Pemerintah
mewajibkan kita untuk belajar dari SD-SMP-SMA. Pemerintah juga menganggarkan
dana sangat besar untuk mewujudkan “kewajiban” kita belajar. Walaupun kita
tetap harus membayar berbagai iuran lainnya untuk berbagai alasan yang entah
penting atau tidak. Dari mulai iuran seragam, buku, gedung,ekstrakurikuler
hingga iuran perjalanan wisata. Semua dibayarkan oleh kedua orang tua dengan
penuh kerelaan hati walau harus berutang kanan-kiri dengan harapan kita akan
menjadi manusia yang berhasil dan
membanggakan. Beribu terima kasih kita haturkan pada jasa kedua orang tua.
Namun, kemudian ternyata setelah lulus SMA harapan orang tua justru tak
terwujud. Saat ini untuk mendapatkan pekerjaan bagus minimal harus memegang
ijazah D3. Kemudian untuk membuka usaha sendiri kita juga tak mampu, bukan
karena kita tidak memiliki kemampuan untuk itu, namun karena kita memang tidak
diajarkan untuk menjadi manusia mandiri. Lalu apa gunanya kita belajar selama
12 tahun menuntut ilmu dari pagi hingga siang yang kemudian dilanjtkan dengan
berbagai kegiatan ekstrakurikuler?
Belajar
memang kewajiban semua umat manusia. Ilmu yang membuat manusia maju dan
bahagia. Menusia menjadi bahagia karena semua kesulitan dalam hidup bisa
terpecahkan dengan ilmu. Semua masalah kehidupan dapat ditemukan solusinya
dengan ilmu. Bukankah itu tujuan utama kita dalam belajar, yaitu memperoleh
kebahagiaan tertinggi dalam kehidupan. Namun, apakah kebahagiaan yang kita
kejar semenjak dini kita belajar? Tentu saja. Masih ingatkah kita ketika kecil
kita ditanya ingin menjadi apa, lalu kita menjawab ingin menjadi sesuatu.
Karena kita berpikir dengan menjadi sesuatu kita akan mendapatkan kebahagiaan.
Sewaktu
kecil saya ingin menjadi Power Ranger karena menurutku mereka sangat kuat dan
aku merasa akan bahagia bila memiliki kekuatan seperti mereka, bisa melawan
monster dan pamer pada teman. Namun kemudian berubah lagi, aku ingin menjadi
dokter karena berpikir mengobati teman-teman yang sakit supaya bisa bermain
bersama lagi adalah sesuatu yang menyenangkan. Itulah kebahagiaan yang ingin
kucapai ketika kecil. Menjelang dewasa semua mulai berubah. Cita-cita konyol
dahulu telah berganti, bahkan saat menjadi dewasa dan mengerti kerasnya hidup
aku hanya memiliki satu keinginan yaitu mendapatkan pekerjaan. Semua keindahan
masa kecil telah sirna, berganti dengan keinginan untuk bertahan hidup. Untuk
mendapatkan pekerjaan aku melamar kesana-kemari, tak perduli walaupun yang
kulamar bukanlah bidang yang telah kupelajari selama 5 tahun kuliah. Bila
ditotal maka aku telah belajar selama 17tahun dan semuanya hanya menghasilkan
ijazah.
SD-SMP-SMA
memakan waktu 12 tahun dan kuliah 5 tahun. Sebuah waktu yang sangat lama dalam
belajar. Lalu apa yang kita dapatkan? Bahkan kita sama sekali tidak mampu
menjawab sebuah pertanyaan sederhana seperti” untuk apa kita hidup?” walaupun
telah 17 tahun belajar. Bayangkan saja, untuk belajar intensif tentang bahasa
inggris saja kita hanya butuh waktu untuk belajar selama 1 tahun dan kita telah
mampu menguasai bahasa Inggris. Kemudian untuk berbagai macam ketrampilan lain
seperti menjahit, memperbaiki mesin, membangun rumah, memasak secara intensif
tak membuttuhkan waktu yang lama.
Sederhananya, semua kemampuan dasar yang dibutuhkan untuk dapat bertahan hidup
sebenarnya bisa dipelajari dalam waktu yang singkat. Termasuk untuk berdagang,
tak sedikit manusia yang hanya bekerja menjadi pelayan pedagang dan akhirnya
mendapatkan kemampuan berdagang. Bayangkan bila 17 tahun yang kita habiskan itu
kita pergunakan untuk mempelajari hal yang memang kita sukai dan bermanfaat,
tentu masa depan kita akan berbeda, masa depanku berbeda.
Setelah 17 tahun
belajar, akhirnya aku hanya mencari lowongan seadannya, apapun itu yang penting
menghasilkan rupiah. Aku bukan satu-satunya yang bernasib seperti ini, ada
jutaan pemuda Indonesia lainnya yang bernasib sama. Lihat saja Job Fair yang
selalu dipenuhi manusia-manusia muda dan “terpelajar”. Aku hanyalah satu
diantara jutaan lainnya.
Apakah
itu semua salahku yang tidak belajar dengan baik? Coba lihatlah sekitar, berapa
banyak mahasiswa yang memiliki indeks prestasi tinggi justru berakhir menjadi
pengangguran. Ini bukanlah kesalahan individu, namun sebuah fenomena yang
terjadi dalam kehidupan nyata. Walaupun akhirnya aku berhasil mendapatkan
pekerjaan di sebuah bank namun hal tersebut tetaplah mengecewakan karena
bekerja bukan pada bidang dan minatku.
Tidak
hanya aku yang bekerja bukan pada bidangnya, ada banyak orang lain yang
melakukan hal sama. Di kantorku saja terdapat lulusan ilmu fisika, pertanian,
sastra inggris. Bekerja bukan pada bidang perbankan membuat diriku merasa
sia-sia telah membuang 5 tahun belajar ilmu komunikasi. Akhirnya setelah satu
tahun bekerja kuputuskan keluar dan melanjutkan S2 untuk menjadi dosen dan
penulis. Daripada menghabiskan waktu melakukan hal yang tidak disukai lebih
baik pergunakan waktu sebaik mungkin untuk mengejar cita-cita. Pencerahan ini
baru kudapatkan setelah hidup selama 25 tahun dan selama 1 tahun terlepas dari
dunia pendidikan.
Akhirnya aku
menemukan tujuan hidupku. Hal ini
seharusnya lebih awal kusadari. Seandainya pendidikan kita berbasis pada
penemuan minat, bakat dan pembangunan karakter sebagai manusia Indonesia
seutuhnya yang mandiri dan merdeka serta berani maka kita, seluruh pemuda akan
menjadi 180 derajat berbeda dari keadaan sekarang. Mari bersama-sam kita
wujudkan mimpi itu demi anak cucu kita nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar