justru
menghilangkan perbedaan antara kelas atas dan kelas bawah dalam hal konsumsi.
Hal ini bisa saja membahayakan bagi modal karena membuat konsumsi kehilangan sifat
distingtifnya. Namun ternyata tak menghentikan modal untuk terus melempar iklan
serupa tapi tak sama ke pasar. Hal ini memunculkan kecurigaan bahwa ada sebuah
cara yang digunakan iklan untuk tetap menjaga hierarki antara kelas menengah ke
atas dan kelas bawah. Paper ini berusaha untuk mengkaji hal tersebut dengan
menggunakan teori Stuart Hall tentang representasi. Berusaha melihat bentuk
representasi isu hijau dalam iklan hijau/lingkungan produk elektronik di
Indonesia.
Iklan sebagai
Representasi
Barker
menyebutkan representasi merupakan salah satu kajian utama dalam cultural
Studies, yaitu tentang bagaimana dikonstruksi dan disajikan secara sosial
kepada dan oleh diri kita (Barker, 2005, 10). Salah satu acuan penting dalam
teori representasi adalah tulisan Stuart Hall, Representation through language is therefore central to the processes
by which meaning is produced (1997, 01). Representasi adalah proses
produksi makna dengan mengenakan bahasa sebagai sarana utamanya. Bahasa
digunakan untuk menghadirkan kembali atau menggantikan kehadiran subjek/objek.
Kemudian
Hall melanjutkan, terdapat dua sistem representasi yang terlibat dalam proses
pemaknaan yaitu mental representation
yaitu meaning depend on the system of concept and
image formed in our thought which can stand for or represent the world,
enabling us to refer to things both inside and outside our heads.
Sistem di mana semua subjek/objek baik peristiwa, manusia dihubungkan dengan
satu konsep representasi mental. Tanpa adanya konsep tersebut dalam kepala kita,
kita tak dapat menginterpretasi segala sesuatu yang ada di dunia. Kedua adalah
bahasa, karena dengan bahasa kita mengkonstruksi makna atas dunia. Hal ini
dapat berlangsung bila kita memiliki akses pada bahasa tertentu. Seperti yang
kita lihat, walaupun terpisah dalam penjelasannya, namun keduanya adalah sebuah
kesatuan yang saling membangun satu sama lain dan tak mungkin dipisahkan (1997,
17 – 18)
Bahasa
bisa berwujud kata – kata, tulisan atau citraan visual seperti iklan. Iklan
merupakan teks budaya yang mendasarkan pada kepercayaan – kepercayaan budaya,
stereotype serta shared belief (Frith
dan Mueller, 2003, 119). Iklan merupakan jendela yang signifikan untuk melihat
proses produksi dan reproduksi ideologi (Noviani, 2009). Ideologi yang
membentuk relasi kuasa yang dibangun dari konstruksi atas kelas, identitas dan
gaya hidup lewat bahasa.
Advertising List
Semua
iklan adalah teks sosial yang merespon perubahan penting pada masa mereka
muncul ( Kellner, 2010, 340). Studi ini menggunankan dua objek kajian iklan
yang dirasa merepresentasikan perubahan sosial ini, yaitu :
1.
Panasonic Econavi –
Atikah Hasiholan versi “precious moment, dad version”
2. Toshiba Glacio – Hemat
Listrik versi “Untuk Semua”
Selanjutnya
kedua iklan tersebut akan disebut sebagai iklan 1 dan iklan 2.
IKLAN 1. Green
Individual Saving (Account)
Iklan ini menceritakan seorang ayah
dengan keluarga bahagia sesuai standar pemerintah dengan dua anak cukup yang
menganggap rumah dan keluarganya sebagai hal yang paling berharga. Pada awal scene kemunculan tokoh ayah, ia sedang
berada di jalan raya.
Gambar 1.1 |
Gambar 1.2 |
Penggambaran suasana malam di atas
menyembunyikan kelamnya asap knalpot. Kelap-kelip berbagai lampu di jalan
seakan menampilkan suasana romantisme keindahan malam. Membuat kemacetan
terlihat menawan sambil menyembunyikan kegelisahan sosial atas pertumbuhan
kendaraan bermotor yang tak terkendali. Image
ini seakan menutupi realitas pertumbuhan kapitalisme otomotif Indonesia yang
tak terkendali dan didominasi oleh produk impor.
Kapitalisme impor ini meminggirkan transportasi massa
yang terlihat dalam gambar 1.1, sebuah bis Kopaja yang terkepung puluhan mobil
dan motor pribadi dalam suasana yang bisa dikatakan sebagai “perang
memperebutkan ruang”. Seperti dikatakan Massey, ruang merupakan sebuah
konstruksi sosial di mana sosialitas selalu terkonstruksi secara spasial, dinamis,
terbentuk oleh relasi sosial yang selalu berubah serta ruang selalu berhubungan
dengan pertanyaan mengenai kekuasaan dan simbolisme (dalam Kunci, Maret 2001,
06).
Kondisi kemacetan di jalan raya yang penuh polusi ini
tampak berlawanan dengan tema “hijau” yang dibawa. Di jalanan yang macet ini
berbagai macam kendaraan mencoba berebut ruang untuk dapat melaju mendahului
yang lain dan membebaskan diri dari kemacetan. Terlihat mobil pribadi lebih
mendominasi . Sepeda motor
pun terhimpit dan dipaksa melewati ruang-ruang sempit yang masih tersisa dari
“perang” perebutan tersebut. Dominasi
mobil pribadi yang begitu jelas menandakan bahwa merekalah penguasa ruang jalan
raya yang terbesar sekaligus pihak yang mengkonsumsi ruang jalan dengan kuota paling
banyak. Bus, walaupun besar namun ia diisi oleh banyak orang. Sehingga jika
dirata-rata, konsumsi ruang per orangnya sangatlah kecil. Begitu juga dengan sepeda motor. Namun berbeda
dengan mobil pribadi. Karena bentuk mobil yang lebih besar, maka mereka
mengkonsumsi ruang jalan raya lebih banyak dari lainnya. Semakin besar mobil pribadinya, maka semakin besarlah
konsumsi ruang jalan raya yang “dihabiskan”. Pemilik kendaraan pribadi adalah
para pemenang dalam “perang” merebut ruang di jalan raya.
Kemampuan melakukan konsumsi
merupakan unsur utama pembeda antar kelas dalam gaya hidup. Semakin besar
konsumsi yang dilakukan, semakin tinggi kelasnya. Dalam mengkonsumsi ruang
jalan raya, hal yang sama pun terjadi. Dalam banyak film misalnya, diceritakan bahwa
sang konglomerat adalah ia yang memiliki limosin, sebuah mobil pribadi yang
panjang. Selain mobil itu menunjukkan kemampuan membeli sang konglomerat, hal
itu juga menandakan kemampuan untuk mengkonsumsi ruang jalan raya sang
konglomerat.
Kemampuan konsumsi ini kembali
ditunjukkan ketika ayah telah sampai di rumah.
Gambar 1.3 |
Ruang keluarga yang kemungkinan
memiliki fungsi ganda sebagai ruang tamu ini terlihat sangat indah, tertata
rapih, putih, bersih dan bercahaya. Penggambaran ruang keluarga ini dapat
dianggap sebagai tanda indeksikal. Menandakan keadaan rumah yang keseluruhan
ruangannya memiliki keindahan yang sama dengan ruang keluarga. Ini adalah rumah
ideal keluarga ideal kelas menengah. Bisa dikatakan rumah ini adalah apa yang
disebut Walter Benjamin sebagai phantasmagoria,
Munculnya
tempat-tempat konsumsi baru ini oleh Benjamin dihubungkan dengan tempat lain,
hunian pribadi, yang untuk pertama kalinya tampak berbeda dengan ruang kerja.
