Karya:
Syed Ameer Ali
“Darah
orang Zimmi sama dengan darah orang Islam.”---‘Ali’
Sejauh ini, kita
memandang ajaran Muhammad semata-mata hanya dari sudut pandang sebagai ajaran
moral dan tuntunan akan kewajiban manusia terhadap sang Pencipta, selain juga
terhadap sesama manusia. Kini, kita akan mencermati pengaruh ajaran Islam
terhadap umat manusia secara keseluruhan.
Tujuh abad telah berlalu sejak Nabi
dari Nazareth mewartakan risalahnya tentang kerajaan surga pada si miskin dan
si papa. Sebuah kehidupan yang indah berakhir sebelum pekerjaan dimulai. Di
dunia barat maupun timur, kondisi kehidupan rakyat begitu sengsara tiada tara.
Mereka tidak mempunyai hak perdata maupun hak politik. Hak-hak tersebut
dimonopoli oleh mereka yang kaya dan yang berkuasa, atau golongan pendeta.
Hukum tidak diberlakukan sama antara si lemah dan si kuat, si kaya dan si
miskin, para bangsawan dan rakyat jelata. Di bawah pemerintahan Sassanid
Persia, golongan pendeta dan tuan tanah, Dehkan,
memegang seluruh kekuasaan dan kekayaan negara di tangan mereka. Kaum tani dan
orang-orang miskin umumnya tidak berdaya di bawah telapak kaki kekuasaan yang
tiran. Di Imperium Bizantium, golongan pendeta dan kaum berpunya, kalangan
istana, serta sejumlah besar pembantu wakil Kaisar dan gubernur, adalah
orang-orang yang bahagia, yang memiliki kekayaan, pengaruh dan kekuasaan. Adapun
rakyat jelata dalam kepedihan yang hina. Sejatinya, dalam kerajaan barbar, di mana
sistem feodal berkuasa, sebagian besar penduduk pada umumnya adalah budak atau
hamba sahaya.
Status budak merupakan hal biasa
bagi petani. Pada mulanya, hanya ada sedikit perbedaan antara budak petani
dengan budak rumah tangga. Kedua golongan budak itu, beserta keluarga dan harta
mereka, adalah milik si Tuan Tanah. Tuan tanah boleh memperlakukan budak mereka
sekehendak hatinya(1). Di waktu berikutnya, para budak itu menjadi milik para
tuan tanah dan mereka bisa diperjual-belikan beserta tanah yang mereka miliki,
atau dianggap sebagai barang pribadi milik si tuan tanah yang bisa dipindahkan
dari satu pemilik ke pemilik lain. Mereka tidak bisa meninggalkan tuannya tanpa
ijin. Jika mereka melarikan diri atau dicuri dari tuannya, mereka bisa
diperoleh kembali dengan cara seperti memperoleh hewan beban atau barang
lainnya.. Para budak itu memiliki sepetak kecil tanah untuk menghidupi keluarga
mereka, tapi kepemilikan itu hanya bisa dimungkinkan atas itikad baik tuannya;
si tuan bisa mencabut hak atas tanah itu kapanpun sekehendak hatinya. Seorang
budak tidak dapat memiliki harta benda, baik dalam bentuk tanah atau barang;
tapi kalaupun ia membeli barang atau tanah, tuannya tetap bisa mengusir mereka
dan merampas harta benda si budak itu.
Kalung besi besar yang membelenggu
leher merupakan tanda bahwa seseorang adalah budak petani atau budak rumah
tangga. Secara berkelompok, budak-budak itu digiring dari satu tempat ke tempat
lain. Mereka diberi makan layaknya babi, diberi rumah lebih buruk dari kandang
babi, kaki dan tangan mereka dibelenggu, sementara sebuah kalung besi mengikat
leher-leher mereka dan menghubungkannya
menjadi satu barisan. Si pedagang budak menunggang kuda dengan cambuk besar
bersimpul-simpul di tangan; dengan cambuk itu ia “menyemangati” budak yang
telah begitu letih dan tak berdaya. Cambuk itu jika dilecutkan, seringkali
mengelupaskan daging tubuh para budak. Laki-laki, perempuan dan anak-anak
berjalan tertatih-tatih ke seantero negeri dengan pakaian compang-camping, mata
kaki penuh nanah, dan kaki telanjang mereka dihiasi luka-luka. Jika ada
diantara budak malang itu tiba-tiba terjatuh, mereka akan dibaringkan di tanah
dan dicambuk hingga kulit terkelupas dan nyaris tewas.
Gambaran di atas merupakan bentuk
kekejaman yang terjadi pada sekitar abad pertengahan; penderitaan yang dialami
budak negro di negara bagian selatan Amerika Utara sebelum perang saudara, juga
kekejaman yang dilakukan pemburu budak di Sudan. Semua itu memberikan gambaran
pada kita betapa mngerikannya penderitaan para budak di bawah penguasaan
pemerintahan Kristen pada saat pertama kali Islam diturunkan hingga akhir abad
ke-15 M(2). Dan, bahkan setelah hampir dua ribu tahun kelahiran Isa, kita masih
bisa menemukan orang Kristem mencambuk seorang perempuan tak berdaya hingga
tewas, yang dipenjara karena perbedaan pandangan politik yang sesungguhnya atau
karena rekayasa salah satu imperium yang paling berkuasa di dunia yang beradab
ini(3).
Adapun keadaan orang yang dinamakan
“orang merdeka” sama sekali tidak lebih baik dari keadaan budak biasa. Jika
mereka ingin menjual tanahnya, mereka harus membayar denda pada si tuan tanah.
Sebaliknya, jika mereka ingin membeli tanah, ,mereka juga harus membayar denda.
Mereka tidak bisa menerima warisan tanpa membayar pajak yang berat. Mereka
tidak bisa menggiling jagung atau membuat roti tanpa memberi sebagian pada
tuannya. Mereka tak bisa memanen tanaman mereka sebelum gereja mengambil
sepersepuluh bagiannya, raja seperduapuluh, dan kerabat istana lainnya mendapat
bagian yang lebih kecil. Mereka tak bisa meninggalkan rumah tanpa seijin
tuannya; mereka terikat sepanjang waktu untuk melayani tuannya. Jika anak
tuannya kawin, mereka harus senang hati memberikan sumbangan. Tapi ketika anak
gadis si orang merdeka akan kawin, si gadis harus membiarkan dirinya diperkosa
lebih dulu—bahkan oleh seorang uskup yang notabene hamba Kristus. Jika ia
kebetulan tuan tanah, maka ia tak boleh menolak hak istimewa yang kejam dan
barbar itu. kematian bahkan bukan penghiburan bagi para korban barbarisme yang
malang ini. Ketika masih hidup, mereka teraniaya. Ketika mati, mereka dikatakan
akan masuk neraka abadi; karena ia serupa dengan orang yang bunuh diri yang
dianggap penjahat paling terkutuk. Maka tidak ada tempat bagi jasad yang malang
itu di tanah yang suci; jasadnya hanya bisa diselundupkan di tengah malam buta
dan dikuburkan di tempat yang tidak suci dengan tubuh ditusuk tonggak sebagai
peringatan bagi orang lain.
Demikianlah penderitaan yang selalu
membayangi rakyat. Tapi sang bangsawan di balai persidangannya, sang uskup di
istananya, si pendeta di biaranya, mereka hanya sedikit memperhatikan
penderitaan rakyat banyak. Awan gelap telah menyelimuti sebagian besar wilayah Afrika
dan Eropa. Di manapun itu, kehendak
pihak yang paling kuat menjadi ukuran hak dan hukum. Gereja tidak berupaya
membantu pihak yang tertindas dan teraniaya. Ajaran gereja bertentangan dengan
konsepsi pembebasan umat manusia dari cengkraman kekuasaan yang lalim. Para
pemuka gereja awal mengutuk perlawanan terhadap pemegang kekuasaan dan
menganggapnya sebagai dosa besar. Tidak ada kezaliman, penindasan atau
kekejaman atas kemanusiaan yang dapat membenarkan rakyat untuk melindungi diri
mereka dari kezaliman para penguasa. Para pengikut Nabi Isa pun berperilaku
sama dengan mereka yang dikecam nabinya; yakni orang-orang kaya dan penguasa
tiran. Mereka telah menjadi golongan feodal dan menikmati hak-hak istimewa
sebagai tuan tanah, para bangsawan dan pangeran.
Golongan yang tidak beragama
Kristen—Yahudi, ahli bid’ah atau Pagan, di bawah kekuasaan Kristen—hidup tanpa
kepastian. Tergantung pada nasib apakah mereka akan dibinasakan atau dijadikan
budak. Mereka tidak mempunyai hak apapun; sudah cukup bagi mereka untuk tetap
hidup meskipun harus menderita. Jika orang Kristen melakukan pernikahan
terlarang dengan orang non-Kristen—pernikahan absah di antara dua golongan itu
dilarang—maka ia akan dibakar hidu-hidup hingga tewas. Golongan Yahudi tidak
boleh makan, minum atau duduk semeja dengan orang Kristen. Anak-anak mereka
bisa saja dirampas dari orang tua mereka, begitupun harta benda, atas kehendak
para bangsawan, uskup atau rakyat yang fanatik. Dan keadaan ini terus
berlangsung hingga penghujung abad-17 M.
Baru setelah sang Muhammad
melantunkan nyanyian kebebasan—baru setelah ia memproklamasikan kesetaraan di
antara umat manusia dan menghapuskan hak-hak istimewa yang dimiliki tiap kasta
dan mengemansipasikan kerja—maka rantai yang membelenggu bangsa-bangsa di muka
bumi ini putus. Muhammad datang dengan risalah yang sama, yang telah diwartakan
oleh nabi-nabi sebelumnya, hanya ia menyempurnakan pelaksanaannya.
Karakter utama politik Islam bisa
ditemukan dalam piagam yang diberikan Muhammad setelah kedatangannya di Madinah,
serta dalam surat-suratnya yang dikirim pada orang-orang Kristen Najran, dan
negara tetangga lainnya setelah Islam berdiri mantap di Jazirah Arab. Piagam
tersebut memberikan sebagian besar dasar-dasar tuntunan pada semua penguasa
muslim dalam memperlakukan rakyat mereka yang non-muslim. Jika ada yang
menyimpang dari isi piagam itu maka persoalannya menjadi tanggung jawab
penguasa yang bersangkutan. Jika kita memisahkan keniscayaan berpolitik yang
sering berbicara dan bertindak atas nama
agama, tidak ada agama lain yang lebih toleran dari Islam dalam memperlakukan
pengikut agama lain(4). Alasan-alasan kenegaraanlah yang mendorong penguasa
muslim di sana-sini, dalam batas tertentu, menunjukkan sikap intoleransi atau
bersikeras memberlakukan satu agama saja; tapi sistem politik Islam itu sendiri
telah memelihara sikap toleransi yang paling luas.
Orang Yahudi dan Kristen, tidak
diganggu saat menjalankan agama mereka. Mereka juga tak dipaksa untuk pindah
agama. Jika mereka diwajibkan membayar pajak khusus, pajak itu merupakan ganti
dari wajib militer dan sudah semestinya bagi mereka yang menikmati perlindungan
negara; harus memberikan sumbangan pada negara untuk kepentingan publik.
Sementara para penyembah berhala, berlaku ketentuan yang lebih keras; tapi
ketentuan itu hanya dalam teori, karena prakteknya, hukum yang mengatur mereka
juga amat liberal. Jikapun pada suatu saat mereka diperlakukan tidak manusiawi,
hal itu karena nafsu pribadi si penguasa atau penduduk. Agama hanya dijadikan
dalih semata.
Untuk mendukung pandangan yang telah
berubah usang bahwa penduduk non muslim di dalam negara Islam berada dalam
keadaan tak berdaya sama sekali(5), mereka merujuk tidak hanya pandangan sempit
para ahli hukum Islam namun juga pada beberapa ayat Al-Quran tertentu. Ini
untuk menunjukkan bahwa Muhammad tidak senang dengan penduduk non muslim dan ia
tidak menganjurkan hubungan baik antara pengikutnya dan penduduk non muslim(6).
Berkenaan dengan masalah tersebut,
kita tidak boleh melupakan bahwa umat Islam sedang berjuang mati-matian ketika
ayat-ayat tersebut diwahyukan. Dan kita juga tidak boleh melupakan cara-cara
khianat yang sering digunakan oleh golongan Pagan, Yahudi dan Kristen, untuk
merusak ajaran Islam yang masih baru, serta untuk menggoda kaum muslimin agar
berpaling dari agama baru mereka. Pada saat yang demikian itu, adalah wajib
bagi Muhammad untuk memperingatkan pengikutnya untuk mewaspadai muslihat dan
maksud licik penganut agama lain yang memusuhi Islam. Tak ada seorangpun yang
mempelajari ilmu perbandingan sejarah dapat menyalahkan hal itu karena Muhammad
mencoba melindungi negara kecilnya dari pengkhianatan musuh dan orang asing.
Jika kita perhatikan perlakuan
Muhammad terhadap penduduk no-muslim secara umum, kita bisa melihat betapa
sikapnya begitu toleran, lapang dada serta penuh simpati. Apakah ada sebuah
bangsa atau agama penakluk yang memberikan penduduk taklukannya jaminan yang
lebih baik daripada yang terekam dalam kata-kata Muhammad berikut:
“Pada
orang Kristen Najran dan kawasan sekitarnya, jaminan Allah dan janji Rasul-Nya
meliputi jaminan terhadap agama, harta benda dan hidup mereka. Penduduk
taklukan tidak diganggu dalam menjalankan ibadah menurut keyakinan mereka.
Hak-hak dan keistimewaan mereka juga tak berubah. Tak ada uskup yang diusir
dari keuskupannya; rahib dari biaranya. Tidak ada pendeta yang diusir dari
wilayah kependetaannya. Mereka boleh terus menikmati hal-hal yang mereka sukai
seperti sediakala. Tak ada lukisan atau kayu salib yang boleh dihancurkan.
Mereka tidak boleh menindas atau ditindas. Mereka tak boleh lagi melakukan
balas dendam berdarah seperti pada jaman Jahiliyah. Rakyat taklukan tidak boleh
dibebani pajak, mereka juga tidak boleh dituntut untuk menyediakan perlengkapan
untuk kepentingan tentara.”(7)
Setelah Hira ditaklukan, segera
setelah rakyat menyatakan baiat, Khalid bin Walid menyampaikan maklumat bahwa
ia menjamin hidup, harta benda dan kebebasan orang Kristen. Lebih lanjut ia
menyatakan “Orang-orang Kristen tidak boleh dilarang membunyikan nakus dan
mengarak salib mereka ketika ada festival.” “Demikian maklumat ini,” kata Imam
abu Yusuf(9), disetujui dan didukung khalifah(10) dan para penasehatnya(11)
Penduduk
non muslim diperkenankan mendirikan gereja atau kuil. Tapi di tempat yang
secara khusus didiami oleh kaum Muslimin, peraturan itu tidak berlaku.”Tidak
boleh ada gereja atau biara barudidirikan di tempat yang hanya didiami kaum
Muslimin,” kata Abdullah bin Abbas(12). “Tapi di tempat lain, di mana kaum
Zimmi telah ada sebelumnya, kita harus menghormati kesepakatan yang kita buat
dengan mereka.”(13)
Namun dalam prakteknya, larangan itu
tidak diindahkan sama sekali. Pada masa pemerintahan Ma’mun, kita mendengar
terdapat sebelas ribu gereja Kristen selain ratusan sinagoga milik Yahudi dan
kuil api di seluruh kerajaan. Sang raja yang cendikia ini, yang digambarkan
sebagai musuh bebuyutan orang Kristen, mengangkat penasehatnya dari berbagai
golongan masyarakat yang ada dalam wilayah kekuasaannya—orang Islam, Kristen,
Yahudi, Saba, Zoroaster. Sementara itu, hak dan keistimewaan yang dimiliki
gereja diatur dengan hati-hati dan tetap dijamin.
Adalah
suatu fakta penting, yang hanya ada sedikit pembandingnya di zaman modern ini,
bahwa setelah menaklukkan Mesir, Khalifah Umar dengan hati-hati tetap menjaga
harta-benda yang diwakafkan orang ke gereja. Ia juga memberikan tunjangan pada
gereja untuk menyokong para pendeta sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah
sebelumnya(14). Kesaksian terbaik mengenai toleransi pemerintahan Islam masa
awal diberikan oleh orang Kristen sendiri. Pada masa pemerintahan Utsman,
khalifah ketiga seorang pemuka gereja dari Merv menulis surat pada uskup Fars
yang bernama Simeon sebagai berikut,”Orang-orang Arab yang dikaruniai Tuhan
kerajaan di bumi ini tidak menyerang agama Kristen, sebaliknya mereka membantu
agama kita. Mereka menghormati Tuhan kita dan para santo, dan memberi derma ke
gereja dan biara kita.”
Untuk menghindari
kesewenang-wenangan—sekecil apapun—yang mungkin terjadi, tidak ada orang Islam
yang diperbolehkan mengambil tanah orang Zimmi sekalipun dengan cara
membelinya.” Baik imam maupun sultan tidak boleh merampas harta benda orang
Zimmi.”
Di mata hukum, orang Islam dan orang
Zimmi mempunyai kedudukan yang sama.” Darah mereka,” kata khalifah
‘Ali,”Seperti darah kita.” Banyak pemerintahan modern, tanpa terkecuali
beberapa diantaranya yang paling beradab sekalipun, mencontoh model
pemerintahan Islam. Hukuman dikenakan sama pada semua pelaku kejahatan, baik
penguasa atau rakyat jelata. Menurut hukum Islam, jika seorang Zimmi dibunuh
oleh orang Islam, si pembunuh tetap harus mendapatkan hukuman yang sama dengan
hukuman orang Zimmi yang membunuh orang Islam(15).
Guna menyejahterakan penduduk non
muslim, Khalifah Baghdad, sebagai pesaing mereka di Kordoba, mempunyai
departemen khusus yang bertugas melindungi orang Zimmi dan menjaga
kepentingannya. Di Baghdad, kepala departemen ini disebut Katib al Jihbazih, sementara di Spanyol disebut Katib al Zimam(16).
Mutawakkil, yang menghancurkan makam
imam Husain hingga rata dengan tanah dan melarang orang berziarah ketempat suci
itu, tidak mengijinkan penduduk non muslim untuk memangku jabatan pemerintahan.
Sikapnya ini juga ia berlakukan pada kaum rasionalis Muslim. Mutawakkil juga
meminggirkan kedua golongan penduduk ini. Dalam yurisprudensi hukum
selanjutnya, yang ditulis tatkala perang besar sedang berlangsung antara dunia
Islam dan dunia Kristen—disatu pihak disebabkan untuk mempertahankan kehidupan,
sebab lainnya untuk memperoleh kekuasaan—tak bisa diragukan pastilah ada
peristiwa yang menyebabkan munculnya dugaan bahwa orang-orang Zimmi
diperlakukan secara hina dalam Islam.
Tapi pernyataan di atas tidak akan
ditemukan dalam peraturan yang diajarkan Muhammad, atau oleh para sahabat dan
penerus kekuasaannya. Akan tetapi, harus ditambahkan di sini bahwa pandangan
fanatik ahli hukum berikutnya tidak pernah dipraktekkan. Bahwa penduduk
non-Muslim diperlakukan dengan toleran dan murah hati bisa dibuktikan dengan
fakta yaitu bahwa orang Zimmi dapat ditunjuk sebagai pelaksana surat wasiat
oarng Islam. Mereka kerap menjadi rektor pada universitas Islam dan lembaga
pendidikan lainnya. Mereka juga bisa menjadi kurator lembaga amal Islam
sepanjang tidak menjalankan fungsi keagamaan. Dan, jika ada orang non-Muslim
yang terpandang atau amat berjasa meninggal, kaum Muslimin berbondong-bondong
menghadiri pemakamannya.
Pada tahap awal, dengan alasan yang
jelas, panglima militer tidak dipercayakan pada penduduk non-Muslim, tapi
jabatan lainnya terbuka bagi mereka—sama dengan orang Islam. Kesetaraa itu
tidak hanya dalam teori, karena sejak abad pertama Hijriyah, kita bisa
menemukan jabatan penting dalam pemerintahan dipegang oleh orang Kristen,
Yahudi dan Magi. Pemerintahan Abbasiyah tidak mengakui diskriminasi atas dasar
agama. Semua penduduk diperlakukan sama, terlepas dari agama mereka. Dan,
dinasti yang menggantikan mengikuti jejak mereka.
Jika dibandingkan perlakuan
negara-negara Islam terhadap penduduk non-Muslim pada umumnya, jauh lebih baik
dan manusiawi ketimbang perlakuan negara-negara Eropa terhadap penduduk
non-Kristen. Di bawah kekaisaran kaisar-kaisar Mogul di Delhi, orang-orang
Hindu bisa menjadi panglima angkatan bersenjata, memerintah daerah propinsi,
dan menjadi penasehat raja. Bahkan, hingga sekarang ini, bisa dikatakan tak ada
kerajaan di Eropa yang memiliki penduduk yang berbeda suku dan agama, tidak
membuat perbedaan perlakuan atas dasar agama, warna kulit dan suku bangsa.
Doktrin yang amat istimewa dalam
Islam yang diajarkan pada umat manusia ialah prisip-prinsip keesaan Tuhan dan
kesetaraan umat manusia, sebagaimana diajarkan oleh Muhammad. Asalkan doktrin
utama Islam, tauhid dan risalah Muhammad diakui serta diterima, Islam
memberikan keleluasaan bagi perkembangan pemikiran manusia. Karena itu, di
manapun prajurit Islam datang, ia disambut gembira oleh golongan rakyat
tertindas dan Orang-orang bid’ah yang teraniaya, sebagai pertanda pembebasan
dari perbudakan yang menyengsarakan. Islam datang pada mereka dengan membawa ajaran
persamaan manusia di depan hukum dan pajak yang tak seberapa memberatkan.
Perang Kadesia, yang menyebabkan
Persia jatuh ke tangan orang Islam, menjadi tonggak pembebasan sebagian besar
orang Persia; sebagaimana perang Yarmuk dan Ajnadin menjadi tanda pembebasan
orang Siria,yunani dan Mesir . Bangsa Yahudi yang dari masa ke masa selalu
dibantai oleh penganut Zoroaster, dan orang-orang Kristen yang selalu diburu
dari satu tempat ke tempat lain, akhirnya bisa hidup bebas di bawah kekuasaan
Muhammad yang mengajarkan persaudaraan antar umat manusia. Di mana-mana, orang
menyambut Islam sebagai pembebas. Dan jika terjadi perlawanan, hal itu hanya
dilakukan golongan pendeta dan golongan bangsawan. Rakyat dan kaum buruh secara
umum, yang tertindas di bawah kekuasaan kaum Zoroaster, berbaris mendukung sang
penakluk. Hanya dengan mengucapkan pengakuan sederhana atas kebenaran abadi,
merekapun ditempatkan sederajat dengan Sang Pembebas—Kaum Muslimin.
Kepala-kepala suku dan
kabilah-kabilah mendapatkan semua hak istimewa mereka, kehormatan dan pengaruh
lokal—“Lebih dari yang bisa kami percaya,” kata Gobineau, “bahwa penindasan dan
penganiayaan yang dilakukan kaum Muslimin terlalu dibesar-besarkan.” Penaklukan
atas Afrika dan Spanyol menimbulkan akibat yang sama. Orang-orang Aria, Pelagia
dan orang bid’ah lainnya, yang hingga saat itu menjadi korban amarah dan
kebencian kaum ortodoks—massa rakyat yang telah lama ditindas dengan kejam oleh
para prajurit dan juga oleh golongan pendeta—menemukan kedamaian dan
ketentraman di bawah pemerintahan orang Islam.
Adalah suatu ironi, bangsa Yahudi
yang kebenciannya terhadap Islam hampir menghancurkan negara Islam, mendapati
kaum Muslimin sebagai pelindung terbaik mereka. Bangsa Yahudi dihina, dirampok,
dibenci dan dilaknat oleh semua negara Kristen. Tapi, mereka menerima
perlindungan di bawah pemerintahan Islam dari kekejaman diluar
perikemanusiaan—perlindungan dari kekejaman yang tak mereka dapatkan dari dunia
Kristen.
Islam memberikan rakyat seperangkat
aturan hukum, betapa pun kuno dan sederhananya, namun dapat mengikuti kemajuan
peradaban dunia. Islam memberikan pada negara bantuan hukum yang fleksibel
berdasarkan apresiasi yang benar atas hak dan kewajiban manusia. Islam juga
membatasi pemungutan pajak, mengajarkan persamaan manusia di mata hukum, dan
menyucikan prinsip-prinsip pemerintahan yang mandiri. Islam juga menerapkan
kontrol atas pemegang kekuasaan dengan
menempatkan kekuatan eksekutif di bawah kekuatan hukum—hukum yang didasarkan
atas kewajiban agama dan sanksi agama. “Kesempurnaan dan efektifitas tiap
ketentuan hukum itu,” kata Urquhart, “membuat yang lainnya bernilai; dan jika
semuanya digabung akan menciptakan suatu sistem politik yang lebih unggul dari
sistem politik manapun.”
Dalam sejarah manusia, walau di
tangan orang-orang liar, bodoh dan tak berarti, Islam menyebar luas ,melampaui
luasnya kekuasaan Imperium Romawi. Meski begitu, agama Islam tetap bersifat
sederhana, tapi pengaruhnya tak terbendung(17).
Masa pemerintahan Abu Bakar yang
singkat terlalu sarat dengan kerja keras untuk mendamaikan para kabilah padang
pasir, hingga ia tak ada waktu untuk mengatur provinsi-provinsi yang ada secara
sistematis. Tapi selama pemerintahan Umar, dimulailah upaya tak kenal lelah
untuk menyejahterakan rakyat bangsa taklukan. Upaya ini menjadi ciri khas
pemerintahan Islam periode awal.
Jika dicermati secara seksama,
kehidupan politik Islam di bawah kekuasaan khalifah awal menunjukkan kepada
kita sistem pemerintahan rakyat yang dipimpin oleh orang yang dipilih dengan
kekuasaan yang terbatas. Kepala negara hanya berkuasa atas soal-soal
administrasi dan eksekutif, seperti pengaturan lembaga kepolisian, kontrol atas
angkatan bersenjata, perdagangan dengan negeri asing, keuangan negara dan
lain-lain. Seorang kepala negara tidak bisa melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan hukum yang sah.
Badan peradilan tidak tergantung
pada badan pemerintah. Keputusan mereka merupakan kekuasaan tertinggi, dan para
khalifah awal tidak memiliki kekuasaan untuk mengampuni seseorang yang telah
dijatuhi hukuman oleh pengadilan. Semua orang memiliki kedudukan yang sama di
depan hukum tanpa memandang apakah ia orang kaya atau miskin, penguasa atau
buruh di ladang—semua sama.
Ketika zaman semakin maju, kekerasan
sistem hukum Islam pun berkurang, tapi bentuknya selalu terjaga. Bahkan, para
perampas kekuasaan yang tanpa hak dan penuh khianat membunuh dan merampas
kekuasaan pemerintahan telah memeluk Islam. Mereka adalah representasi dari dari
kekuasaan oligarki kaum Pagan yang taat hukum—meski hanya luarnya—dari
pemerintahan yang representatif. Para penguasa dinasti selanjutnya, apabila
mereka melampaui batas kekuasaannya dan bertindak sewenang-wenang, mereka
dicegah dengan putusan hukum yang dibuat oleh lembaga ahli hukum, yang di semua
negara Islam bertindak sebagai pengontrol penguasa atas dasar Undang-Undang
Dasar.
Pada masa awal pemerintahan Islam,
para sahabat nabi merupakan Dewan Negara yang efektif. Julukan kehormatan
sebagai “sahabat nabi” punya pengaruh besar di daerah perkotaan atau di padang
pasir. Pengaruh yang begitu besar yang dimiliki sahabat nabi itu terus
meningkat seiring bertambah luasnya wilayah yang ditaklukan kaum Muslimin. Kata
ashab berati suci dan mulia. Jika
seseorang menyandang gelar tersebut, maka segala tingkah lakunya akan diikuti
oleh orang banyak, dan merekapun akan tunduk di bawah kepemimpinannya. Pada
tingkat pertama, mencakup mereka yang menyertai Muhammad saat hijrah dari
Makkah, yang disebut sebagai golongan Muhajirin
dan golongan Ansar. Golongan Muhajirin adalah orang-orang yang penuh
kesetiaan mengikuti Muhammad dan turut serta dalam perang Badar dan perang Uhud
untuk membela agama Islam. Mereka juga pernah menerima tugas, berbicara,
melihat dan mendengar kata-kata Muhammad. Dan pada tingkat kedua, mencakup
mereka yang pernah mendapat tugas dari para sahabat yang secara tidak langsung
mendapat petunjuk dari Muhammad.
Suatu peristiwa yang terjadi pada
masa pemerintahan khalifah Umar membuktikan bahwa Islam memandang semua umat
manusia mempunyai kedudukan yang sama. Jabala, seorang Raja Ghassan, setelah
masuk Islam, pergi ke Madinah untuk memberi penghormatan pada Amirul Mukminin. Ia memasuki Madinah
dengan penuh kebesaran dan disambut dengan penuh penghormatan. Ketika sedang
melakukan tawaf, seorang peziarah miskin yang juga sedang melakukan kewajiban
suci itu tanpa sengaja telah menjatuhkan pakaian haji dari bahunya. Jabala
murka dan memukul si peziarah malang itu hingga giginya tanggal. Kelanjutan
kisah tersebut lebih baik kita dengar dari kata-kata bersejarah Umar pada Abu
Ubaidah, panglima tentara Islam di Siria. Umar menulis dalam suratnya:
“Orang malang itu datang kepadaku dan minta
keadilan. Jabala kusuruh datang. Dan, ketika ia datang kutanya kenapa ia
memukul seorang saudara sesama Muslimin. Jabala menjawab bahwa laki-laki itu
telah menghinanya, dan seandainya peritiwa itu tidak terjadi di tempat suci, ia
pasti telah membunuh laki-laki itu ditempat itu juga. Kujawab, bahwa
kata-katanya memperberat kesalahannya, dan jika Jabala tidak mendapat maaf dari
laki-laki malang itu, ia akan dihukum sesuai ketentuan yang berlaku. Jabala
menjawab,’Aku seorang raja dan lainnya hanya rakyat biasa.’ Tapi aku balas
berkata,’Raja atau rakyat biasa, kalian berdua sama-sama orang Islam dan
mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum.’Jabala meminta hukuman ditunda
hingga keesokan harinya, dan atas persetujuan korban, aku setuju untuk menunda
hukuman tersebut. Malam harinya, Jabala melarikan diri dan kini bergabung
dengan anjing Kristen(18). Tapi Allah akan memberimu kemenangan atasnya dan
atas orang-orang seperti mereka...”
Surat itu dibacakan Abu Ubaidah di
depan pasukannya. Rupanya, komunikasi semacam itu sering dilakukan di bawah pemerintahan
awal khalifah. Tak seorang pun yang berdiam di gurun atau di kota yang tidak
mengetahui persoalan-persoalan publik. Tiap Jum’at, setelah menunaikan shalat
Jum’at, Amirul Mukminin mengumumkan
pada jamaah berkenaan dengan pengangkatan jabatan-jabatan penting dan peristiwa
penting yang terjadi sehari-hari. Para Gubernur yang memimpin provinsi
mengikuti teladan tersebut. Tak seorangpun dilarang hadir pada pertemuan umum
tersebut. Inilah pemerintahan demokrasi dalam bentuk yang paling baik. Amirul Mukminin tidak diselubungi aura
Ilahiah. Ia menjalankan pemerintahan dengan bertanggung jawab terhadap rakyat.
Upaya keras para khalifahawal untuk
mensejahterakan rakyat, dan kesederhanaan hidup mereka, selaras dengan teladan
Muhammad. Mereka shalat dan berkhutbah di masjid sebagaimana dilakukan oleh
Muhammad. Mereka menerima orang-orang tertindas dan rakyat jelata di rumah
mereka dan tak enggan mendengar keluhan orang paling hina sekalipun. Tanpa
kemegahan dan iring-iringan kebesaran, mereka menguasai hati rakyat dengan
akhlaknya. Umar mengadakan perjalanan ke Syiria untuk menerima penyerahan
Yerusalem hanya ditemani seorang budak. Abu Bakar, di akhir hidupnya, hanya
meninggalkan sepasang pakaian, seekor unta dan seorang budak sebagai harta
warisannya. Tiap Jum’at ‘Ali membagi-bagikan sedekah—uang yang diambilnya dari
kas negara—pada orang-orang yang susah dan menderita. Ia juga memberikan
teladan pada rakyat untuk menghormati badan peradilan. Dalam perjalanan
Republik Islam yang masih muda itu, tak seorangpun khalifah yang dapat merubah
atau bertindak bertentangan dengan keputusan pengadilan yang sah(19).
Tentu saja sulit bagi sebuah negara
baru, yang didirikan dengan kekuatan senjata, untuk memperoleh simpati rakyat
seketika. Akan tetapi, bangsa Muslim awal memberikan alasan yang menimbulkan
kepercayaan besar dan kasih sayang bangsa yang ditaklukkan. Dipimpin oleh para
pemimpin moderat dan ramah, seperti Abu Ubaidah, yang mampu mengekang dan
mengendalikan keganasan para prajurit, juga seperti Khalid, tapi mereka tetap
menjaga hak-hak rakyatnya. Mereka juga menjaga kebebasan beragama dan kebebasan
sipil lainnya. Sikap mereka bisa menjadi contoh bagi banyak negara beradab di
era modern ini. mereka tidak mencambuk perempuan hingga tewas. Mereka tidak menghukum
kaum perempuan yang tidak bersalah dengan mengirimnya ke tambang-tambang di
Siberia dan membiarkan para penjaga tambang memperkosanya. Mereka cukup cerdik
untuk tidak mencampuri urusan lembaga sipil yang tidak berbahaya yang ada di
negara taklukan sepanjang lembaga itu tidak melawan agama mereka.
Upaya yang dilakukan Umar untuk
menjamin kemakmuran petani menunjukkan perhatiannya akan kesejahteraan rakyat.
Pajak atas tanah dikenakan dengan adil dan pantas; kanal-kanal air dan pipa air
dibangun di seantero negeri. Feodalisme yang menyengsarakan kaum petani
dihapuskan, dan kaum petani pun dibebaskan dari perbudakan yang telah
berlangsung berabad-abad. Kematian orang besar ini di tangan pembunuh, tak
diragukan lagi,merupakan kerugian besar bagi negara. Tabiatnya yang keras tapi
adil, seorang terpelajar dan berpikiran praktis, membuatnya sangat pas untuk
menekan dan mengendalikan ambisi anak-anak keluarga Umayyah. Menjelang
kematiannya, Umar menunjuk enam orang untuk memilih penggantinya sebagai khalifah.
Jabatan khalifah ditawarkan kepada ‘Ali bin Abi Thalib, tapi keluarga Umayyah
melakukan intrik dan persekutuan dengan menambahkan syarat tertentu pada
tawaran jabatan khalifah tersebut—mereka tahu ‘Ali tidak akan mau menerima
syarat yang mereka tawarkan.
