Karya:
Syed Ameer Ali
“Dan mengenai
budakmu, pastikan bahwa engkau memberi makan mereka sebagaimana engkau memberi
makan dirimu sendiri, dan berilah mereka pakaian sebagaimana kau memberi
pakaian kepada dirimu sendiri.”—Muhammad
Dalam beberapa aspek, perbudakan
bisa dibandingkan dengan poligami. Serupa poligami, perbudakan ada pada semua
bangsa, dan hilang perlahan-lahan seiring kemajuan akal budi dan rasa keadilan
umat manusia. Seperti poligami, perbudakan adalah produk alamiah nafsu dan
kesombongan yang begitu kuat dalam fase perkembangan suatu tatanan masyarakat.
Tapi bedanya, perbudakan telah mengandung kutukan ketidakadilan dari asalnya.
Pada
fase awal peradaban manusia—ketika umat manusia belum sepenuhnya bisa saling
menghargai hak dan kewajiban masing-masing, dan ketika hukum hanyalah perintah
seseorang atau sejumlah kecil orang bagi rakyat banyak, dan ketika kehendak si
kuat menjadi aturan hidup dan tuntunan perilaku—maka ketidakadilan sosial,
fisik, dan mental, yang secara alamiah ada pada umat manusia, tak terelakkan lagi
akan menciptakan lembaga perbudakan; sebuah sistem yang mengijinkan penguasaan
mutlak si kuat atas si lemah. Ketundukan mutlak si lemah atas si kuat(1) telah
menolong si kuat terbebas dari kutukan—“Dengan keringat bercucuran di wajahmu,
kau akan makan roti hingga kau kembali ke tanah,” dan mereka bisa menggunakan
waktu senggang mereka untuk melakukan pekerjaan yang menyenangkan. “Sebuah
keinginan sederhana,” kata penulis Ancient
Law, ”untuk menggunakan tenaga kasar orang lain sebagai sarana untuk
mendapatkan kemudahan dan kesenangan sendiri, tak diragukan lagi, merupakan
sendi utama perbudakan. Dan, keinginan itu sama tuanya dengan tabiat
manusia.”(2).
Praktek
perbudakan sama tuanya dengan keberadaan umat manusia. Menurut sejarah, jejak
peradaban tampak pada setiap zaman serta terdapat pada semua bangsa. Bibit
perbudakan tumbuh di masyarakat yang masih biadab dan terus berkembang, bahkan
ketika peradaban materi telah maju serta arti penting perbudakan telah hilang.
Bangsa
Yahudi, Yunani, Romawi dan bangsa-bangsa Jerman Kuno,(3) adalah bangsa-bangsa
yang memiliki lembaga sosial dan hukum yang paling banyak mempengaruhi
kehidupan dunia modern—mengenal dan mempraktekan dua macam perbudakan, yaitu:
perbudakan di tanah pertanian dan perbudakan dalam kehidupan rumah tangga.
Pada
bangsa Ibrani, sejak awal perkembangan mereka menjadi sebuah bangsa, kedua
jenis perbudakan itu telah dipraktekkan. Budak Israel, yang menjadi budak atas
hukuman kejahatan yang mereka lakukan atau sebagai pembayaran utang, lebih
tinggi kedudukannya ketimbang budak yang merupakan orang asing. Seorang budak
Israel menurut hukum bisa bebas setelah ia menjadi budak selama enam tahun,
kecuali jika ia menolak untuk menggunakan haknya. Tetapi budak asing, baik ia
milik orang yang ditaklukkan oleh bangsa Israel lalu dijadikan budak atau yang
diperoleh dengan cara penjarahan secara khianat atau pembelian, mereka semua
dikecualikan dari peraturan yang menguntungkan ini—sebuah peraturan yang dibuat
dengan semangat keberpihakan terhadap bangsa sendiri dan semangat isolasi yang
khas(4). Nasib budak-budak ini, baik laki-laki atau perempuan, amat sengsara.
Baik budak yang bekerja di tanah pertanian atau dalam rumah tangga, mereka
dihina dan dibenci. Mereka menjalani kehidupan yang keras dan membosankan secara
terus-menerus untuk melayani sang majikan yang kejam.
Agama
Kristen, sebagai sebuah sistem dan ajaran, tidak menentang perbudakan, tidak
memberlakukan hukum dan tidak mengajarkan doktrin untuk mengurangi kejahatan
itu. Kecuali beberapa patah kata berkenaan dengan pembangkangan para budak(5)
dan nasihat bagi si pemilik budak untuk membayar budaknya. Ajaran Isa,
sebagaimana bisa kita lihat dalam tradisi Kristen tidak menyatakan
ketidaksetujuan terhadap perbudakan. Sebaliknya, agama Kristen memerintahkan
para budak untuk sepenuhnya patuh pada kehendak tuannya. Perbudakan diakui
sebagai sebuah pranata dalam kerajaan. Sistem perbudakan dianut tanpa upaya
untuk mengurangi keburukannya, atau mendorong penghapusan perbudakan secara
berangsur-angsur atau memperbaiki status budak. Berdasarkan hukum perdata,
budak dianggap sebagai barang bergerak. Mereka tetap berada pada status
demikian di bawah kekuasaan pemerintahan Kristen.
Perbudakan
telah berkembang di kalangan bangsa Romawi awal. Para budak, baik pribumi maupun
asing, baik diperoleh karena menang perang atau karena pembelian, dianggap
sekedar barang bergerak. Tuan mereka berhak atas hidup mati si budak. Tapi
perbaikan secara perlahan-lahan, yang mengangkat hukum kuno yang termaktub
mulai dari Duabelas Loh Batu hingga kode hukum Handrianus yang komprehensif,
membawa sedikit perbaikan pada kondisi perbudakan saat itu. Akan tetapi, meski
para kaisar, karena rasa kemanusiaan atau kebijaksanaannya, telah membawa
perubahan pada ketentuan hukum lama, tiap budak secara mutlak tetap harus patuh
pada kehendak tuannya. Tiap pejabat kerajaan memiliki ribuan budak yang disiksa
dan dicambuk karena kesalahan paling kecil sekalipun.
Pengenalan
agama Kristen ke Eropa memengaruhi relasi budak-majikan, tapi hanya terbatas di
lingkungan biara. Seorang budak bisa bebas dengan cara melarikan diri ke biara,
dan jika selama tiga tahun ia tidak diambil kembali oleh majikannya(6). Tapi
dalam beberapa hal, perbudakan tumbuh subur dalam beragam bentuk sebagaimana
yang terdapat dalam kekuasaan kaum Pagan. Kodifikasi hukum yang disusun oleh
seorang kaisar Kristen menyatakan bahwa perbudakan merupakan ketentuan hukum
alam; dan ketentuan hukum itu mengatur harga maksimum seorang budak sesuai
pekerjaan yang akan diberikan kepadanya. Perkawinan antar budak dianggap
melawan hukum, sedangkan perkawinan antara budak dan orang merdeka dilarang
dengan ancaman hukuman amat berat(7). Konsekuensi dari ketentuan itu adalah
merebaknya pergundikan; bahkan kalangan gereja pun mengakui dan melakukan
praktek tersebut(8).
Demikian
perbudakan yang berlangsung di bawah sistem hukum yang paling maju yang pernah
dikenal dunia lama. Ketentuan hukum tersebut merupakan cerminan nilai-nilai
kebaikan abad ke-13 M dan dipenghujung perkembangannya telah mendapat sedikit
pengaruh ajaran dari seorang guru moral terbesar di dunia.
Dengan
bermukimnya orang-orang barbar dari Barat dan Utara di atas reruntuhan Imperium
Romawi, selain budak pribadi, perbudakan teritorial yang hampir tidak dikenal
bangsa Romawi menjadi fenomena umum yang dipraktekkan di negeri baru itu. Beragam
hak yang dimiliki oleh para tuan tanah atas para bawahan dan budaknya
memperlihatkan kebobrokan dan kebejatan moral yang menjijikan(9). Kode hukum
barbar, sebagaimana hukum Romawi, menganggap perbudakan sebagai hal yang lumrah
dalam kehidupan manusia; dan jika perlindungan terhadap budak diupayakan, hal
itu karena seorang budak merupakan harta milik tuannya—satu-satunya pihak yang
menentukan hidup mati seorang budak selain negara.
Agama
Kristen telah gagal total menghapus perbudakan atau hanya sekedar mengurangi
akibat buruk perbudakan tersebut. Gereja sendiri memiliki budak dan secara
terang-terangan mengakui keabsahan lembaga perbudakan yang kejam itu.
Berdasarkan pengaruh gereja, para pemuka masyarakat Eropa mendukung perbudakan,
dan bersikeras untuk tetap memanfaatkan perbudakan sebagai cara untuk
menanggulangi peningkatan kemiskinan dan pencurian(10). Dan, atas landasan yang
sama, komunitas Kristen yang telah beradab, yang berdiam di negara bagian
selatan Amerika Utara, melakukan kekejaman yang tak terperi atas manusia malang
yang mereka pelihara sebagai budak—banyak diantara budak-budak itu orang yang
mereka kenal. Mereka tak segan menumpahkan darah untuk mempertahankan
perbudakan yang terkutuk itu di tengah masyarakat mereka. Jejak darah
budak—walau hanya setetes yang mengalir dalam tubuh seorang dan tak kentara—diharuskan
tunduk pada segala bentuk hukuman yang diberlakukan bagi para budak.
Dalam
pergundikan, orang kulit putih beragama Kristen tidak pernah mau mengesahkan
anak yang lahir akibat hubungan gelapnya dengan budak perempuan negro. Hal ini
disebabkan laki-laki kulit putih tidak bisa melakukan perkawinan secara sah
dengan budak negro perempuan. Si ibu dari anak di luar nikah, dan keturunan
perempuan itu, betapapun jauhnya, dapat dijual oleh anak sahnya yang berkulit
putih setiap waktu. Agama Kristen gagal memahami semangat ajaran Isa tentang
kesetaraan manusia dalam pandangan Tuhan.
Agama
Islam tidak mengenal perbedaan bangsa dan warna kulit—hitam atau putih, warga
negara biasa atau tentara, penguasa atau rakyat jelata—mereka semuanya sama,
tak hanya dalam teori tapi juga dalam praktek keseharian. Di lapangan atau di
rumah, di tenda atau di istana, di masjid atau di pasar, mereka bergaul tanpa
perasaan enggan atau hina. Muazin pertama Islam, yang merupakan pengikut
Muhammad yang saleh dan dihormati, ialah seorang budak negro. Bagi orang kulit
putih Kristen, saudara seagamanya yang berkulit hitam pasti setara dengannya di
“Kerajaan Surga”, tapi tidak pasti di kerajaan dunia; mungkin hanya Ketika Isa
masih berkuasa dan tidak ketika orang-orang Kristen berkuasa. Hukum boleh
memaksa sesorang untuk memberikan hak-hak kewarganegaan saudara mereka yang
berkulit hitam, tapi kebanggaan atas bangsa dan warna kulit tidak mengenal
persamaan bahkan digereja Tuhan.
Doktrin
Islam merupakan tamparan bagi sistem perbudakan. Seandainya perbudakan tidak
berakar kuat dalam kehidupan bangsa-bangsa dan merupakan penyimpangan alamiah
pada pola pikir umat manusia, perbudakan pasti telah hilang sepenuhnya begitu
generasi yang mempraktekkannya telah musnah.
