Sabtu, 11 Mei 2013

PERBUDAKAN DALAM ISLAM


Karya: Syed Ameer Ali

“Dan mengenai budakmu, pastikan bahwa engkau memberi makan mereka sebagaimana engkau memberi makan dirimu sendiri, dan berilah mereka pakaian sebagaimana kau memberi pakaian kepada dirimu sendiri.”—Muhammad

Dalam beberapa aspek, perbudakan bisa dibandingkan dengan poligami. Serupa poligami, perbudakan ada pada semua bangsa, dan hilang perlahan-lahan seiring kemajuan akal budi dan rasa keadilan umat manusia. Seperti poligami, perbudakan adalah produk alamiah nafsu dan kesombongan yang begitu kuat dalam fase perkembangan suatu tatanan masyarakat. Tapi bedanya, perbudakan telah mengandung kutukan ketidakadilan dari asalnya.
            Pada fase awal peradaban manusia—ketika umat manusia belum sepenuhnya bisa saling menghargai hak dan kewajiban masing-masing, dan ketika hukum hanyalah perintah seseorang atau sejumlah kecil orang bagi rakyat banyak, dan ketika kehendak si kuat menjadi aturan hidup dan tuntunan perilaku—maka ketidakadilan sosial, fisik, dan mental, yang secara alamiah ada pada umat manusia, tak terelakkan lagi akan menciptakan lembaga perbudakan; sebuah sistem yang mengijinkan penguasaan mutlak si kuat atas si lemah. Ketundukan mutlak si lemah atas si kuat(1) telah menolong si kuat terbebas dari kutukan—“Dengan keringat bercucuran di wajahmu, kau akan makan roti hingga kau kembali ke tanah,” dan mereka bisa menggunakan waktu senggang mereka untuk melakukan pekerjaan yang menyenangkan. “Sebuah keinginan sederhana,” kata penulis Ancient Law, ”untuk menggunakan tenaga kasar orang lain sebagai sarana untuk mendapatkan kemudahan dan kesenangan sendiri, tak diragukan lagi, merupakan sendi utama perbudakan. Dan, keinginan itu sama tuanya dengan tabiat manusia.”(2).
            Praktek perbudakan sama tuanya dengan keberadaan umat manusia. Menurut sejarah, jejak peradaban tampak pada setiap zaman serta terdapat pada semua bangsa. Bibit perbudakan tumbuh di masyarakat yang masih biadab dan terus berkembang, bahkan ketika peradaban materi telah maju serta arti penting perbudakan telah hilang.
            Bangsa Yahudi, Yunani, Romawi dan bangsa-bangsa Jerman Kuno,(3) adalah bangsa-bangsa yang memiliki lembaga sosial dan hukum yang paling banyak mempengaruhi kehidupan dunia modern—mengenal dan mempraktekan dua macam perbudakan, yaitu: perbudakan di tanah pertanian dan perbudakan dalam kehidupan rumah tangga.
            Pada bangsa Ibrani, sejak awal perkembangan mereka menjadi sebuah bangsa, kedua jenis perbudakan itu telah dipraktekkan. Budak Israel, yang menjadi budak atas hukuman kejahatan yang mereka lakukan atau sebagai pembayaran utang, lebih tinggi kedudukannya ketimbang budak yang merupakan orang asing. Seorang budak Israel menurut hukum bisa bebas setelah ia menjadi budak selama enam tahun, kecuali jika ia menolak untuk menggunakan haknya. Tetapi budak asing, baik ia milik orang yang ditaklukkan oleh bangsa Israel lalu dijadikan budak atau yang diperoleh dengan cara penjarahan secara khianat atau pembelian, mereka semua dikecualikan dari peraturan yang menguntungkan ini—sebuah peraturan yang dibuat dengan semangat keberpihakan terhadap bangsa sendiri dan semangat isolasi yang khas(4). Nasib budak-budak ini, baik laki-laki atau perempuan, amat sengsara. Baik budak yang bekerja di tanah pertanian atau dalam rumah tangga, mereka dihina dan dibenci. Mereka menjalani kehidupan yang keras dan membosankan secara terus-menerus untuk melayani sang majikan yang kejam.
            Agama Kristen, sebagai sebuah sistem dan ajaran, tidak menentang perbudakan, tidak memberlakukan hukum dan tidak mengajarkan doktrin untuk mengurangi kejahatan itu. Kecuali beberapa patah kata berkenaan dengan pembangkangan para budak(5) dan nasihat bagi si pemilik budak untuk membayar budaknya. Ajaran Isa, sebagaimana bisa kita lihat dalam tradisi Kristen tidak menyatakan ketidaksetujuan terhadap perbudakan. Sebaliknya, agama Kristen memerintahkan para budak untuk sepenuhnya patuh pada kehendak tuannya. Perbudakan diakui sebagai sebuah pranata dalam kerajaan. Sistem perbudakan dianut tanpa upaya untuk mengurangi keburukannya, atau mendorong penghapusan perbudakan secara berangsur-angsur atau memperbaiki status budak. Berdasarkan hukum perdata, budak dianggap sebagai barang bergerak. Mereka tetap berada pada status demikian di bawah kekuasaan pemerintahan Kristen.
            Perbudakan telah berkembang di kalangan bangsa Romawi awal. Para budak, baik pribumi maupun asing, baik diperoleh karena menang perang atau karena pembelian, dianggap sekedar barang bergerak. Tuan mereka berhak atas hidup mati si budak. Tapi perbaikan secara perlahan-lahan, yang mengangkat hukum kuno yang termaktub mulai dari Duabelas Loh Batu hingga kode hukum Handrianus yang komprehensif, membawa sedikit perbaikan pada kondisi perbudakan saat itu. Akan tetapi, meski para kaisar, karena rasa kemanusiaan atau kebijaksanaannya, telah membawa perubahan pada ketentuan hukum lama, tiap budak secara mutlak tetap harus patuh pada kehendak tuannya. Tiap pejabat kerajaan memiliki ribuan budak yang disiksa dan dicambuk karena kesalahan paling kecil sekalipun.
            Pengenalan agama Kristen ke Eropa memengaruhi relasi budak-majikan, tapi hanya terbatas di lingkungan biara. Seorang budak bisa bebas dengan cara melarikan diri ke biara, dan jika selama tiga tahun ia tidak diambil kembali oleh majikannya(6). Tapi dalam beberapa hal, perbudakan tumbuh subur dalam beragam bentuk sebagaimana yang terdapat dalam kekuasaan kaum Pagan. Kodifikasi hukum yang disusun oleh seorang kaisar Kristen menyatakan bahwa perbudakan merupakan ketentuan hukum alam; dan ketentuan hukum itu mengatur harga maksimum seorang budak sesuai pekerjaan yang akan diberikan kepadanya. Perkawinan antar budak dianggap melawan hukum, sedangkan perkawinan antara budak dan orang merdeka dilarang dengan ancaman hukuman amat berat(7). Konsekuensi dari ketentuan itu adalah merebaknya pergundikan; bahkan kalangan gereja pun mengakui dan melakukan praktek tersebut(8).
            Demikian perbudakan yang berlangsung di bawah sistem hukum yang paling maju yang pernah dikenal dunia lama. Ketentuan hukum tersebut merupakan cerminan nilai-nilai kebaikan abad ke-13 M dan dipenghujung perkembangannya telah mendapat sedikit pengaruh ajaran dari seorang guru moral terbesar di dunia.
            Dengan bermukimnya orang-orang barbar dari Barat dan Utara di atas reruntuhan Imperium Romawi, selain budak pribadi, perbudakan teritorial yang hampir tidak dikenal bangsa Romawi menjadi fenomena umum yang dipraktekkan di negeri baru itu. Beragam hak yang dimiliki oleh para tuan tanah atas para bawahan dan budaknya memperlihatkan kebobrokan dan kebejatan moral yang menjijikan(9). Kode hukum barbar, sebagaimana hukum Romawi, menganggap perbudakan sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan manusia; dan jika perlindungan terhadap budak diupayakan, hal itu karena seorang budak merupakan harta milik tuannya—satu-satunya pihak yang menentukan hidup mati seorang budak selain negara.
            Agama Kristen telah gagal total menghapus perbudakan atau hanya sekedar mengurangi akibat buruk perbudakan tersebut. Gereja sendiri memiliki budak dan secara terang-terangan mengakui keabsahan lembaga perbudakan yang kejam itu. Berdasarkan pengaruh gereja, para pemuka masyarakat Eropa mendukung perbudakan, dan bersikeras untuk tetap memanfaatkan perbudakan sebagai cara untuk menanggulangi peningkatan kemiskinan dan pencurian(10). Dan, atas landasan yang sama, komunitas Kristen yang telah beradab, yang berdiam di negara bagian selatan Amerika Utara, melakukan kekejaman yang tak terperi atas manusia malang yang mereka pelihara sebagai budak—banyak diantara budak-budak itu orang yang mereka kenal. Mereka tak segan menumpahkan darah untuk mempertahankan perbudakan yang terkutuk itu di tengah masyarakat mereka. Jejak darah budak—walau hanya setetes yang mengalir dalam tubuh seorang dan tak kentara—diharuskan tunduk pada segala bentuk hukuman yang diberlakukan bagi para budak.
            Dalam pergundikan, orang kulit putih beragama Kristen tidak pernah mau mengesahkan anak yang lahir akibat hubungan gelapnya dengan budak perempuan negro. Hal ini disebabkan laki-laki kulit putih tidak bisa melakukan perkawinan secara sah dengan budak negro perempuan. Si ibu dari anak di luar nikah, dan keturunan perempuan itu, betapapun jauhnya, dapat dijual oleh anak sahnya yang berkulit putih setiap waktu. Agama Kristen gagal memahami semangat ajaran Isa tentang kesetaraan manusia dalam pandangan Tuhan.
            Agama Islam tidak mengenal perbedaan bangsa dan warna kulit—hitam atau putih, warga negara biasa atau tentara, penguasa atau rakyat jelata—mereka semuanya sama, tak hanya dalam teori tapi juga dalam praktek keseharian. Di lapangan atau di rumah, di tenda atau di istana, di masjid atau di pasar, mereka bergaul tanpa perasaan enggan atau hina. Muazin pertama Islam, yang merupakan pengikut Muhammad yang saleh dan dihormati, ialah seorang budak negro. Bagi orang kulit putih Kristen, saudara seagamanya yang berkulit hitam pasti setara dengannya di “Kerajaan Surga”, tapi tidak pasti di kerajaan dunia; mungkin hanya Ketika Isa masih berkuasa dan tidak ketika orang-orang Kristen berkuasa. Hukum boleh memaksa sesorang untuk memberikan hak-hak kewarganegaan saudara mereka yang berkulit hitam, tapi kebanggaan atas bangsa dan warna kulit tidak mengenal persamaan bahkan digereja Tuhan.
            Doktrin Islam merupakan tamparan bagi sistem perbudakan. Seandainya perbudakan tidak berakar kuat dalam kehidupan bangsa-bangsa dan merupakan penyimpangan alamiah pada pola pikir umat manusia, perbudakan pasti telah hilang sepenuhnya begitu generasi yang mempraktekkannya telah musnah.
            Benar anggapan orang bahwa karena doktrin Islam diturunkan lebih dari duapuluh tahun, maka merupakan hal yang wajar orang mengira bahwa kebanyakan pranata pra-Islam yang akhirnya dihapuskan pada mulanya diperkenankan diam-diam atau diakui terang-terangan(11). Salah satu pranata yang diakui tersebut ialah adat memelihara budak. Keburukan perbudakan berkelindan dengan hubungan batin orang-orang yang hidup sezaman dengan Muhammad. Penghapusan perbudakan hanya bisa dicapai dengan memberlakukan aturan hukum yang bijak dan manusiawi secara berkelanjutan, bukan dengan membebaskan seluruh budak dengan tiba-tiba yang secara moral dan ekonomi hal itu mustahil dilakukan. Sejumlah besar peraturan, baik yang bernilai positif atau negatif, kemudian diperkenalkan untuk mempromosikan dan membebaskan budak sedikit demi sedikit. Kebijakan yang tidak tepat akan menghancurkan negara Islam yang masih dalam tahap awal.
            Berkali-kali, Muhammad menasehati pengikutnya untuk membebaskan budak mereka atas nama Tuhan. Ia menetapkan beberapa dosa tertentu yang jika dilakukan karena kelalaian maka hukumannya ialah memerdekakan budak. Ia pun memerintahkan bahwa seorang budak harus diijinkan membeli kebebasannya sendiri dengan upah yang ia peroleh. Dan, jika budak yang malang itu tidak mempunyai mata pencaharian dan ingin mencari uang dengan bekerja di tempat lain untuk menebus dirinya, mereka harus diijinkan untuk meninggalkan tuannya dengan perjanjian sesuai dengan yang dimaksud(12). Muhammad juga menetapkan bahwa kas negara harus memberikan sejumlah uang pada para budak untuk menebus kebebasan mereka. Dalam keadaan darurat, budak harus dibebaskan tanpa campur tangan tuannya atau bahkan boleh bertentangan dengan kehendak tuannya. Jika ada perjanjian antara budak dengan tuannya yang sedikit meragukan, maka harus ditafsirkan dengan memihak kepentingan budak, dan janji sekecil apapun dari pihak si tuan dianggap sebagai kewajiban dengan maksud untuk pembebasan budak.
            Muhammad mengharuskan si pemilik budak memperlakukan  budaknya dengan baik seperti ia memperlakukan anggota keluarganya sendiri, tetangganya, teman seperjalanan atau para musafir; mendorong membebaskan budak sebebas-bebasnya disertai pemberian sejumlah harta benda yang telah Tuhan karuniakan kepadanya. Ia juga melarang si majikan melakukan eksploitasi seksual terhadap budak perempuannya. Membebaskan budak merupakan tebusan bagi seorang mu’min yang membunuh orang mukmin lainnya tanpa sengaja, dan untuk beberapa perbuatan dosa lainnya. Maksud keseluruhan ajaran Muhammad adalah membuat perbudakan yang permanen atau sistem kasta menjadi mustahil. Dan, merupakan kesalahan untuk menggunakan kata slavery (budak) dalam pengertian bahasa Inggris untuk merujuk pada status budak, yang dikenal dalam hukum Islam.
Muhammad memerintahkan bahwa setiap budak yang melarikan diri ke wilayah negara Islam otomatis mendapatkan  kebebasannya. Anak-anak budak perempuan mengikuti status ayahnya dan si ibu mendapatkan kebebasannya ketika si ayah meninggal dunia. Seorang budak harus dibolehkan membuat perjanjian dengan tuannya untuk pembebasannya. Dan, sebagian dari zakat harus digunakan untuk membebaskan para budak. Si majikan dilarang memaksa si budak bekerja lebih keras dari yang semestinya. Mereka diperintahkan untuk tidak memanggil budak laki-laki atau perempuan dengan nama panggilan yang merendahkan harkatnya, tetapi dianjurkan memanggil dengan sebutan yang lebih ramah dan penuh kasih sayang seperti, “adik” atau “anak muda”. Si majikan juga diharuskan memberi budaknya pakaian yang sama dengan pakaian yang ia kenakan, dan memberi makan budaknya sama dengan makanan yang ia makan. Di atas semua itu, dilarang memisahkan seorang anak dari ibunya, saudara dari saudaranya, anak dengan ayahnya, seorang suami dengan istrinya, dan seorang dengan sanak kerabatnya, hanya karena mereka budak(13).
Berkenaan dengan ketentuan yang mengatur perlakuan terhadap seorang budak, Muhammad tidak mengatur kewajiban timbal balik antara majikan dan budaknya yang berat sebelah, sebagaimana sering terlihat dalam agama lain(14). Dengan pengetahuan yang lebih mendalam dan lebih akurat tentang tabiat manusia, Muhammad tidak memandang perlunya menetapkan kewajiban pihak si lemah terhadap si kuat.
Dalam Islam, status budak bukan suatu aib. Status budak hanyalah kebetulan, dan tidak sebagaimana dalam hukum perdata dan ajaran para pemuka gereja yang menganggapnya sebagai hukum alam. Zaid, bekas budak Muhammad, sering diberi kepercayaan sebagai pimpinan pasukan; sementara komandan-komandan pasukan di bawahnya menerima kepemimpinannya tanpa mengeluh. Usamah, anak Zaid, mendapat kehormatan memimpin ekspedisi yang dikirim Abu Bakar untuk berperang melawan Yunani. Kutub ad-Din, raja pertama Delhi dan pendiri Imperium Islam, sesungguhnya adalah seorang budak di India. Perbudakan yang diperkenankan dalam Islam berbeda sama sekali dengan perbudakan yang lazim dipraktekan dalam dunia Kristen hingga masa belakangan ini, atau perbudakan yang dipraktekkan di Amerika hingga perang suci 1865 mengakhiri praktek terkutuk itu.
 Dalam dunia Islam, seorang budak saat ini bisa menjadi wazir agung suatu saat kelak. Ia boleh menikah dengan putri tuannya dan menjadi kepala keluarga. Para budak telah banyak mendirikan kerajaan dan dinasti. Ayah raja Mahmud dari Ghazni adalah seorang budak. Apakah agama Kristen dapat menunjukkan catatan serupa? Apakah Kristen bisa menunjukkan dalam lembaran sejarahnya tentang perlakuan terhadap kehidupan budak yang begitu jelas dan begitu manusiawi sebagaimana dalam dunia Islam?
Dari apa yang telah kami paparkan di depan, jelaslah Muhammad sendiri memandang sistem perbudakan hanyalah kebiasaan yang bersifat sementara dan berpendapat bahwa hilangnya sistem tersebut pasti akan terjadi seiring dengan kemajuan akal budi dan perubahan zaman. Al Quran selalu bicara tentang budak sebagai “mereka yang telah kau peroleh dengan tangan kananmu,” yang mengindikasikan bahwa hanya dengan cara yang salah orang mendapatkan budak perempuan atau laki-laki.
Sebenarnya dalam kenyataannya hanya dikenal satu jenis budak, yakni budak yang berasal dari tawanan perang yang sah sejalan dengan ketentuan Jihad-i-Shara’i. Pada semua bangsa barbar, para tawanan diselamatkan semata-mata untuk kepentingan pribadi(15); supaya menambah kekayaan si penangkap atau kekayaan negara secara bersamaan yang diperoleh dari hasil penjualan budak tersebut atau karena tenaganya(16). Seperti bangsa kuno lainnya, bangsa Arab pra-Islam juga menyisihkan para tawanan untuk keuntungan mereka sendiri. Muhammad mendapati kebiasaan ini dikalangan anak bangsanya. Muhammad tidak banyak berteori dengan kata-kata muluk tanpa makna, sebaliknya ia menetapkan peraturan yang tegas sebagai pedoman tentang orang yang boleh dijadikan budak, ialah mereka yang ditawan dalam peperangan yang sah hingga mereka ditebus atau si tawanan bisa membebaskan diri mereka sendiri dengan upah pekerjaan yang mereka lakukan. Bahkan , ketika budak-budak itu tak punya sumber penghasilan, seruan terhadap kesalehan kaum Muslimin ditambah dengan beratnya tanggung jawab yang diemban pemilik budak seringkali menjadi alasan yang cukup untuk membebaskan para budak itu.
Penculikan orang untuk dijadikan budak dan jual-beli budak yang dilindungi penguasa Kristen(17) dan disucikan oleh Yudaisme tidak dibenarkan dan dicela Islam. Orang yang memperjualbelikan budak dianggap sebagai sampah masyarakat. Pembebasan budak dinyatakan sebagai perbuatan bijak dan mulia(18). Dilarang sama sekali untuk memperbudak kaum Muslimin. Tapi hal yang memalukan adalah banyak orang yang mengaku beragama Islam, sementara mereka mencoba menaati peraturan yang bersifat tekstual, tapi mereka malah mengabaikan semangat ajaran Muhammad dan memperkenankan perbudakan tumbuh subur (sangat bertentangan dengan perintah Muhammad), baik dengan cara pembelian atau cara lainnya.
Menurut ketentuan Al Qur’an, kepemilikan budak diperkenankan dengan syarat didapati dari tawanan dalam peperangan yang sah, dalam rangka membela diri melawan serangan kaum kafir. Adapun perijinan memelihara budak itu pun berarti pula menjamin keselamatan dan pemeliharaan si tawanan. Berakhirnya perang antara umat Islam dengan suku dan bangsa tetangga yang memusuhi umat Islam semestinya telah menghapus perbudakan secara alamiah, dengan demikian berakhir pula kesempatan orang untuk memelihara budak dan membebaskan seluruh budak yang ada. Akan tetapi, mungkin karena kontak dengan bangsa-bangsa di Timur dan Barat yang rendah moralnya, juga dengan suku-suku liar di Utara, atau karena fakta bahwa sistem yang buruk ini telah berakar kuat dalam kehidupan masyarakat, maka banyak orang Islam, seperti juga orang Kristen dan Yahudi, masih mengakui perbudakan dan sampai batas tertentu masih mempraktekkannya hingga kini. Tapi keberadaan orang Turki liar dan arab Afrika yang senang menculik untuk dijadikan budak, bukan lagi representasi Islam, seperti juga orang Guacho barbar yang berpesta pora di padang rumput liar di Amerika Selatan pun bukan representasi orang Kristen(19). Seperti poligami, sistem perbudakan yang secara universal dikenal seluruh umat manusia, pada satu fase perkembangan mereka—paling tidak pada bangsa-bangsa yang mengklaim beradab—telah hidup lebih lama dari kebutuhan adanya perbudakan itu. Karena itu, cepat atau lambat, perbudakan pasti akan hilang.
Jelaslah, Islam tidak bermaksud melestarikan perbudakan, sebagaimana yang dikatakan orang dengan kedengkian. Tetapi, Islam berusaha dengan berbagai cara untuk menghapuskannya, antara lain melalui cara membatasi alasan kepemilikan budak sesedikit mungkin. Islam tidak memperlakukan persoalan penting ini dengan sembrono. Sementara Islam memproklamasikan kesetaraan umat manusia dengan bahasa yang tegas, tapi Islam—dengan mengabaikan segala konsekuensinya—tidak membebaskan orang yang sudah menjadi budak karena hal itu akan menimbulkan kejahatan dalam dunia yang belum matang, yang tidak siap menerima kebebasan manusia secara moral dan intelektual.
Setidaknya, tidak ada rekaman otentik yang bisa diperoleh berkenaan dengan budak yang diperoleh dengan pembelian semasa keempat khalifah besar Islam berkuasa. Tapi dengan kemunculan keluarga Umayyah, yang merampas kekuasaan, menyebabkan terjadinya perubahan dalam semangat Islam. Adalah Mu’awiyah, penguasa Muslim pertama yang memperkenalkan kepemilikan budak dengan pembelian ke dalam dunia Islam. Ia juga merupakan Muslim pertama yang mengadopsi kebiasaan orang Bizantinium untuk menyuruh orang kasim menjaga para harem. Selama masa pemerintahan Abbasiyah awal, Imam Syiah, Ja’far al Shodiq mengecam praktek perbudakan dalam khotbah-khotbahnya.
Kini tiba saatnya  bagi seluruh umat manusia untuk melawan segala praktek perbudakan dalam segala bentuknya; bahkan jika ia bersembunyi dalam jubah suatu golongan agama. Terutama untuk umat Islam—demi kemuliaan Muhammad—harus mencoba menghapus lembar hitam dalam sejarah mereka. Lembar sejarah ini tak akan ditulis kecuali karena bertentangan dengan semangan hukum Islam, betapapun cemerlangnya lembar-lembar itu selain risalah-risalah kuno yang merekam perbuatan mengerikan penganut agama lain. Kini tiba saatnya, tatkala suara-suara yang menyeru pada kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan universal di antara umat manusia harus didengar dengan pemahaman baru yang diperoleh dari penghayatan spiritual selama empat belas abad. Kini, tugas kaum Muslimin untuk menunjukkan kepalsuan fitnahan yang dilontarkan orang terhadap kemuliaan Muhammad, dengan menyatakan secara tegas bahwa perbudakan yang dicela oleh agama mereka, juga ditolak oleh hukum Islam.
Keterangan:
1.       Bandingkan keseluruhan L’Influence des Croisades sur l’Etat des Peuples de l’Europe, oleh Maxime de Choiseul D’Aillecourt, Paris, 1809
2.       Maine, Ancient Law, hal.104
3.       Caesar (De Bell. Gall. Lib. VI), Tacitus (De Moribus German cap.24, 25) dan Pothier (De Stat. Servor. Apud German, lib.I), semuanya menyatakan betapa kerasnya perbudakan yang dijalankan di Jerman.
4.       Imam, XXV, 44, 45
5.       Tim. IV, 1, 2
6.       Bandingkan Milman, Latin Christianity, Jilid I, hal.358
7.       Salah satu hukun tersebut ialah, jika seorang wanita merdeka kawin dengan seorang budak, maka si wanita akan dihukum mati dan budak itu akan dibakar hidup-hidup. Bandingkan bab yang berisi pembelaan dalam pembahasan ini dalam buku Milman, Latin Christianity, Jilid II.
8.       Bandingkan Milman, Latin Christianity, Jilid II, hal.369, dan juga Du Cange, Concubina
9.       Bandingkan De Choiseul, baca juga mengenai pembahasan panjang lebar bab ini dalam buku Stepehen, Commentaries on the Law of England, buku II, bag.I, bab.II. Salah satu hak-hak istimewa yang buruk dan memalukan yang dimiliki para tuan tanah Inggris adalah hak culiage, yang selanjutnya diubah menjadi denda dengan uang. Pranata ini, seperti dengan tepat diperkirakan, menyebabkan munculnya hak waris, yang berlaku di beberapa daerah kekuasaan tuan-tuan tanah tersebut dan terkenal dengan nama Borough English (tanah waris untuk putra bungsu)
10.   Pufendorff, Law of Nature and Nation, buku IV, c.3.s.10; Ulricus Huberus, Praelect Jur. Civ, I, I, tit. 4, s. 6; Pothier, De Statu Servorum; dan Grotius, De Jure Bell., I, II, c.5 s 27.