Syarat yang diajukan golongan
Umayyah yaitu ‘Ali diwajibkan memerintah tidak hanya sejalan dengan hukum dan
teladan Muhammad, tapi juga harus mengikuti teladan yang diberikan kedua
khalifah sebelumnya. Dengan sifatnya yang mandiri, ‘Ali menolak jika akal
budinya dikekang. Jabatan khalifah ini kemudian ditawarkan—sebagaimana
diinginkan keluarga Umayyah—pada Utsman yang merupakan keluarga Umayyah.
Pengangkatan pemimpin terhormat ini sebagai pengganti Muhammad kemudian
terbukti menjadi bencana besar bagi negara Islam.
Utsman adalah anggota keluarga
Umayyah—sebuah keluarga yang amat membenci keturunan Bani Hasyim. Mereka telah
menganiaya Muhammad dengan penuh kebencian dan telah mengusirnya dari kampung
halamannya. Mereka berjuang keras untuk menghancurkan agama Islam pada awal
perkembangannya, dan terus memeranginya hingga saat terakhir. Anggota keluarga
Umayyah amat kuat rasa persatuannya. Mereka memiliki pengaruh kuat di kalangan
kabilah-kabilah Mozar, di mana mereka merupakan salah satu anggota kabilah terkemuka.
Keluarga Umayyah merasa cemburu atas hilangnya kekuasaan lama dan prestise yang
pernah mereka miliki. Setelah Makkah jatuh, mau tak mau, mereka terpaksa masuk
Islam; tapi mereka tidak pernah bisa memaafkan keluarga Hasyim atau Islam
karena Muhammad bin ‘Abdullah telah membuat kehancuran pada keluarga mereka(20).
Selama
Muhammad masih hidup, kepribadiannya yang kuat, membuat takut para pengkhianat
ini. Banyak di antara mereka berpura-pura masuk Islam untuk kepentingan mereka
sendiri dan karena keserakahan untuk memperoleh bagian atas harta yang
diperoleh negara Islam atas kemenangan-kemenangannya. Tapi, mereka tak pernah
berhenti membenci nilai-nilai demokrasi yang dibawa Muhammad. Pada umumnya,
keluarga Umayyah merupakan orang-orang yang bejat moralnya, hidung belang,
jahat dan kejam, yang dalam hatinya senantiasa menyembah berhala. Itulah
sebabnya mereka membenci agama yang mengajarkan persamaan hak, menyuruh orang
untuk menaati kewajiban moral, dan menjaga kesucian diri dengan keras.
Sejak semula, keluarga Umayyah telah
berniat menghancurkan pemerintahan Islam—meski telah bersumpah setia mendukung
pemerintahan Islam—dan menghancurkan orang-orang yang mendukung pemerintahan
tersebut. Dua khalifah pertama pengganti Muhammad bisa mengendalikan ambisi
mereka dan meredam intrik serta pengkhianatan yang mereka lakukan. Namun,
dengan terpilihnya Utsman, mereka segera berduyun-duyun ke Madinah, seperti
burung elang mencium mangsanya. Naiknya Utsman ketampuk kekuasaan menjadi tanda
akan meledaknya kebencian dan kebejatan moral yang selama ini dipendam keluarga
Umayyah. Dan pertanda itu kemudian terbukti dengan terguncangnya dunia Islam
hingga menghancurkan sendi-sendi kehidupan yang amat berharga dan mulia.
Di bawah pemerintahan Utsman,
terjadi perubahan radikal dalam kehidupan politik dan pemerintahan. Kebijakan
politik kedua khalifah terdahulu tak lagi diikuti. Semua gubernur dan panglima
tentara, yang merupakan orang-orang dekat Muhammad dan para sahabat, diganti.
Jasa dan kesetiaan pada pemerintahan diabaikan sama sekali. Semuan jabatan
penting dirampas keluarga Umayyah. Jabatan gubernur di setiap provinsi diberikan
pada orang-orang yang telah terbukti paling memusuhi agama Islam, dan dalam
sekejap kas negara pun kosong untuk kepentingan mereka.
Kita harus memaparkan serangkaian
peristiwa dengan lebih rinci untuk menggambarkan perpecahan yang terjadi dalam
sejarah Islam pada masa Utsman. Tapi cukup dikatakan bahwa parahnya korupsi
yang terjadi di pemerintahan, pengabaian total terhadap teladan Muhammad dan
kedua sahabat ketika memegang kekuasaan, nepotisme tanpa malu-malu yang
dilakukan Utsman terhadap kerabat dekatnya, dan penolakannya untuk mendengarkan
kritik dan keluhan, menyebabkan kebanyakan otang dan para sahabat tidak
menyukainya. Semua itu akhirnya mendorong terjadinya pemberontakan yang
merenggut jiwa Utsman.
Segera sesudah kematian Utsman yang
tragis, ‘Ali diangkat untuk menduduki jabatan khalifah yang kosong atas
persetujuan rakyat. Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi kemudian merupakan
keniscayaan sejarah. “Seandainya ‘Ali mempunyai kesempatan untuk memerintah
dengan tenang,” kata Oelsner, “maka dengan kebaikan, ketegasan, dan
kewibawaannya ia akan tetap mempertahankan karakter Republik Islam dengan
segala kesederhanaannya”(21). Pedang si pembunuh menghancurkan harapan dunia
Islam. ”Dengan gugurnya ‘Ali,” demikian kata Major Osborn, “Hilanglah seorang
Muslim yang paling jujur dan mulia yang pernah tercatat dalam sejarah dalam sejarah
Islam.” Tujuh abad sebelumnya, orang yang luar biasa ini pasti telah
dikultuskan; tigabelas abad kemudian bakat dan kejeniusannya, kebaikan dan
keberaniannya, membuat ia dikagumi orang-orang dunia beradab. Sebagai seorang
penguasa, ia mendahului zamannya. Kecintaannya akan nilai-nilai kebenaran yang
tanpa kompromi, kelembutan dan tabiatnya yang penuh belas kasih membuatnya tak
sanggup berurusan dengan keluarga Umayyah yang penuh khianat dan kebohongan.
Dengan terbentuknya pemerintahan
otokrasi di bawah kekuasaan Mu’awiyah, semangat politik Islam mengalami
perubahan besar. Khalifah bukan lagi kepala pemerintah yang dipilih oleh
rakyat, dan memerintah semata-mata untuk menyejahterakan rakyat dan kemuliaan
agama. Sejak pemerintahan Mu’awiyah, khalifah yang berkuasa menunjuk
penggantinya, dan rakyat diharuskan menyatakan sumpah setia dihadapannya atau
didepan perwakilannya untuk mengukuhkan pengangkatan itu. sistem ini
menggabungkan keburukan demokrasi dan despotisme tanpa sedikitpun mengadopsi
kebaikan kedua sistem tersebut. Di bawah pemerintahan Republik Islam, tidak
hanya para khalifah yang dibantu oleh Dewan Penasehat yang terdiri dari para
sahabat nabi, tapi pemerintahan di tingkat propinsi pun memiliki dewan
penasehat.
Pada zaman Dinasti Umayyah, sistem
pemerintahan pada dasarnya merupakan pemerintahan otokrasi yang sebenarnya.