Di sini para penghuni berusaha menciptakan ruang-ruang fantasi milik mereka
sendiri, ‘phantasmagoria-phantasmagoria dalam ruangan’. Untuk itu, sebagai
konsumen mereka diarahkan ke tempat-tempat konsumsi baru guna memperoleh apa
yang mereka butuhkan untuk mengubah hunian mereka menjadi dunia impian (dalam Ritzer&Smart,
2012, 841)
AC econavi merupakan bagian penting
dari phantasmagoria ruangan tersebut. Ia menjadi pesan penting yang coba
dibangun oleh panasonic
Ayah
: Momen berharga buat aku....Di rumah dengan ruangan yang nyaman
Di
sini, Atikah Hasiholan sebagai bintang iklan sekaligus brand ambassador Panasonic menyapa ayah dan sekaligus viewers.
Gambar 1.4 |
Atikah
: Melalui econavi, panasonic selalu menyertai setiap momen berharga anda.
Demi kenyamanan hidup lingkungan
dan masa depan anda.
Panasonic melakukan interpelasi. Ia
memanggil sang ayah, tokoh dalam iklan, sekaligus memanggil kita para penonton
(viewers) dan menempatkan kita pada
posisi subjek sang ayah. Kita (viewers)
menjadi subjek panasonic. Panasonic memanggil viewers sebagai individu bukan kelompok dan menawarkan solusi
kenyamanan hidup yang sebenarnya merupakan panggilan untuk membeli. Di samping
memanggil, ia juga merayu sekaligus mengancam dengan mengatakan, pembelian
econavi panasonic semata demi kenyamanan hidup lingkungan dan masa depan. Jika
tak membeli maka tak ada jaminan apapun dalam hidup anda.
Iklan ini juga membentuk/menawarkan
kategorisasi posisi imajiner pada subjek sebagai bentuk subjektivitas.
Penawaran/pembentukan pilihan ini selanjutnya membentuk hierarki imajiner
karena bagi “anda” yang merespon interpelasi dan tawaran kenyamanan disediakan
posisi subjek yang hebat dan kuat yaitu sang ayah yang memiliki rumah ideal,
keluarga ideal dan yang paling penting, kemampuan besar dalam berkonsumsi dan
pemenang “perang” memperebutkan ruang di jalan raya. Sedangkan bagi bukan
“anda”, yang tidak merespon interpelasi, sama sekali tidak disediakan pilihan
posisi subjek. Bukan “anda” dianggap tidak ada, bukan siapa-siapa.
Kemudian, jaminan kenyamanan
lingkungan dan masa depan berhubungan dengan salah satu kelebihan econavi yang
diklaim panasonic yaitu teknologi hemat energi. Hemat/saving bermakna, tidak
berlebihan dalam mengkonsumsi energi dan menyimpannya untuk masa depan. Dalam
bentuk sederhananya mungkin seperti yang dikatakan pepatah lama, hemat pangkal
kaya. Tujuannya adalah kelestarian energi dan menyelamatkan bumi dari
kerusakan. Namun sebelum kita menerima klaim tersebut bulat-bulat, ada sesuatu
yang harus disadari, yaitu kenyamanan lingkungan dan masa depan yang ditawarkan
hanya ditujukan pada “anda” sebagai individu semata. Maka, kelestarian energi
yang dihasilkan bukanlah untuk menyelamatkan lingkungan tapi untuk memastikan
energi tersebut masih bisa digunakan oleh “anda” di masa depan. Prinsipnya mirip
dengan tabungan di mana untuk mendapatkannya anda harus membuat rekening dengan
membeli econavi panasonic. Frasa hemat energi dan menyelamatkan lingkungan
hanyalah penopengan realitas belaka.
Iklan 2. Green
Consumption and Green Lifestyle
Bercerita tentang tindakan konsumsi
yang dilakukan kelas menengah secara gotong royong, membentuk sebuah rantai
konsumsi dan berakhir di lemari es. Iklan diawali dengan adegan seorang
perempuan membeli komoditas di sebuah mall/hypermarket
Gambar 2.1 |
Gambar 2.2 |
Gambar 2.3 |
Gambar 2.4 |
Gambar 2.5 |
Gambar 2.6 |
Gambar 2.7 |
Gambar 2.8 |
Pada
gambar 2.1 terlihat seorang perempuan sedang membayar di kasir dengan penuh
senyum. Menandakan kegembiraan dan kepuasan yang di dapat dari momen konsumsi.
Ia berbelanja di bagian buah dan sayur, menandakan kesegaran dan kesehatan
alami. Sebuah bagian dari wajah alam. Ia adalah bagian dari kelas menengah yang
sedang melaksanakan ritual belanja. Pemilihan mall sebagai pembuka iklan seakan
mengatakan pada kita bahwa semuanya berawal dari mall dan tanpanya, rantai
konsumsi ini takkan terjadi. Mall adalah pusat dari ritual konsumsi, bukan
pasar tradisional atau toko kelontong.
Kemudian sang perempuan memberikan
barang yang dibelinya kepada laki-laki dibelakangnya yang tak dikenalnya dan
barang tersebut diteruskan kepada orang berikutnya, begitu seterusnya.
Terbentuklah sebuah momen kebersamaan kelas menengah penduduk perkotaan yang
sebelumnya tak saling mengenal. Momen konsumsi menyatukan individu-individu
menjadi kelompok yang bekerja sama. Inilah gambaran masyarakat konsumsi.
Berakhirnya momen kebersamaan di lemari es keluarga ideal yang lagi-lagi
menurut versi pemerintah menandakan kapasitas lemari es yang begitu besar
sehingga bisa memuat seluruh isi hypermart dan juga memperlihatkan kemampuan
konsumsi sangat besar yang dimiliki kelompok ini.
Iklan
ini menggambarkan keadaan saat ini di mana kehidupan yang telah terintegrasi
begitu dalam dengan kapitalisme memang digerakkan oleh konsumsi. Ketika
konsumsi melemah, maka pertumbuhan ekonomi/profit akan menurun dan dapat
menciptakan krisis yang biasanya di atasi dengan menggelontorkan begitu banyak
uang pemerintah ke pasar (bail out)
dan diturunkannya suku bunga demi terus menciptakan konsumsi.
Pemilihan
tempat dalam iklan bukanlah hal yang acak begitu saja. Ia dirancang untuk
memunculkan makna tertentu. Hampir keseluruhan tempat menunjukkan kesegaran
hijau pepohonan, rumput
dan birunya langit yang mengatakan kegiatan konsumsi merupakan kegiatan alami,
sehat dan menyegarkan. Selain itu juga menyenangkan karena semua orang
tersenyum. Konsumsi menjadi sumber kepuasan dan kebahagiaan. Selain itu, pada
gambar 2.3, diperlihatkan barisan mobil pribadi yang menimbulkan kesan
kemakmuran simbol gaya hidup kelas menengah namun tanpa diperlihatkannya jenis
kendaraan lain. Hal ini dapat juga dimaknai sebentuk dukungan pada kapitalisme
otomotif yang didominasi produk import dan sangat masuk akal mengingat toshiba
glacio sendiri merupakan produk import.
Pada gambar 2.3 juga terlihat boks
telepon umum yang cukup unik. Berlawanan dengan kondisi real Indonesia saat ini
yang tak lagi memiliki telepon umum, iklan justru menampilkan sebuah telepon
umum yang masih terawat baik. Menandakan adanya sebuah fasilitas publik yang
berfungsi dengan baik yang artinya, adanya peran aktif pemerintah dalam
menyediakan pelayanan kepada kelas menengah. Gambaran ruang publik juga muncul
pada gambar 2.5, sebuah taman yang tertata rapi. Kedua ruang publik ini pada kenyataannya sangat
sulit dijumpai di Indonesia. Maka, iklan ini memberikan sebuah gambaran
imajinatif akan bentuk kelas menengah (masyarakat konsumsi) yang makmur,
bersatu, saling menolong, mampu menikmati konsumsi waktu luang di taman dan
memiliki pemerintahan ideal yang memperhatikan kepentingan mereka. Berlawanan
dengan kondisi sekarang di mana penduduk kota sangat individual dengan mesin
birokrasi pemerintah yang kurang memuaskan.