11.   Tahzib ul-Akhlak (15 Rajab 1288), hal.118
12.   Qur’an, Surah XXIV, 33
13.   Saya tidak merasa perlu untuk menggunakan pendapat para ahli mengenai persoalan ini, karena telah menjadi kenyataan yang diakui. Tapi bagi para pembaca yang ingin mengetahuinya, saya sarankan untuk membaca kumpulan hadits dalam Misykat, Sahih Bukhari, dan Bihar ul-Anwar. Yang terakhir berisi teladan yang paling mulia tentang kemurahan hati dan kedermawanan keturunan Muhammad.
14.   Lihat Col. III, 22; I Tim. VI, I
15.   Bandingkan Milman, Latin Christ., Jilid II, hal.387. Ahli hukum di masa lalu mendasarkan hak untuk memperbudak tawanan pada hak yang sebelumnya, yaitu hak untuk membunuhnya. Dalam hal ini mereka diikuiti oleh Albericus Gentilis (De Jur. Genr. Cap. de Servitude), Grotius dan Pufendorff.
Montesquieu-lah sebenarnya yang pertama kali menyangkal kebenaran hak untuk membunuh tawanan, kecuali jika dalam kondisi terdesak, atau untuk membela diri. Dan ini disangkal pula oleh pengarang Spirit of Laws itu, karena ia telah bebas tidak terikat lagi dengan gereja.
16.   Bandingkan Milman, History of the Jews, Jilid III, hal.48
17.   Setelah pembantaian di Drogheda oleh Cromwell dan pambantaian di Irlandia, orang Protestan Inggris menjual orang-orang Irlandia, laki-laki dan perempuan, secara massal kepada para kolonis di Virginia, Pennsylvania, dan tempat-tempat lain. Hal yang sama terjadi setelah pemberontakan di Monmouth.
18.   Menurut Hadits yang yang sahih dan terkenal dari Imam Ja’far as-Sadik (Bihar ul-Anwar)
19.   Agar tidak melanggar perintah Rasulullah, seorang Turki (yang menganut mahzab Sunni) telah memaksa tawanannya (baik ia seorang Sunni atau Syiah) untuk mengakui diri mereka seorang penganut bid’ah. Dan orang Afrika Arab razzia pembunuhan mereka, terhadap orang-orang negro pagan, Jihad. Mr. Joseph Thompson, seorang pengelana Afrika yang terkenal dalam sepucuk suratnya kepada harian Times yang terbit di London tanggal 14 November 1887, menulis tentang praktik perbudakan di Afrika Timur sebagai berikut: “Saya tanpa keraguan menegaskan, dan saya berbicara atas dasar pengalaman luas saya tentang bagian Timur wilayah Afrika Tengah yang sangat saya pahami dibandingkan dengan koresponden Anda yang manapun juga, bahwa jika perdagangan budak mengalami peningkatan itu disebabkan karena Islam belum masuk ke daerah-daerah tersebut, dan sebagai sebuah alasan yang sangat kuat, bersamaan dengan tersebarnya agama Islam akan bermakna pula penghentian perdagangan budak.” Penekanannya atas penyebaran Islam secara “damai dan tanpa mengandung pretensi apapun” di Afrika Barat dan Sudan Tengah, patut menjadi perhatian bagi tiap pembaca. “Di sini,” ia berkata, “kita akan melihat Islam sebagai sebuah tenaga yang hidup dan aktif, penuh dengan semangat dan energi seperti ketika masa awal kelahirannya; banyak orang yang berhasil di Islamkan dengan sangat mengesankan yang menyerupai masa-masa awal penyebarannya.”

SUMBER:
Tulisan ini diambil dari buku The Spirit of Islam karangan Syed Ameer Ali, bab VI, hal.297-308. Buku Diterbitkan oleh Penerbit NAVILA,Yogyakarta, Januari 2011, Penerjemah: Margono dan Kamilah,S.Pd



Tidak ada komentar:

Posting Komentar