Keotoriteran pemerintah ini hanya bisa dikurangi sedikit oleh kemerdekaan
bicara yang dimiliki orang-orang padang pasir, orang terpelajar, para ulama
atau orang yang dikeramatkan yang memungkinkan mereka—seringkali dengan
menyitir ayat Al Quran atau syair penyair ternama—merubah pendapat sang raja.
Di bawah kekuasaan lima khalifah
Dinasti Abbasiyah pertama, sistem pemerintahan kurang lebih sama otoriternya
dengan pemerintahan Dinasti Umayyah, meski terdapat sejumlah menteri dan dewan
penasehat yang anggotanya terdiri dari keluarga khalifah yang terkemuka. Suatu
dewan yang anggotanya terdiri dari perwakilan golongan yang ada di masyarakat,
yang tugasnya menyatakan kesetiaan pada khalifah, diadakan untuk pertama
kalinya pada zaman pemerintahan Ma’mun Yang Agung. Orang-orang Buyid, Salman,
Seljuk dan Ayyub, semuanya mempunyai perwakilan dalam dewan tersebut
Di satu sisi absolutisme di tangan
para penguasa Abbasiyah awal mendorong perkembangan intelektual dan
meningkatkan kesejahteraan negara Islam. Para khalifah Abbasiyah yang
menjalankan kekuasaan dengan tangguh dan tegas bisa dibandingkan dengan
kekuasaan Tudor di Inggris. Mesin politik dan pemerintah khalifah Abbasiyah
yang kemudian diadopsi oleh penerusnya berasal dari kejeniusan Manshur, pendiri
kota Baghdad. Sistem pembagian kerja yang efektif dan sistem pengawasan hingga
detail menbuat sistem pemerintahannya tak kalah dengan sistem pemerintahan modern
yang paling teratur sekali pun.
Pada awal kekuasaannya—dinasti ini
berkuasa beberapa abad—mereka mendirikan Badan Keuangan dan Sekretariat Negara.
Yang pertama, bertugas memungut pajak dan membiayai pengeluaran negara. Yang
kedua, bertugas mengatur mandat yang dikeluarkan oleh negara. Belakangan, untuk
membuat pembagian kerja berjalan lebih baik, didirikanlah beberapa departemen
negara yang dinamakan Diwan.
Beberapa departemen terpenting di
antaranya bisa disebutkan sebagai berikut: Diwan
ul Kharaj (Departemen Pusat Pajak) atau Departemen Keuangan, Diwan ud Dia (Departemen Harta
Kerajaan), Diwan uz Ziman (Departemen
Akuntan), Diwan ul Jund (Departemen
Peperangan), Diwan ul Mawali wa’l Ghilman
(Departemen Perlindungan Budak)—kantor ini menyimpan daftar catatan para bekas
budak dan budak-budak milik khalifah, juga mencatat bagaimana pemeliharaan
terhadap budak tersebut. Selain itu terdapat Diwan Barid (Kantor Pos), Diwan
al Ziman al Nafakat (Kantor Pembelanjaan Negara), Diwan al Rasail (Kantor Sekretariat Negara), Diwan al Toukia (Kantor Penerimaan Permohonan), Diwan al Nazr fi al Mazalim (Kantor
Pengaduan), Diwan al Ahads wa al Shurta
(Kantor Polisi dan Milisi), Diwan al ‘Ata
(Kantor Derma)—kantor ini sama dengan departemen yang bertugas menggaji tentara
reguler. Sementara itu, perlindungan terhadap kepentingan golongan non-Muslim
diatur dalam kantor yang dinamakan Katib
al Jihbazah.
Tiap
kantor pemerintahan dikepalai oleh seorang direktur yang disebut Rais atau Sadr, dan tugas pengawasan dan kontrol dijalankan oleh seorang
inspektur yang dinamakan Mushrif atau
Nazir(22).
Para khalifah Abbsiyah menambahkan
pada pemerintahannya seorang pejabat yang disebut Hajib. Pejabat ini bertugas untuk mengangkat para duta besar dan
juga membentuk Mahkamah Agung, yang bertugas memeriksa perkara yang diputuskan
hakin di tingkat kasasi. Mereka juga mengangkat seorang Wazir atau Perdana Menteri yang bertugas memberikan pertimbangan
pada raja atas perkara yang memerlukan keputusan raja. Seorang Wazir juga bertugas mengatur
pemerintahan di tingkat provinsi dan menentukan sumbangan yang harus dipungut
dari masing-masing daerah tersebut.
Khalifah Abbasiyah juga membangun
penginapan untuk para kafilah, membangun tangki-tangki air serta kanal-kanal
sepanjang jalan dari Baghdad ke Madinah, menanam pohon di sepanjang rute jalan
tersebut, dan membuat tempat beristirahat di pinggiran jalan yang disediakan
bagi para peziarah ataupun para musafir. Mereka membangun rute perjalanan dari
Makkah ke Madinah, dan pangkalan bagi kuda dan unta antara Hijaz dan Yaman
untuk mempermudah komunikasi antara kedua provinsi tersebut. Mereka
memperkerjakan kurir yang ditempatkan di berbagai kota untuk mengirim
benda-benda pos. Mereka membangun kantor pusat di ibukota negara untuk
menyimpan dan memelihara arsip kerajaan, dan membangun kepolisian yang efisien
di seluruh wilayah kekuasaan mereka. Mereka membangun serikat pedagang yang
bertugas mengawasi jalannya perdagangan, menengahi sengketa yang terjadi antara
pedagang, dan berkewajiban memberantas kecurangan.
Tidak hanya tiap pusat perdagangan
memiliki serikat pedagangnya sendiri, tapi tiap kota penting memiliki dewan
kotanya sendiri. Para Khalifah Abbasiyah juga membangun kantor Muhtasib atau pengawas pasar yang tiap
hari berkeliling pasar untuk memeriksa timbangan dan alat ukur yang digunakan
para pedagang. Mereka mendorong terbentuknya pemerintahan yang otonom dan
melindungi serta mendorong dibangunnya berbagai lembaga ditingkat pemerintahan
kotapraja. Dunia pertanian didukung sepenuhnya dengan cara memberi modal pada
para petani, dan pejabat di tingkat provinsi harus memberikan laporan secara
berkala berkenaan dengan kesejahteraan rakyat dan keadaan daerah mereka. Banyak
di antara mereka—di tengah pameran kemegahan—mencoba menjaga keutamaan
pemerintahan republik. Mereka menulis buku, menganyam keranjang dan dijual
kepasar yang hasilnya digunakan untuk kepentingan pribadi khalifah. Semangat
mereka untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat mungkin sebagai perimbangan atas
kekejaman yang mereka lakukan terhadap pengikut ‘Ali. Di bawah pemerintahan
Ma’mun dan dua penerusnya, Imperium Abbasiyah mencapai puncak kemakmurannya.
Spanyol merupakan contoh paling baik
dari karakter politik Islam dan kemampuan adaptasinya terhadap segala bentuk
tatanan masyarakat. Negeri ini amat menderita karena serangan bangsa barbar
yang menyerang, menghancurkan, dan memorakporandakan segala lembaga kemasyarakatan
yang mereka temukan. Kerajaan yang dibangun di atas puing-puing kerajaan Romawi
telah mematikan benih-benih perkembangan politik. Rakyat ditimpa beban kekuatan
feodal yang amat berat, dan segala konsekuensi buruk yang timbul karenanya.
