Jumat, 09 November 2012

RIWAYAT TANAH PARA PEMABUK


Perilaku mabuk-mabukan punya riwayat panjang di negeri ini. Umumnya berkait tragedi, kekelaman dan kehancuran. Minuman keras-sarana mabuk-biasa menjadi suguhan istimewa dan wajib dalam pesta. Dan mabuk menjadi semacam agenda rutin  atau “kewajiban” dalam berbagai perayaan kemenangan perang, judi, taruhan, maupun sekedar pesta kalangan kerajaan.
Goyangan, ngelantur, ocehan, sumpah serapah dan umpatan sering menjadi efek ikutan ketika individu atau sekelompok orang sedang mabuk. Terlebih jika kondisi itu diiringi tetabuhan, merdu sinden, atau musik cadas dan dangdut pada masa sekarang. Mabuk jadi situasi paling ampuh dan menyenangkan untuk membuat seorang lupa: pada apa pun yang saat itu pemabuk ingin lupakan.
Sejarahnya, sumber gula beraneka ragam di Nusantara memungkinkan penduduk membuat berbagai jenis minuman keras. Negarakertagama mencatatbahwa di era Majapahit, tuak dari kelapa, dari pohon lontar, arak yang disuling dari pohon aren, hingga tape menjadi menu setiap pesta dihelat. Kuantitas suguhan minuman keras merupakan indikator kemeriahan pesta, bahkan kelas sosial.
Kebiasaan semacam itu seperti menciptakan reputasi di berbagai komunitas tradisional negeri ini. Hikayat Hang Tuah menyebut, orang Jawa pra-Islam punya reputasi sebagai peminum berat. Minuman keras jadi media beramah-tamah dalam pesta. Pada kehidupan sehari-hari, mereka mengunyah campuran sirih, buah pinang dan kapur (nginang) berkadar alkohol rendah sebagai media pelunak interaksi sosial. Minuman keras atau jenis madat lain dengan kadar alkohol lebih tinggi harus dibeli lebih mahal.
Mabuk dan Surup
                Rasa “nikmat” dan efek psikologis maupun fisiologis yang dihasilkan minuman memabukkan itu membuatnya tenar. Rasa yang khas mempercepat detak jantung, menumbuhkan keberanian, hingga membuat si peminum lupa. Bahkan, menjadikannya candu. Efek pembuat lupa ini, pada beberapa etnik, dijadikan stimulan para dukun untuk berkomunikasi dengan dunia supranatural dalam berbagai ritual mistisnya. Mabuk adalah cara menjadi (ke)surup(an).
            Situasi surup ini, catatan Anthony Reid (1992), kadang mendapatkan makna spiritual, bahkan religius, ketika para dukun dianggap dapat berhubungan dengan leluhur. Seperti saat dukun berkomunikasi dengan orang mati. Huntington dan Metcalf (1979) menyatakan, sehubungan dengan praktek penguburan sekunder, ada hubungan (bawah sadar) antara bangkitnya roh dari jasad mati denngan pembuatan arak lewat peragian beras.
            Berdasarkan sakral semacam itu, mabuk bukan hanya diterima masyarakat tradisional sebagai perilaku “legal”, tapi juga menyetujuinya sebagai kebiasaan sosial atau produk tradisi permanen. Minuman keras atau alkohol menjadi kelumrahan konsumtif pada saat sebuah komunitas menjalankan/memelihara interaksi sosial warganya.
            Kehadiran agama baru yang melarang konsumsi minuman keras butuh waktu untuk dipahami, diterima, namun gagal memberantasnya. Hadirnya kolonialisme plus tawaran aneka jenis minuman memabukkan memperparah keadaan ini.
Keterpurukan Pemabuk
                Akibat negatif dari para pemabuk ini ditulis dalam Hikayat Hang Tuah. Konon, Hang Tuah mampu meloloskan diri dari tawanan tentara Majapahit karena mereka mabuk alokohol dalam pesta kemenangan. Kisah yang mengajarkan bagaimana kegarangan dan keperkasaan, bahkan sebuah peradaban, takluk oleh mabuk.
            Pemabuk pribumi era kolonial punya riwayat lebih buruk dalam laku mabuknya dibanding leluhurnya. Mabuk karena minuman keras atau madat ternyata semata untuk pemuasan hasrat, demi kesenangan, melupakan masalah dan memuaskan nafsu kecanduan itu sendiri.
            Peter Carey (2011) menyebut, penduduk memperoleh madat dari orang Cina penjaga gerbang pajak. Mereka membeli madat dengan uang upah kecil hasil kerja di perkebunan kolonial. Sisa uangnya dihabiskan di meja judi.
            Menang di meja judi, mereka berfoya-foya membeli madat, minuman keras dan perempuan. Perilaku yang hingga detik ini masih terjadi, termasuk di perkebunan-perkebunan negeri tetangga, di mana rakyat negeri ini bekerja dan berusaha.
            Mabuk pun menjadi sumber tegangan antara hidup, penderitaan dan kematian. Mabuk adalah candu yang menjadi hiburan, pelarian dari ingatan atau kondisi yang tidak diinginkan, atau pada berbagai situasi menjadi sarana menciptakan khayal/ilusi pencipta mimpi sosial mereka. Dan, demi peristiwa yang terjadi semalam saja itu, upah sebulan dikorbankan.
            Itulah keadaan yang dianggap menguntungkan oleh kolonialis pada masa lalu. Bisa jadi, itulah keadaan saat ini. Keadaan di mana keberadaan kolonialis pun tak diketahui. Karena mabuk. Ya, karena mabuk.
ADI PURNOMO
Peneliti di Paradigma Institute, kudus
KOMPAS, KAMIS 8 NOVEMBER 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar