Rabu, 21 November 2012

HUJAN

hujan membasahi bumi
angin segar membawa kebaruan kehidupan
awan menangis bahagia
tanah hidup karenanya
manusia tertawa, mengeluh dan marah
namun, kehidupan berjalan
Tuhan ada dalam hujan

Jumat, 16 November 2012

SUBSIDI BBM HANYA MEMBOROSKAN ANGGARAN

            Hal ini memang telah menjadi polemik lama. Pada tahun 2005 kemaren ada kenaikan harga BBM dengan tujuan memperkecil besaran subsidi sehingga bisa disalurkan kepada sektor lain seperti subsidi kesehatan, pendidikan dan pertanian. Kenaikan ini berhasil dilakukan oleh Pak Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kemudian kenaikan hampir terjadi lagi pada tahun 2011 dan ditentang habis-habisan oleh berbagai elemen masyarakat yang akhirnya gagal naik.

            Sebenarnya pemberian subsidi BBM kepada masyarakat menguntungkan atau merugikan?

Bila melihat pada judul tulisan tentu pembaca sudah mengetahui posisi saya yang menolak subsidi BBM. Hal tersebut karena beberapa hal, yaitu:

1.      Subsidi BBM hanya berakhir menjadi asap polusi udaa
2.      Tidak tepat sasaran karena dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat
3.      Menguntungkan industri mobil yang merupakan produk asing
4.      Dana pembangunan dikuras hanya untuk subsidi BBM yang tidak produktif
5.      Terbengkalainya berbagai sektor lain yang justru merupakan sektor penopang utama sebuah bangsa yaitu sektor pendidikan, kesehatan dan pertanian
6.      Meningkatkan kemacetan karena dengan BBM murah, orang jadi lebih termotivasi membeli kendaraan pribadi

Itulah 6 sebab yang membuat subsidi BBM hanyalah sebuah tindakan sia-sia yang telah membakar dana tak kurang dari 300 trilyun tahun 2012 ini. Sungguh sangat disayangkan.

Kamis, 15 November 2012

UNTUK APA KITA WAJIB BELAJAR 12 TAHUN?


            Pemerintah mewajibkan kita untuk belajar dari SD-SMP-SMA. Pemerintah juga menganggarkan dana sangat besar untuk mewujudkan “kewajiban” kita belajar. Walaupun kita tetap harus membayar berbagai iuran lainnya untuk berbagai alasan yang entah penting atau tidak. Dari mulai iuran seragam, buku, gedung,ekstrakurikuler hingga iuran perjalanan wisata. Semua dibayarkan oleh kedua orang tua dengan penuh kerelaan hati walau harus berutang kanan-kiri dengan harapan kita akan menjadi  manusia yang berhasil dan membanggakan. Beribu terima kasih kita haturkan pada jasa kedua orang tua. Namun, kemudian ternyata setelah lulus SMA harapan orang tua justru tak terwujud. Saat ini untuk mendapatkan pekerjaan bagus minimal harus memegang ijazah D3. Kemudian untuk membuka usaha sendiri kita juga tak mampu, bukan karena kita tidak memiliki kemampuan untuk itu, namun karena kita memang tidak diajarkan untuk menjadi manusia mandiri. Lalu apa gunanya kita belajar selama 12 tahun menuntut ilmu dari pagi hingga siang yang kemudian dilanjtkan dengan berbagai kegiatan ekstrakurikuler?

            Belajar memang kewajiban semua umat manusia. Ilmu yang membuat manusia maju dan bahagia. Menusia menjadi bahagia karena semua kesulitan dalam hidup bisa terpecahkan dengan ilmu. Semua masalah kehidupan dapat ditemukan solusinya dengan ilmu. Bukankah itu tujuan utama kita dalam belajar, yaitu memperoleh kebahagiaan tertinggi dalam kehidupan. Namun, apakah kebahagiaan yang kita kejar semenjak dini kita belajar? Tentu saja. Masih ingatkah kita ketika kecil kita ditanya ingin menjadi apa, lalu kita menjawab ingin menjadi sesuatu. Karena kita berpikir dengan menjadi sesuatu kita akan mendapatkan kebahagiaan.

            Sewaktu kecil saya ingin menjadi Power Ranger karena menurutku mereka sangat kuat dan aku merasa akan bahagia bila memiliki kekuatan seperti mereka, bisa melawan monster dan pamer pada teman. Namun kemudian berubah lagi, aku ingin menjadi dokter karena berpikir mengobati teman-teman yang sakit supaya bisa bermain bersama lagi adalah sesuatu yang menyenangkan. Itulah kebahagiaan yang ingin kucapai ketika kecil. Menjelang dewasa semua mulai berubah. Cita-cita konyol dahulu telah berganti, bahkan saat menjadi dewasa dan mengerti kerasnya hidup aku hanya memiliki satu keinginan yaitu mendapatkan pekerjaan. Semua keindahan masa kecil telah sirna, berganti dengan keinginan untuk bertahan hidup. Untuk mendapatkan pekerjaan aku melamar kesana-kemari, tak perduli walaupun yang kulamar bukanlah bidang yang telah kupelajari selama 5 tahun kuliah. Bila ditotal maka aku telah belajar selama 17tahun dan semuanya hanya menghasilkan ijazah.

SD-SMP-SMA memakan waktu 12 tahun dan kuliah 5 tahun. Sebuah waktu yang sangat lama dalam belajar. Lalu apa yang kita dapatkan? Bahkan kita sama sekali tidak mampu menjawab sebuah pertanyaan sederhana seperti” untuk apa kita hidup?” walaupun telah 17 tahun belajar. Bayangkan saja, untuk belajar intensif tentang bahasa inggris saja kita hanya butuh waktu untuk belajar selama 1 tahun dan kita telah mampu menguasai bahasa Inggris. Kemudian untuk berbagai macam ketrampilan lain seperti menjahit, memperbaiki mesin, membangun rumah, memasak secara intensif tak membuttuhkan waktu yang  lama. Sederhananya, semua kemampuan dasar yang dibutuhkan untuk dapat bertahan hidup sebenarnya bisa dipelajari dalam waktu yang singkat. Termasuk untuk berdagang, tak sedikit manusia yang hanya bekerja menjadi pelayan pedagang dan akhirnya mendapatkan kemampuan berdagang. Bayangkan bila 17 tahun yang kita habiskan itu kita pergunakan untuk mempelajari hal yang memang kita sukai dan bermanfaat, tentu masa depan kita akan berbeda, masa depanku berbeda.

Setelah 17 tahun belajar, akhirnya aku hanya mencari lowongan seadannya, apapun itu yang penting menghasilkan rupiah. Aku bukan satu-satunya yang bernasib seperti ini, ada jutaan pemuda Indonesia lainnya yang bernasib sama. Lihat saja Job Fair yang selalu dipenuhi manusia-manusia muda dan “terpelajar”. Aku hanyalah satu diantara jutaan lainnya.

            Apakah itu semua salahku yang tidak belajar dengan baik? Coba lihatlah sekitar, berapa banyak mahasiswa yang memiliki indeks prestasi tinggi justru berakhir menjadi pengangguran. Ini bukanlah kesalahan individu, namun sebuah fenomena yang terjadi dalam kehidupan nyata. Walaupun akhirnya aku berhasil mendapatkan pekerjaan di sebuah bank namun hal tersebut tetaplah mengecewakan karena bekerja bukan pada bidang dan minatku.

            Tidak hanya aku yang bekerja bukan pada bidangnya, ada banyak orang lain yang melakukan hal sama. Di kantorku saja terdapat lulusan ilmu fisika, pertanian, sastra inggris. Bekerja bukan pada bidang perbankan membuat diriku merasa sia-sia telah membuang 5 tahun belajar ilmu komunikasi. Akhirnya setelah satu tahun bekerja kuputuskan keluar dan melanjutkan S2 untuk menjadi dosen dan penulis. Daripada menghabiskan waktu melakukan hal yang tidak disukai lebih baik pergunakan waktu sebaik mungkin untuk mengejar cita-cita. Pencerahan ini baru kudapatkan setelah hidup selama 25 tahun dan selama 1 tahun terlepas dari dunia pendidikan.

Akhirnya aku menemukan tujuan  hidupku. Hal ini seharusnya lebih awal kusadari. Seandainya pendidikan kita berbasis pada penemuan minat, bakat dan pembangunan karakter sebagai manusia Indonesia seutuhnya yang mandiri dan merdeka serta berani maka kita, seluruh pemuda akan menjadi 180 derajat berbeda dari keadaan sekarang. Mari bersama-sam kita wujudkan mimpi itu demi anak cucu kita nanti.


Selasa, 13 November 2012

BANK SYARIAH LEBIH BURUK DARI BANK KONVENSIONAL


            Bank syariah merupakan bank yang memiliki prinsip berbeda dengan bank konvensional. Bila bank konvensional menggunakan prinsip bunga/riba maka bank syariah menggunakan prinsip bagi hasil. Hal ini amatlah berbeda, bahkan berlawanan. Untuk lebih jelasnya mari kita ambil sebuah contoh,

Contoh Kasus
Budi ingin meminjam uang pada Bank Syariah untuk memulai usaha bisnis rumah makan. Ia mengajukan pinjaman sebesar 100 juta. Ia berdialog dengan bank dan akhirnya terjadi kesepakatan , bank memberikan pinjaman sebesar 100 juta dengan jaminan rumah Budi dan bagi hasil 25% dari keuntungan bersih per bulan. Bila rumah makan Budi mengalami kerugian maka bagi hasil pun tidak dibayarkan.

            Kasus di atas merupakan sebuah kejadian yang menggambarkan sebuah bank syariah yang ideal, namun kenyataannya tidak demikian. Bank syariah justru tidak memfokuskan diri pada usaha bagi hasil (mudharabah) justru lebih berfokus pada jual beli (murabahah). Bank syariah menjadi mirip seperti leasing yang memberikan kredit untuk membeli motor dengan bunga. Memang bank syariah tidak menimpakan bunga namun keuntungan yang telah diberitahukan di awal dan di bayar perbulan dengan jumlah angsuran yang sama,

Contoh kasus
Budi inginmembeli motor Ninja 250 cc seharga 50juta, ia mengajukan permintaan ke bank syariah untuk membeli motor tersebut. Bank syariah menyetujuinya dengan keuntungan 5 juta. Total pinjaman yang di ambil 55 juta. Budi membayar uang muka 10% dari total pimjaman, 5.5 juta. Sisanya harus diangsur perbulan.

            Lihat, bukankah hal di atas sama saja dengan leasing atau bank konvensional lainnya. Hanya saja keuntungannya dinyatakan di awal. Hal ini memburamkan perbedaan antara bank syariah dengan bank konvensional. Pada praktek kesehariannya prinsip bagi hasil juga sangat jarang dipakai karena berbagai macam kesulitan yang menurut bank menjadi hambatan dalam pemberian kredit bagi hasil. Sedangkan bagi nasabah, penerapan bagi hasil merupakan syarat wajib. Hal ini berarti bank boleh membayar bagi hasil atas tabungan nasabah berdasarkan  keuntungan yang diperoleh bank dan bila tak ada keuntungan maka tak ada bagi hasil yang dibayarkan bank pada nasabah.

            Hal ini justru lebih buruk dari bank konvensional karena tak adanya prinsip keadilan. Bila nasabah menitipkan uang pada bank maka selalu digunakan prinsip bagi hasil sedangkan bila bank meminjamkan uang nasabah kepada pihak yang membutuhkan digunakan prinsip jual beli.