Pada tempat-tempat tersebut juga
tidak dijumpai adanya kelompok lain, selain kelas menengah. Di taman (gambar
2.5), di kompleks ruko (gambar 2.3) tak ada terlihat barisan PKL (pedagang kaki
lima) yang biasanya memenuhi taman. Sama sekali tak ada tanda kehadiran kelas
bawah di sana. Keadaan ini merupakan gambaran dari kondisi sosial saat ini,
ketika PKL digusur pemerintah dengan alasan mengganggu pemandangan, merusak
tata kota, membuat macet jalan raya bahkan menjadi sumber penyakit akibat
makanan yang dijual seringkali dikampanyekan mengandung boraks. Inilah kondisi
sosial yang diidamkan kelas menengah, dihilangkannya wajah kelas bawah. Iklan
ini membentuk sebuah kategorisasi, antara kelompok yang dimunculkan (kelas
menengah) dan kelompok yang dihilangkan/dianggap tidak ada (kelas bawah)
Isu lingkungan yang dibawa pun
menjadi bermasalah, apalagi ketika dihubungkan dengan slogan toshiba glacio,
“Toshiba Glacio, Besar Kapasitasnya bukan Listriknya”. Slogan ini memiliki
makna yang saling berlawanan. Glacio memiliki kapasitas besar yang artinya
memungkinkan untuk dilakukan konsumsi berlebihan seperti digambarkan dalam
iklan, namun tindakan ini jauh dari kata hemat yang di satu sisi menjadi
kelebihan dari Glacio yaitu teknologi hemat listrik.
Green Hero
Iklan 1 dan 2 di atas bisa dikatakan
memiliki kesamaan pola pembentukan makna dalam membangun representasi tentang
isu hijau. Keduanya menggunakan berbagai paradoks yang saling mengisi,
berlawanan dan dibingkai dengan posisi subjek yang ditawarkan. Di satu sisi
menawarkan teknologi hemat energi namun di sisi lain justru menawarkan posisi
subjek dengan kemampuan konsumsi luar biasa. Dalam hal ini, paradoks inilah
yang membentuk isi pesan iklan hijau. Pertama, konsumsi tinggi ini merupakan
elemen yang sangat penting karena ia menjadi unsur distingtif imajiner yang
membedakan kelas menengah dengan kelas bawah. Dari sisi inilah iklan hijau menawarkan
motif berbeda bagi kelas menengah untuk membeli produk hemat energi. Karena
itulah dalam kedua iklan tersebut, kelas bawah selalu dianggap tidak ada dengan
membangun kategorisasi dalam posisi subjek imajiner
Kelas bawah membeli barang hemat
energi karena memiliki keterbatasan kemampuan konsumsi. Sedangkan bagi kelas
menengah, motifnya bukanlah kekurangan daya beli. Dengan kemampuan konsumsi
luar biasa besar yang bahkan bisa memindahkan semua isi hypermart ke dalam
lemari es dan membangun phantasmogaria impian, kelas menengah tak perlu
berhemat. Tindakan membeli barang hemat energi bisa dilihat sebagai bentuk
penyelamatan lingkungan. Hal ini bisa dilihat dari ajakan Atikah Hasiholan
untuk menyelamatkan lingkungan dan masa depan. Kelas menengah pun menjadi green
hero.
Walaupun
motif ini kemudian diselewengkan oleh iklan sebagai agen kapitalis. Karena
kapitalisme memiliki sifat dasar untuk merusak lingkungan. Menurut pemegang
nobel di bidang ekonomi Jan Tinbergen, degradasi lingkungan merupakan akibat dari
pertumbuhan produksi dan penyelamatan lingkungan sudah tentu akan memerosotkan
pertumbuhan produksi dan profit (Rich, 1999, 361). Pendapat ini dikuatkan oleh
Hira Djamtani yang menganggap krisis lingkungan dan kerusakan sumber daya alam
yang kita hadapi saat ini berakar dari cara produksi yang destruktif dan
konsumsi berlebihan (2001, 161). Maka sudah jelas, tidak ada yang namanya
“profit hijau”. Kerusakan lingkungan yang terjadi di bumi sebagian besar justru
disebabkan oleh kapitalisme.