Benar
anggapan orang bahwa karena doktrin Islam diturunkan lebih dari duapuluh tahun,
maka merupakan hal yang wajar orang mengira bahwa kebanyakan pranata pra-Islam
yang akhirnya dihapuskan pada mulanya diperkenankan diam-diam atau diakui
terang-terangan(11). Salah satu pranata yang diakui tersebut ialah adat
memelihara budak. Keburukan perbudakan berkelindan dengan hubungan batin
orang-orang yang hidup sezaman dengan Muhammad. Penghapusan perbudakan hanya
bisa dicapai dengan memberlakukan aturan hukum yang bijak dan manusiawi secara
berkelanjutan, bukan dengan membebaskan seluruh budak dengan tiba-tiba yang
secara moral dan ekonomi hal itu mustahil dilakukan. Sejumlah besar peraturan,
baik yang bernilai positif atau negatif, kemudian diperkenalkan untuk
mempromosikan dan membebaskan budak sedikit demi sedikit. Kebijakan yang tidak
tepat akan menghancurkan negara Islam yang masih dalam tahap awal.
Berkali-kali,
Muhammad menasehati pengikutnya untuk membebaskan budak mereka atas nama Tuhan.
Ia menetapkan beberapa dosa tertentu yang jika dilakukan karena kelalaian maka
hukumannya ialah memerdekakan budak. Ia pun memerintahkan bahwa seorang budak
harus diijinkan membeli kebebasannya sendiri dengan upah yang ia peroleh. Dan,
jika budak yang malang itu tidak mempunyai mata pencaharian dan ingin mencari
uang dengan bekerja di tempat lain untuk menebus dirinya, mereka harus
diijinkan untuk meninggalkan tuannya dengan perjanjian sesuai dengan yang
dimaksud(12). Muhammad juga menetapkan bahwa kas negara harus memberikan
sejumlah uang pada para budak untuk menebus kebebasan mereka. Dalam keadaan
darurat, budak harus dibebaskan tanpa campur tangan tuannya atau bahkan boleh
bertentangan dengan kehendak tuannya. Jika ada perjanjian antara budak dengan
tuannya yang sedikit meragukan, maka harus ditafsirkan dengan memihak
kepentingan budak, dan janji sekecil apapun dari pihak si tuan dianggap sebagai
kewajiban dengan maksud untuk pembebasan budak.
Muhammad
mengharuskan si pemilik budak memperlakukan
budaknya dengan baik seperti ia memperlakukan anggota keluarganya
sendiri, tetangganya, teman seperjalanan atau para musafir; mendorong
membebaskan budak sebebas-bebasnya disertai pemberian sejumlah harta benda yang
telah Tuhan karuniakan kepadanya. Ia juga melarang si majikan melakukan
eksploitasi seksual terhadap budak perempuannya. Membebaskan budak merupakan
tebusan bagi seorang mu’min yang membunuh orang mukmin lainnya tanpa sengaja,
dan untuk beberapa perbuatan dosa lainnya. Maksud keseluruhan ajaran Muhammad
adalah membuat perbudakan yang permanen atau sistem kasta menjadi mustahil.
Dan, merupakan kesalahan untuk menggunakan kata slavery (budak) dalam pengertian bahasa Inggris untuk merujuk pada
status budak, yang dikenal dalam hukum Islam.
Muhammad
memerintahkan bahwa setiap budak yang melarikan diri ke wilayah negara Islam
otomatis mendapatkan kebebasannya.
Anak-anak budak perempuan mengikuti status ayahnya dan si ibu mendapatkan kebebasannya
ketika si ayah meninggal dunia. Seorang budak harus dibolehkan membuat
perjanjian dengan tuannya untuk pembebasannya. Dan, sebagian dari zakat harus
digunakan untuk membebaskan para budak. Si majikan dilarang memaksa si budak
bekerja lebih keras dari yang semestinya. Mereka diperintahkan untuk tidak
memanggil budak laki-laki atau perempuan dengan nama panggilan yang merendahkan
harkatnya, tetapi dianjurkan memanggil dengan sebutan yang lebih ramah dan
penuh kasih sayang seperti, “adik” atau “anak muda”. Si majikan juga diharuskan
memberi budaknya pakaian yang sama dengan pakaian yang ia kenakan, dan memberi
makan budaknya sama dengan makanan yang ia makan. Di atas semua itu, dilarang
memisahkan seorang anak dari ibunya, saudara dari saudaranya, anak dengan
ayahnya, seorang suami dengan istrinya, dan seorang dengan sanak kerabatnya,
hanya karena mereka budak(13).
Berkenaan dengan
ketentuan yang mengatur perlakuan terhadap seorang budak, Muhammad tidak
mengatur kewajiban timbal balik antara majikan dan budaknya yang berat sebelah,
sebagaimana sering terlihat dalam agama lain(14). Dengan pengetahuan yang lebih
mendalam dan lebih akurat tentang tabiat manusia, Muhammad tidak memandang
perlunya menetapkan kewajiban pihak si lemah terhadap si kuat.
Dalam Islam,
status budak bukan suatu aib. Status budak hanyalah kebetulan, dan tidak
sebagaimana dalam hukum perdata dan ajaran para pemuka gereja yang
menganggapnya sebagai hukum alam. Zaid, bekas budak Muhammad, sering diberi
kepercayaan sebagai pimpinan pasukan; sementara komandan-komandan pasukan di
bawahnya menerima kepemimpinannya tanpa mengeluh. Usamah, anak Zaid, mendapat
kehormatan memimpin ekspedisi yang dikirim Abu Bakar untuk berperang melawan
Yunani. Kutub ad-Din, raja pertama Delhi dan pendiri Imperium Islam,
sesungguhnya adalah seorang budak di India. Perbudakan yang diperkenankan dalam
Islam berbeda sama sekali dengan perbudakan yang lazim dipraktekan dalam dunia
Kristen hingga masa belakangan ini, atau perbudakan yang dipraktekkan di
Amerika hingga perang suci 1865 mengakhiri praktek terkutuk itu.
Dalam dunia Islam, seorang budak saat ini bisa
menjadi wazir agung suatu saat kelak. Ia boleh menikah dengan putri tuannya dan
menjadi kepala keluarga. Para budak telah banyak mendirikan kerajaan dan dinasti.
Ayah raja Mahmud dari Ghazni adalah seorang budak. Apakah agama Kristen dapat
menunjukkan catatan serupa? Apakah Kristen bisa menunjukkan dalam lembaran
sejarahnya tentang perlakuan terhadap kehidupan budak yang begitu jelas dan
begitu manusiawi sebagaimana dalam dunia Islam?
Dari apa yang
telah kami paparkan di depan, jelaslah Muhammad sendiri memandang sistem
perbudakan hanyalah kebiasaan yang bersifat sementara dan berpendapat bahwa
hilangnya sistem tersebut pasti akan terjadi seiring dengan kemajuan akal budi
dan perubahan zaman. Al Quran selalu bicara tentang budak sebagai “mereka yang
telah kau peroleh dengan tangan kananmu,” yang mengindikasikan bahwa hanya
dengan cara yang salah orang mendapatkan budak perempuan atau laki-laki.
Sebenarnya dalam
kenyataannya hanya dikenal satu jenis budak, yakni budak yang berasal dari
tawanan perang yang sah sejalan dengan ketentuan Jihad-i-Shara’i. Pada semua bangsa barbar, para tawanan
diselamatkan semata-mata untuk kepentingan pribadi(15); supaya menambah kekayaan
si penangkap atau kekayaan negara secara bersamaan yang diperoleh dari hasil
penjualan budak tersebut atau karena tenaganya(16). Seperti bangsa kuno
lainnya, bangsa Arab pra-Islam juga menyisihkan para tawanan untuk keuntungan
mereka sendiri. Muhammad mendapati kebiasaan ini dikalangan anak bangsanya.
Muhammad tidak banyak berteori dengan kata-kata muluk tanpa makna, sebaliknya
ia menetapkan peraturan yang tegas sebagai pedoman tentang orang yang boleh
dijadikan budak, ialah mereka yang ditawan dalam peperangan yang sah hingga
mereka ditebus atau si tawanan bisa membebaskan diri mereka sendiri dengan upah
pekerjaan yang mereka lakukan. Bahkan , ketika budak-budak itu tak punya sumber
penghasilan, seruan terhadap kesalehan kaum Muslimin ditambah dengan beratnya
tanggung jawab yang diemban pemilik budak seringkali menjadi alasan yang cukup
untuk membebaskan para budak itu.
Penculikan orang
untuk dijadikan budak dan jual-beli budak yang dilindungi penguasa Kristen(17)
dan disucikan oleh Yudaisme tidak dibenarkan dan dicela Islam. Orang yang
memperjualbelikan budak dianggap sebagai sampah masyarakat. Pembebasan budak
dinyatakan sebagai perbuatan bijak dan mulia(18). Dilarang sama sekali untuk
memperbudak kaum Muslimin. Tapi hal yang memalukan adalah banyak orang yang
mengaku beragama Islam, sementara mereka mencoba menaati peraturan yang
bersifat tekstual, tapi mereka malah mengabaikan semangat ajaran Muhammad dan
memperkenankan perbudakan tumbuh subur (sangat bertentangan dengan perintah
Muhammad), baik dengan cara pembelian atau cara lainnya.
Menurut
ketentuan Al Qur’an, kepemilikan budak diperkenankan dengan syarat didapati
dari tawanan dalam peperangan yang sah, dalam rangka membela diri melawan
serangan kaum kafir. Adapun perijinan memelihara budak itu pun berarti pula
menjamin keselamatan dan pemeliharaan si tawanan. Berakhirnya perang antara
umat Islam dengan suku dan bangsa tetangga yang memusuhi umat Islam semestinya
telah menghapus perbudakan secara alamiah, dengan demikian berakhir pula
kesempatan orang untuk memelihara budak dan membebaskan seluruh budak yang ada.
Akan tetapi, mungkin karena kontak dengan bangsa-bangsa di Timur dan Barat yang
rendah moralnya, juga dengan suku-suku liar di Utara, atau karena fakta bahwa
sistem yang buruk ini telah berakar kuat dalam kehidupan masyarakat, maka
banyak orang Islam, seperti juga orang Kristen dan Yahudi, masih mengakui
perbudakan dan sampai batas tertentu masih mempraktekkannya hingga kini. Tapi
keberadaan orang Turki liar dan arab Afrika yang senang menculik untuk
dijadikan budak, bukan lagi representasi Islam, seperti juga orang Guacho
barbar yang berpesta pora di padang rumput liar di Amerika Selatan pun bukan
representasi orang Kristen(19). Seperti poligami, sistem perbudakan yang secara
universal dikenal seluruh umat manusia, pada satu fase perkembangan mereka—paling
tidak pada bangsa-bangsa yang mengklaim beradab—telah hidup lebih lama dari
kebutuhan adanya perbudakan itu. Karena itu, cepat atau lambat, perbudakan
pasti akan hilang.
Jelaslah, Islam
tidak bermaksud melestarikan perbudakan, sebagaimana yang dikatakan orang
dengan kedengkian. Tetapi, Islam berusaha dengan berbagai cara untuk
menghapuskannya, antara lain melalui cara membatasi alasan kepemilikan budak
sesedikit mungkin. Islam tidak memperlakukan persoalan penting ini dengan
sembrono. Sementara Islam memproklamasikan kesetaraan umat manusia dengan
bahasa yang tegas, tapi Islam—dengan mengabaikan segala konsekuensinya—tidak
membebaskan orang yang sudah menjadi budak karena hal itu akan menimbulkan
kejahatan dalam dunia yang belum matang, yang tidak siap menerima kebebasan
manusia secara moral dan intelektual.
Setidaknya,
tidak ada rekaman otentik yang bisa diperoleh berkenaan dengan budak yang
diperoleh dengan pembelian semasa keempat khalifah besar Islam berkuasa. Tapi
dengan kemunculan keluarga Umayyah, yang merampas kekuasaan, menyebabkan
terjadinya perubahan dalam semangat Islam. Adalah Mu’awiyah, penguasa Muslim
pertama yang memperkenalkan kepemilikan budak dengan pembelian ke dalam dunia
Islam. Ia juga merupakan Muslim pertama yang mengadopsi kebiasaan orang
Bizantinium untuk menyuruh orang kasim menjaga para harem. Selama masa pemerintahan Abbasiyah awal, Imam Syiah, Ja’far
al Shodiq mengecam praktek perbudakan dalam khotbah-khotbahnya.
Kini tiba
saatnya bagi seluruh umat manusia untuk
melawan segala praktek perbudakan dalam segala bentuknya; bahkan jika ia
bersembunyi dalam jubah suatu golongan agama. Terutama untuk umat Islam—demi
kemuliaan Muhammad—harus mencoba menghapus lembar hitam dalam sejarah mereka.
Lembar sejarah ini tak akan ditulis kecuali karena bertentangan dengan semangan
hukum Islam, betapapun cemerlangnya lembar-lembar itu selain risalah-risalah
kuno yang merekam perbuatan mengerikan penganut agama lain. Kini tiba saatnya,
tatkala suara-suara yang menyeru pada kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan
universal di antara umat manusia harus didengar dengan pemahaman baru yang
diperoleh dari penghayatan spiritual selama empat belas abad. Kini, tugas kaum
Muslimin untuk menunjukkan kepalsuan fitnahan yang dilontarkan orang terhadap
kemuliaan Muhammad, dengan menyatakan secara tegas bahwa perbudakan yang dicela
oleh agama mereka, juga ditolak oleh hukum Islam.
Keterangan:
1.
Bandingkan keseluruhan L’Influence
des Croisades sur l’Etat des Peuples de l’Europe, oleh Maxime de Choiseul
D’Aillecourt, Paris, 1809
2.
Maine, Ancient Law,
hal.104
3.
Caesar (De Bell. Gall.
Lib. VI), Tacitus (De Moribus German
cap.24, 25) dan Pothier (De Stat. Servor.
Apud German, lib.I), semuanya menyatakan betapa kerasnya perbudakan yang
dijalankan di Jerman.
4.
Imam, XXV, 44, 45
5.
Tim. IV, 1, 2
6.
Bandingkan Milman, Latin
Christianity, Jilid I, hal.358
7.
Salah satu hukun tersebut ialah, jika seorang wanita merdeka
kawin dengan seorang budak, maka si wanita akan dihukum mati dan budak itu akan
dibakar hidup-hidup. Bandingkan bab yang berisi pembelaan dalam pembahasan ini
dalam buku Milman, Latin Christianity,
Jilid II.
8.
Bandingkan Milman, Latin
Christianity, Jilid II, hal.369, dan juga Du Cange, Concubina
9.
Bandingkan De Choiseul, baca juga mengenai pembahasan
panjang lebar bab ini dalam buku Stepehen, Commentaries
on the Law of England, buku II, bag.I, bab.II. Salah satu hak-hak istimewa
yang buruk dan memalukan yang dimiliki para tuan tanah Inggris adalah hak culiage, yang selanjutnya diubah menjadi
denda dengan uang. Pranata ini, seperti dengan tepat diperkirakan, menyebabkan
munculnya hak waris, yang berlaku di beberapa daerah kekuasaan tuan-tuan tanah
tersebut dan terkenal dengan nama Borough English (tanah waris untuk putra
bungsu)
10.
Pufendorff, Law of
Nature and Nation, buku IV, c.3.s.10; Ulricus Huberus, Praelect Jur. Civ, I, I, tit. 4, s. 6; Pothier, De Statu Servorum; dan Grotius, De Jure Bell., I, II, c.5 s 27.
11.
Tahzib ul-Akhlak (15 Rajab 1288), hal.118
12.
Qur’an, Surah XXIV, 33
13.
Saya tidak merasa perlu untuk menggunakan pendapat para ahli
mengenai persoalan ini, karena telah menjadi kenyataan yang diakui. Tapi bagi
para pembaca yang ingin mengetahuinya, saya sarankan untuk membaca kumpulan
hadits dalam Misykat, Sahih Bukhari, dan Bihar ul-Anwar. Yang terakhir berisi
teladan yang paling mulia tentang kemurahan hati dan kedermawanan keturunan
Muhammad.
14.
Lihat Col. III, 22; I Tim. VI, I
15.
Bandingkan Milman, Latin
Christ., Jilid II, hal.387. Ahli hukum di masa lalu mendasarkan hak untuk
memperbudak tawanan pada hak yang sebelumnya, yaitu hak untuk membunuhnya.
Dalam hal ini mereka diikuiti oleh Albericus Gentilis (De Jur. Genr. Cap. de Servitude), Grotius dan Pufendorff.
Montesquieu-lah
sebenarnya yang pertama kali menyangkal kebenaran hak untuk membunuh tawanan,
kecuali jika dalam kondisi terdesak, atau untuk membela diri. Dan ini disangkal
pula oleh pengarang Spirit of Laws
itu, karena ia telah bebas tidak terikat lagi dengan gereja.
16.
Bandingkan Milman, History of the Jews, Jilid III, hal.48
17.
Setelah pembantaian di Drogheda oleh Cromwell dan
pambantaian di Irlandia, orang Protestan Inggris menjual orang-orang Irlandia,
laki-laki dan perempuan, secara massal kepada para kolonis di Virginia,
Pennsylvania, dan tempat-tempat lain. Hal yang sama terjadi setelah
pemberontakan di Monmouth.
18.
Menurut Hadits yang yang sahih dan terkenal dari Imam Ja’far
as-Sadik (Bihar ul-Anwar)
19.
Agar tidak melanggar perintah Rasulullah, seorang Turki
(yang menganut mahzab Sunni) telah memaksa tawanannya (baik ia seorang Sunni
atau Syiah) untuk mengakui diri mereka seorang penganut bid’ah. Dan orang
Afrika Arab razzia pembunuhan mereka,
terhadap orang-orang negro pagan, Jihad.
Mr. Joseph Thompson, seorang pengelana Afrika yang terkenal dalam sepucuk
suratnya kepada harian Times yang
terbit di London tanggal 14 November 1887, menulis tentang praktik perbudakan
di Afrika Timur sebagai berikut: “Saya tanpa keraguan menegaskan, dan saya
berbicara atas dasar pengalaman luas saya tentang bagian Timur wilayah Afrika
Tengah yang sangat saya pahami dibandingkan dengan koresponden Anda yang
manapun juga, bahwa jika perdagangan budak mengalami peningkatan itu disebabkan
karena Islam belum masuk ke daerah-daerah tersebut, dan sebagai sebuah alasan
yang sangat kuat, bersamaan dengan tersebarnya agama Islam akan bermakna pula
penghentian perdagangan budak.” Penekanannya atas penyebaran Islam secara
“damai dan tanpa mengandung pretensi apapun” di Afrika Barat dan Sudan Tengah,
patut menjadi perhatian bagi tiap pembaca. “Di sini,” ia berkata, “kita akan
melihat Islam sebagai sebuah tenaga yang hidup dan aktif, penuh dengan semangat
dan energi seperti ketika masa awal kelahirannya; banyak orang yang berhasil di
Islamkan dengan sangat mengesankan yang menyerupai masa-masa awal
penyebarannya.”
SUMBER:
Tulisan ini
diambil dari buku The Spirit of Islam
karangan Syed Ameer Ali, bab VI, hal.297-308. Buku Diterbitkan oleh Penerbit
NAVILA,Yogyakarta, Januari 2011, Penerjemah: Margono dan Kamilah,S.Pd
Tidak ada komentar:
Posting Komentar