Minggu, 11 November 2012

FILSAFAT KEADILAN VS KEJAHATAN



            Bagaimanakah kejahatan berkembang dan memenuhi dunia saat ini? Hal ini merupakan pertanyaan penting untuk dijawab. Tentu kita tahu bahwa tak satu pun manusia yang menyukai kejahatan atau paling tidak, tidak ada manusia yang rela dirinya menjadi korban kejahatan. Semua manusia ingin diperlakukan dengan penuh cinta dan rasa persahabatan. Semua mencintai keadilan atau paling tidak menginginkan diri kita sendiri untuk mendapatkan keadilan. Semua manusia ingin diperlakukan baik dan mencintai keadilan. Tentu kita semua setuju dengan hal ini.
            Lalu, bagaimana kejahatan bisa muncul dan berkembang sangat pesat dewasa ini?
            Kita setiap hari menyaksikan pemberitaan di televisi mengenai berbagai macam tindak kejahatan yang dilakukan manusia kepada manusia lainnya dengan berbagai motif yang bermacam-macam. Tindak kejahatan yang begitu beraneka jenis, seperti pemerkosaan, pembunuhan, penjambretan, perampokan, penipuan, penculikan, penjualan narkoba, pembantaian etnis, korupsi dan tentu banyak lagi lainnya. Semuanya merupakan tindakan yang menguntungkan pelaku dan merugikan korban secara paksa.
            Memang kejahatan bisa timbul akibat adanya dendam. Mungkin dahulu pelaku pernah dirugikan oleh korban, jadi ia menuntut balas. Namun, kejadiannya tidak selalu seperti itu. Tak jarang, si korban bahkan sama sekali tidak mengenal pelaku. Korban tak tahu mengapa dirinya diperkosa atau dibunuh. Sebuah kelompok suku juga tak tahu mengapa mereka harus dimusnahkan oleh kelompok lain.
            Ada kalanya kejahatan timbul karena keinginan tak tertahankan pelaku, seperti pemerkosaan yang tak mampu menahan nafsu birahi kemudian pembunuhan yang pelakunya tak mampu menahan nafsu amarah. Kejahatan ini terjadi akibat ketidak mampuan pelaku dalam mengendalikan diri sendiri sehingga secara sadar melakukan sesuatu yang membuatnya bisa mendapatkan apa yang diinginkan walaupun secara paksa. Pelaku tentu memahami bahwa yang ia lakukan adalah salah, karena sesuatu yang dilakukan di luar kendali memang sangat berbahaya. Tindakan ini bahkan dapat memunculkan kejahatan lain. Misalnya ketika ayah korban pemerkosaan tidak dapat menerima perlakuan yang dialami putri kesayangannya bisa saja ia menjadi marah dan berusaha memotong alat kelamin pemerkosa dan kemudian membakarnya hidup-hidup. Hal ini merupakan sebuah kejahatan dan si Ayah bisa dihukum penjara. Namun apakah sang ayah tak berhak melakukannya? Apakah penyiksaan yang dilakukan sang Ayah terhadap pelaku pemerkosa putrinya merupakan sebuah tindakan menuntut keadilan dan dapat disebut sebuah tindakan yang adil?
            Pertanyaan tersebut tidak akan dijawab sekarang, karena sebelumnya masih ada 2 pertanyaan lain yang belum terjawab. Mengapa kejahatan muncul? Apakah hanya dikarenakan nafsu tak tertahankan? Mungkin pada beberapa tindak kejahatan hal ini masuk akal namun bagaimana dengan tindak kejahatan lain?
            Korupsi merupakan sebuah bentuk tindak kejahatan namun memiliki sifat yang berbeda dengan pemerkosaan. Dalam kasus pemerkosaan sudah sangat jelas bahwa sang pelaku tak dapat menahan nafsu birahi dan akhirnya melampiaskan nafsunya secara paksa kepada pihak lain. Sedangkan korupsi adalah tindakan yang merugikan organisasi/negara. Tindakan ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang menjadi bagian dalam suatu organisasi. Pelaku korupsi memakan harta yang bukan haknya dan merugikan organisasi dengan tujuan memperkaya diri. Ini adalah hasrat untuk memenuhi keinginan memiliki banyak harta, motifnya bisa karena ingin dihargai oleh orang lain karena kekayaannya, membeli banyak kemewahan atau sekedar untuk biaya kelahiran anak pertamanya. Dalam hal ini maka kejahatan memiliki 2 motif yaitu nafsu dan kebutuhan. Memperkaya diri sendiri merupakan nafsu sedangkan memenuhi biaya persalinan anak pertamanya merupakan kebutuhan. Terlihat bahwa tindakan kejahatan ternyata bisa terjadi karena adanya kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi pelaku dalam waktu singkat.
            Tentu seorang suami harus melindungi istrinya dalam berbagai keadaan. Ketika nyawa sang istri berada dalam bahaya akibat proses kelahiran anak pertama mereka yang ternyata harus dilakukan secara caesar dan membutuhkan biaya tak sedikit yang harus dibayarkan dalam waktu singkat sedangkan anda tak memiliki cukup uang bahkan jauh dari mencukupi apa yang akan anda lakukan? Mungkin anda akan mencari pinjaman kepada keluarga dan teman serta tetangga. Tapi ketika anda tak mendapatkannya apa lagi yang anda lakukan? Mungkin menjual atau menggadaikan beberapa barang berharga, tapi bagaimana bila anda tidak memiliki barang berharga? Di sini muncul sebuah kebingungan yang amat sangat. Tak ada pinjaman dan tak ada barang berharga untuk di jual, lalu apa yang akan anda lakukan untuk menyelamatkan nyawa istri anda yang tercinta? Dalam keadaan bingung dan sendirian kemudian anda mencuri harta orang lain yang anda anggap sebagai orang kaya raya di kota anda. Kemudian dengan harta curian anda membayar biaya persalinan, selamatlah istri dan anak pertama anda. Sebenarnya anda hanya mengambil sesuai kebutuhan untuk biaya persalinan, tidak lebih. Hanya demi menyelamatkan istri dan anak sedangkan yang anda curi adalah orang kaya raya yang menimbun hartanya hingga hitungan miliar dan memiliki aset dimana-mana. Apakah tindakan anda tersebut layak dihukum? Mungkin itu adalah kejahatan, tapi apakah kejahatan yang anda lakukan layak mendapatkan hukuman? Adakah kejahatan yang tidak perlu dihukum? Bila jawabannya adalah iya, maka itukan salah satu bentuk keadilan atau hanya sekedar kesalahan penerapan keadilan akibat rasa kasihan? Bisakan keadilan memiliki perasaan seperti rasa kasihan untuk kasus di atas atau keadilan adalah sesuatu yang mati rasa dan menilai segalanya berdasarkan kerugian yang menimpa orang lain? Ataukan kita harus melihatnya dengan sebuah perspektif yang berbeda. Mari kita fokuskan pada kasus yang baru saja kita lewati dan perjelas dengan lebih mendalam.
Uji Kasus
            Pak Sudibyo merupakan seorang pedagang makanan anak-anak di sebuah sekolah dasar yang baru menikah 1 tahun lalu. Ia berasal dari keluarga dengan kemampuan ekonomi rendah dan hanya mengenyam pendidikan sampai jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA). Ayahnya buruh serabutan dam ibunya berjualan bubur kacang hijau di depan rumah. Istrinya bernama Suparti yang tidak bekerja.
            Mereka hidup di kota A, sebuah kota yang memiliki ketimpangan ekonomi sangat tinggi. Banyak mobil mewah berlalu lalang ditengah ribuan sepeda motor, angkutan kota dan bus bobrok. Rumah dan apartemen mewah berdiri menjulang tinggi tak jauh dari pemukiman kumuh dengan rumah berukuran 3x4 meter dan huni satu keluarga. Orang kaya makan lahap bahkan kekenyangan sedangkan banyak lainnya kelaparan hingga harus ngelem untuk menghilangkan rasa lapar. Di kota ini segalanya harus di bayar dari mulai kencing, parkir, pendidikan apalagi kesehatan yang menyangkut nyawa manusia. Tidak ada subsidi dari pemerintah kota untuk orang miskin dalam hal pendidikan dak kesehatan. Semua ditanggung oleh penduduk kota sendiri. Tak sedikit penduduk miskin di tolak rumah sakit akibat tak memiliki dana untuk membayar biaya pengobatan.
            Tak lama kemudian Suparti hamil lalu tibalah masa untuk melahirkan. Dengan uang simpanan ia membawa Suparti kerumah sakit. Ternyata di rumah sakit tersebut Suparti mengalami kelainan pada janin dan harus menjalani operasi caesar dengan biaya tambahan. Sudibyo berusaha mencari pinjaman namun tak dapat, ia pun mencari barang berharga untuk dijual. Usahanya ternyata hanya sia-sia karena ia tak punya aset untuk dijual. Dalam keadaan putus ia, ia melihat Pak Robert melintas dengan mobil mewahnya. Setelah Pak Robert keluar dari mobil dan menuju toko dekat di situ Pak Sudbyo segera mendatangi Pak Robert dan meminjam uang namun gagal. Akhirnya ia masuk ke mobil Pak Robert dan mengambil uang sebanyak Rp.5.000.000. Ia gunakan uang tersebut untuk membayar rumah sakit guna segera mengoperasi istrinya. Tak lama istri dan anaknya selamat tapi kemudian ia harus dipenjara karena mencuri.
            Ini adalah hal yang pernah terjadi dalam kehidupan nyata. Adanya si miskin dan si kayan dengan jurang perbedaan kekayaan yang begitu besar, pemerintah yang tak peduli pada rakyat dan rumah sakit yang hanya mau bekerja bagi pemilik uang. Tiga hal ini berdiri tegak dan juga ikut menjadi penyebab Pak Sudibyo harus mencuri uang demi istri dan anaknya. Apabila si kaya berbaik hati memberikan pinjaman atau bahkan santunan demi Sudibyo maka ia tak harus mencuri. Bila ada subsidi kesehatan maka Sudibyo juga tak jadi mencuri. Namun, dapatkan orang kaya yang pelit, pemerintah tak bertanggung jawab dan rumah sakit yang matrealistis ikut dipersalahkan atas tindak kejahatan Sudibyo? Apakah Sudibyo seharusnya membiarkan saja istri dan anaknya meninggal daripada harus mencuri?

Sabtu, 10 November 2012

SECUIL NUANSA SURGA DI GUCI TEGAL


KOMPAS, SELASA 16 OKTOBER 2012
PESONA NUSANTARA


Air panas alami guci, sebagai daerah wisata di lereng Gunung Slamet, Jawa Tengah, terletak pada ketinggian  sekitar 1500 meter di atas permukaan laut. Selama ini, wisatawan yang berkunjung ke Gucitertarik pada dua hal, yakni air panas alami serta suasana alamnya yang sejuk dengan udara dingin.
            Kawasan wisata seluas 125 hektar ini, yang lokasinya mirip sendok, berada di sebuah jalan buntu di kampung Guci, Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal atau sekitar 47 kilometer dari kota Tegal. Obyek wisata ini memiliki air terjun dan sumber mata air panas yang mengalir deras di beberapa anak sungai.
            “Ibarat hikayat surga selalu mengalir sungai di bawahnya. Rasanya Guci ini seperti secuil surga yang terlempar ke bumi,” kata ny Ikmah, warga Tegal yang selalu menyempatkan berwisata ke Guci setiap Idul Fitri.
            Air beberapa sungai dan anak sungai di Guci memang jernih. Sebuah keistimewaan, airnya panas alami. Kondisi ini jadi andalan. Lazimnya air panas bumi mengandung belerang. Namun, air panas di guci justru bersih. Air panas itu terasa kontras dipadukan denga suhu rata-rata udara di kawasan itu yang selalu kurang dari 20 derajat celcius.
            Air panas itu mengalir dari sumber air, antara lainyang dinamai Jedor, Sigedong, Pengantian, Kembar, Capit Urang, Sengang, Konyal, Kesepuhan, Pengasihan, dan Teyeng. Sumber air atau tuk itu terpelihara sehingga meski kemarau, airnya masih mengalir jernih.
            Dari sejumlah lokasi pemandian air panas, terdapat lokasi favorit wisatawan, yaitu kolam alami pancuran 13, pancuran 7, dan pancuran 5. Lokasi ketiga pancuran ini berdekatan di bawah air terjun Sigedong dan Kembar.
            “Keluarga kami lebih suka mandi di pancuran yang alamnya terbuka. Anak-anak paling suka mandi seolah di sungai, airnya mengalir deras. Mereka puas bermain air tanpa takut kedinginan,” ujar Kuncoro, warga Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, yang beberapa saat lalu ditemui tengah berwisata bersama keluarga di guci.
            Walau dini hari, Kuncoro tak ragu mengajak dua anaknya, Hanif dan Nurul, mandi di kolam pancuran 13. Banyak wisatawan lain juga melakukan hal yang sama. Jarak kolam pancuran dengan hotel tempat wisatawan menginap itu hanya sekitar 500 meter. Seiring kabut turun, air panas di kolam itu langsung menghangatkan badan.
            Wisatawan yang ingin privasi dapat mandi di pemandian kamar tertutup, dengan membayar Rp.5.000 untyuk durasi 30 menit. ”Pengunjung yang mandi di kamar tertutup diseleksi. Mereka yang menderita asma dan sakit jantung dilarang,” jelas Karno, pegawai di kompleks wisata Guci.
Berkah dari Kendi Sunan
            Air panas di Guci memberikan berkah bagi warga sekitar dan juga pemerintah Kabupaten Tegal. Dalam setahun, obyek wisata ini memberikan pendapatan daerah sekitar Rp 2 milliar. Hasil ini dari kunjungan sekiatr 22.000 wisatawan per bulan.
            Seiring dengan wisata Guci yang ramai, tentu juga mendorong ekonomi warga setempat. Misalnya, usaha Ny Ika dengan mengelola pondok wisata, rumah yang disewakan setelah mendapatkan izin usaha dari Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Guci, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tegal. Pondokan disewakan Rp.400.000 per malam. Pada akhir pekan, tarif pondok itu naik 30 persen.
            Air panas di Guci diyakini wisatawan amat baik untuk terapi menghilangkan nyeri atau penyakit kulit. “Dari cerita turun-menurun, khasiat air panas guci ini tiada lain berkah dari doa Sunan Gunungjati,” kata Zaenal, warga setempat.
            Lokasi ini semula bernama Kampung Keputihan atau tempat belum terjamah. Suatu ketika, di kampung ini terjadi paceklik, bencana. Berbagai penyakit menyerang warganya. Tanaman pun diserbu hama. Datanglah Syekh Elang Sutajaya, utusan Sunan Gunungjati, Cirebon, Jawa Barat.
            Syekh Elang tiba di Keputihan sambil membawa air yang sudah didoai oleh Sunan Gunungjati dalam gentong kecil (guci). Alhasil, bencana itu berlalu. Warga pun memohon agar Sunan Gunungjati memberi doa sehingga air panas yang mengalir di sungai kampung bisa sebagai obat penyembuh penyakit. Sejak saat itu, Kampung Keputihan berganti nama menjadi Kampung Guci.
            Guci peninggalan Syekh Elang kini di Museum Nasional, Jakarta. Guci itu dipindah penyimpanannya semasa pemerintahan bupati Brebes Raden Cakraningrat.
Jalanan satu arah
            Untuk mencapai kawasan pemandian air panas alami Guci, wisatawan bisa memakai bus umum dari Semarang atau Cirebon, dan turun di Kota Tegal. Dari Tegal lalu naik angkutan minibus menuju Desa Tuwel, dengan perjalanan sekitar satu jam. Dari Desa Tuwel lalu naik ojek atau angkutan bak terbuka menuju Guci. Tarif sewa ojek dari Tuwel ke Guci Rp.30.000 per orang. Biaya sewa mobil bak terbuka Rp.10.000 per orang.
            Untuk wisatawan yang mengendarai sepeda motor atau mobil pribadi, tentu saja lebih mudah. Lokasi wisata ini bisa diakses dari Kota Tegal, Purwokerto atau Purbalingga di Jawa Tengah.
            Namun, Kepala UPTD Guci, Sutanto Karno, mengakui, sarana jalan masih jadi kendalauntuk pengembangan obyek wisata itu. Selama ini, jalan bagi wisatawan yang akan masuk ataupun keluar dari Guci masih satu jalur.
            Pemkab Tegal akan membuat jalan lingkar, yang memisahkan arus lalu lintas masuk ke Guci dengan yang akan meninggalkan obyek wisata itu. Bila jalan lingkar itu terwujud, tentu kenyamanan ini akan mendongkrak jumlah pengunjung ke pemandian air panas alami guci.
            Walaupun demikian, pengelolaan wisata air panas alami Guci tetap terus mengembangkan fasilitas rekreasi di kawasan itu sehingga wisatawan tak melulu hanya menikmati air panas. Dengan penambahan fasilitas itu, diharapkan wisatawan bisa lebih lama tinggal di Guci.
            Fasilitas wisata yang banyak diminati anak-anak adalah naik kuda. Kini, ada 43 ekor kuda terlatih yang siap mengantar wisatawan menikmati lingkungan Guci. Supaya kegiatan naik kuda tidak mengganggu wisatawan lain, dibangun pula rute kuda. Tarif naik kuda untuk jarak dekat Rp.10.000 per orang. Untuk jarak jauh, berkeliling di kawasan Guci sekitar Rp.50.000.
            Dengan beragam tambahan fasilitas, Guci diharapkan benar-benar seperti secuil surga.

Jumat, 09 November 2012

RIWAYAT TANAH PARA PEMABUK


Perilaku mabuk-mabukan punya riwayat panjang di negeri ini. Umumnya berkait tragedi, kekelaman dan kehancuran. Minuman keras-sarana mabuk-biasa menjadi suguhan istimewa dan wajib dalam pesta. Dan mabuk menjadi semacam agenda rutin  atau “kewajiban” dalam berbagai perayaan kemenangan perang, judi, taruhan, maupun sekedar pesta kalangan kerajaan.
Goyangan, ngelantur, ocehan, sumpah serapah dan umpatan sering menjadi efek ikutan ketika individu atau sekelompok orang sedang mabuk. Terlebih jika kondisi itu diiringi tetabuhan, merdu sinden, atau musik cadas dan dangdut pada masa sekarang. Mabuk jadi situasi paling ampuh dan menyenangkan untuk membuat seorang lupa: pada apa pun yang saat itu pemabuk ingin lupakan.
Sejarahnya, sumber gula beraneka ragam di Nusantara memungkinkan penduduk membuat berbagai jenis minuman keras. Negarakertagama mencatatbahwa di era Majapahit, tuak dari kelapa, dari pohon lontar, arak yang disuling dari pohon aren, hingga tape menjadi menu setiap pesta dihelat. Kuantitas suguhan minuman keras merupakan indikator kemeriahan pesta, bahkan kelas sosial.
Kebiasaan semacam itu seperti menciptakan reputasi di berbagai komunitas tradisional negeri ini. Hikayat Hang Tuah menyebut, orang Jawa pra-Islam punya reputasi sebagai peminum berat. Minuman keras jadi media beramah-tamah dalam pesta. Pada kehidupan sehari-hari, mereka mengunyah campuran sirih, buah pinang dan kapur (nginang) berkadar alkohol rendah sebagai media pelunak interaksi sosial. Minuman keras atau jenis madat lain dengan kadar alkohol lebih tinggi harus dibeli lebih mahal.
Mabuk dan Surup
                Rasa “nikmat” dan efek psikologis maupun fisiologis yang dihasilkan minuman memabukkan itu membuatnya tenar. Rasa yang khas mempercepat detak jantung, menumbuhkan keberanian, hingga membuat si peminum lupa. Bahkan, menjadikannya candu. Efek pembuat lupa ini, pada beberapa etnik, dijadikan stimulan para dukun untuk berkomunikasi dengan dunia supranatural dalam berbagai ritual mistisnya. Mabuk adalah cara menjadi (ke)surup(an).
            Situasi surup ini, catatan Anthony Reid (1992), kadang mendapatkan makna spiritual, bahkan religius, ketika para dukun dianggap dapat berhubungan dengan leluhur. Seperti saat dukun berkomunikasi dengan orang mati. Huntington dan Metcalf (1979) menyatakan, sehubungan dengan praktek penguburan sekunder, ada hubungan (bawah sadar) antara bangkitnya roh dari jasad mati denngan pembuatan arak lewat peragian beras.
            Berdasarkan sakral semacam itu, mabuk bukan hanya diterima masyarakat tradisional sebagai perilaku “legal”, tapi juga menyetujuinya sebagai kebiasaan sosial atau produk tradisi permanen. Minuman keras atau alkohol menjadi kelumrahan konsumtif pada saat sebuah komunitas menjalankan/memelihara interaksi sosial warganya.
            Kehadiran agama baru yang melarang konsumsi minuman keras butuh waktu untuk dipahami, diterima, namun gagal memberantasnya. Hadirnya kolonialisme plus tawaran aneka jenis minuman memabukkan memperparah keadaan ini.
Keterpurukan Pemabuk
                Akibat negatif dari para pemabuk ini ditulis dalam Hikayat Hang Tuah. Konon, Hang Tuah mampu meloloskan diri dari tawanan tentara Majapahit karena mereka mabuk alokohol dalam pesta kemenangan. Kisah yang mengajarkan bagaimana kegarangan dan keperkasaan, bahkan sebuah peradaban, takluk oleh mabuk.
            Pemabuk pribumi era kolonial punya riwayat lebih buruk dalam laku mabuknya dibanding leluhurnya. Mabuk karena minuman keras atau madat ternyata semata untuk pemuasan hasrat, demi kesenangan, melupakan masalah dan memuaskan nafsu kecanduan itu sendiri.
            Peter Carey (2011) menyebut, penduduk memperoleh madat dari orang Cina penjaga gerbang pajak. Mereka membeli madat dengan uang upah kecil hasil kerja di perkebunan kolonial. Sisa uangnya dihabiskan di meja judi.
            Menang di meja judi, mereka berfoya-foya membeli madat, minuman keras dan perempuan. Perilaku yang hingga detik ini masih terjadi, termasuk di perkebunan-perkebunan negeri tetangga, di mana rakyat negeri ini bekerja dan berusaha.
            Mabuk pun menjadi sumber tegangan antara hidup, penderitaan dan kematian. Mabuk adalah candu yang menjadi hiburan, pelarian dari ingatan atau kondisi yang tidak diinginkan, atau pada berbagai situasi menjadi sarana menciptakan khayal/ilusi pencipta mimpi sosial mereka. Dan, demi peristiwa yang terjadi semalam saja itu, upah sebulan dikorbankan.
            Itulah keadaan yang dianggap menguntungkan oleh kolonialis pada masa lalu. Bisa jadi, itulah keadaan saat ini. Keadaan di mana keberadaan kolonialis pun tak diketahui. Karena mabuk. Ya, karena mabuk.
ADI PURNOMO
Peneliti di Paradigma Institute, kudus
KOMPAS, KAMIS 8 NOVEMBER 2012