Conclusion
Sifat
distingtif ini kemudian sangat menguntungkan bagi panasonic dan toshiba. Di
mana keduanya dapat melebarkan pasar
lewat teknologi hemat energi dengan menyasar kelompok masyarakat kelas bawah
(tidak perlu memasang daya listrik besar untuk menkonsumsi alat elektronik
hemat energi). Kesempatan kelas bawah untuk memiliki barang yang sama dengan
kelas menengah pun terbuka lebar. Namun di sisi lain panasonic dan toshiba
dapat tetap mempertahankan konsumen sebelumnya yaitu kelas menengah atas lewat
penggambaran imajinatif akan sifat distingtifnya sebagai kelas dengan kemampuan
konsumsi sangat besar. Di sini kita bisa melihat kembali pada teori Veblen yang
sempat dipertanyakan sebelumnya bahwa kelas atas menggunakan konsumsi untuk
membedakan diri dari kelas-kelas di bawahnya dalam hierarki sosial, sementara
kelas-kelas bawah berupaya meniru mereka (dalam Ritzer&Smart, 2012,825).
Tampaknya
teori Veblen ini tidak lagi memadai untuk digunakan menganalisis konsumsi dan
gaya hidup, karena paper ini menemukan hal yang berbeda. Bukan komoditas
konsumsi dalam bentuk barang/kebendaan yang membedakan hierarki, namun lebih
kepada kemampuan yang dipertunjukkan lewat pembangunan posisi subjek imajinatif
lewat iklan. Hanya saja, apa yang dipertunjukkan bukanlah tanda yang nampak
jelas, namun ia tersembunyi di balik makna dan membangun alam bawah sadar
viewers, meredakan kegelisahan kelas menengah – tugas khas periklanan
kontemporer (Kellner, 2010, 346).
Daftar Pustaka
·
Barker, Chris., Cultural studies: Teori dan Praktek, Yogyakarta:
Kreasi Wacana, 2005
(penerj.Nurhadi)
·
Corbett, Julia
B.(2006). Communicating Nature : How We Create and Understand Environmental
Messages. Washington: Island Press
·
Djamtani, Hira.(2001).
Ancaman Globalisasi dan Imperialisme Lingkungan. Yogyakarta: Insist Press
·
George Ritzer and Barry
Smart.(2012). Handbook Teori Sosial. Bandung: Nusa Media (penerj. Imam
Muttaqien, Derta Sri Widowatie, Waluyati)
·
Katherine Toland Frith
& Barbara Mueller.(2003) Advertising and Representations of “The Other”. In
Advertising and Societies: Global Issue.
New York: Peter Lang Publisher
·
Kellner,
Douglas.(2010). Budaya Media: Cultural Studies, Identitas, dan Politik antara
Modern dan Postmodern. Yogyakarta: Jalasutra
·
Ratna Noviani.(2009)
Performativitas Gender dalam Iklan Kontak Jodoh. Dalam (ed)Irwan Abdullah, et
all, Dinamika Masyarakat dan kebudayaan
Kontemporer. Hal.45-75. Yogyakarta: TICI Publications
·
Rich, Bruce.(1999).
Menggadaikan Bumi. Jakarta : Penerbit INFID
·
Stuart Hall.(1997). The
Work of Representations. In Representations:
Cultural Representations and Signifying Practices. (ed) Stuart Hall. Pp
15-29. London: Sage Publications
Jurnal
·
Jurnal KUNCI.(cat)
Editor. Edisi 9. Maret 2001. Politik Ruang
*Tulisan ini merupakan terjemahan dari Representation
of green issue in Indonesia advertising: Middle Class as Green Hero yang telah dipresentasikan dalam The 6th International Graduate
Students and Scholars Conference in Indonesia
(IGSSC) di UGM 19-20
November 2014 dan dipublikasikan dalam bentuk proceeding