Kawasan yang luas menjadi kosong melompong karena ditinggalkan penduduknya.
Namun sejak diperkenalkannya hukum Islam telah membebaskan seluruh rakyat dan
tanah dari perbudakan feodal. Padang pasir menjadi subur. Kota-kota yang makmur
bermunculan di segala penjuru. Anarki digantikan dengan ketertiban dan
keamanan.
Begitu menjejakkan kaki di bumi
Spanyol, orang-orang Muslim Arab mengeluarkan perintah yang menjamin
kemerdekaan setiap penduduk, tanpa memandang suku, asal-usul dan agama mereka;
tak soal apakah mereka itu bangsa Suevi, Goth, Roma, atau Yahudi. Semuanya
mempunyai kedudukan yang sama dengan kaum Muslimin. Mereka menjamin kebebasan
orang-orang Yahudi dan Kristen untuk menjalankan ibadah dan bebas menggunakan
tempat ibadah mereka. Mereka juga menjamin sepenuhnya keamanan dan harta benda
kedua golongan tersebut. Dalam batas tertentu, mereka bahkan mengijinkan orang
Yahudi dan Kristen menggunakan hukum mereka sendiri. Kedua golongan ini juga
diperkenankan untuk memangku jabatan di pemerintahan dan menjadi tentara. Kaum
perempuan dari kedua golongan itu didorong untuk menikah dengan golongan
penakluk. Tidakkah sikap bangsa Arab di Spanyol itu menunjukkan kontras yang
mengherankan ketimbang kebanyakan negara Eropa, bahkan di era modern ini, dalam
memperlakukan rakyat bangsa taklukan?
Membandingkan pemerintahan kaum
Muslimin dan orang Norman di Inggris, atau orang Kristen di Syiria selama
perang Salib, merupakan pelecehan terhadap akal budi manusia. Kesetiaan orang
Muslim untuk memenuhi janji mereka, perlakuan adil bagi semua golongan tanpa
pandang bulu, membuat rakyat taklukan percaya pada mereka. Dan, tidak hanya
dalam hal yang bersifat khusus ini saja, tapi juga dalam hal toleransi dan
sopan santun serta keramahtamahan yang menjadi adat kebiasaan mereka; kaum
Muslimin sangat berbeda dengan bangsa-bangsa lain pada zaman itu(23).
Pengaruh golongan pendeta Kristen
membuat kaum Yahudi sangat menderita di bawah kekuasaan bangsa barbar. Dan,
setelah adanya pergantian pemerintahan maka merekalah yang paling diuntungkan.
Kaum perempuan Spanyol dari kalangan bangsawan tinggi, di antara mereka
termasuk adik perempuan Pelagius dan anak perempuan Roderick, menikah dengan
orang kafir—begitu Jean Mariana ortodoks menyebut kaum Muslim.
Pemerintahan Islam juga tidak
mengusik hak dan privilise lainnya yang sesuai dengan kedudukan yang mereka
miliki, dan mereka juga memiliki kebebasan berpikir. Kaum Muslimin mengundang
semua pemilik tanah yang telah diusir dengan kekerasan oleh Roderick. Para
pemilik tanah yang lari ke pegunungan itu kini meninggalkan tempat persembunyiannya.
Sayang, jumlah penduduk yang telah banyak berkurang itu membuat tindakan
penyediaan tanah bagi mereka itu tak banyak berguna. Karenanya, mereka
menawarkan berbagai keuntungan bagi petani asing yang ingin tinggal di
semenanjung. Tawaran ini menyebabkan datangnya penduduk daerah jajahan di Asia
dan Afrika—yang pada umumnya rajin—ke Spanyol dalam jumlah besar. Lima puluh
ribu orang Yahudi, beserta istri dan anak mereka, segera tiba di Andalusia.
Selama tujuh abad, kaum Muslimin
berkuasa di Spanyol. Meski ada berbagai pertengkaran dan persengketaan di dalam
negeri, tetapi kebaikan mereka diakui bahkan oleh musuh-musuh kaum Muslimin.
Kemajuan begitu tinggi yang dicapai oleh orang Arab Spanyol seringkali
dikatakan sebagai akibat seringnya terjadi perkawinan antara orang Muslim dan
orang Kristen. Tak diragukan lagi, kondisi ini berpengaruh besar terhadap
perkembangan orang Muslim Spanyol dan perkembangan peradaban yang begitu
mengagumkan, di mana bangsa Eropa modern berhutang banyak atas kemajuan yang mereka
peroleh pada masa damai(24).
Apa yang terjadi di Spanyol terjadi
juga di tempat lainnya. Kemanapun kaum Muslimin datang, segera terjadi
perubahan besar di negeri itu; ketertiban segera menggantikan kekacauan,
kedamaian dan keramahtamahan pun tersebar di seantero negeri. Karena berperang
bukanlah profesi istimewa suatu golongan, maka kerja keras pun bukan suatu
tanda perendahan derajat bagi yang lain. Mencari keberhasilan di dunia
pertanian sama populernya dengan mencari kesuksesan di bidang ketentaraan bagi
semua golongan masyarakat(25).
Doktrin Islam yang mengajarkan
pentingnya kewajiban penguasa terhadap rakyatnya untuk menyokong kemerdekaan
dan kesetaraan penduduk serta melindungi mereka dari penindasan penguasa
dipaparkan dalam buku yang amat menarik karya Safi ud din Muhammad bin ‘Ali bin
Taba, atau yang populer dengan nama Ibn ur Tiktaka(26). Buku tersebut
memaparkan hak-hak timbak balik yang dimiliki raja dan rakyatnya. Buku ini
ditulis pada 701 H (1301-1302 M) dan didedikasikan bagi Fakhr ud din Isa bin
Ibrahim, Amir di Mosul.
Bagian pertama dari buku itu
membicarakan kewajiban raja terhadap rakyatnya dan ketentuan-ketentuan yang
mengatur administrasi publik dan ekonomi-politik. Si penulis memaparkan persyaratan
penting yang harus dimiliki seorang raja, yakni bijaksana, adil, tahu apa yang
diinginkan serta dikehendaki rakyatnya dan takwa pada Tuhan; ia menekankan
bahwa ketaatan terhadap Tuhan merupakan akar dari segala kebaikan dan kunci
bagi segala rahmat, “Karena jika raja menyadari kahadiran Tuhan, maka
hamba-hamba-Nya akan menikmati rahmat perdamaian dan keamanan.”
Seorang raja juga harus memiliki
sifat kasih sayang. Ini adalah sifat terbaik dari semua sifat lainnya. Ia harus
mempunyai kehendak yang kuat untuk menyejahterakan dan membahagiakan rakyatnya,
dan menanyakan pada rakyat tentang keinginan mereka. Sewaktu Muhammad masih
hidup ia senantiasa berkonsultasi dengan para sahabatnya. Dan, Allah pun
berfirman, “Bermusyawarahlah dengan
mereka mengenai tiap persoalan.” Dalam pengaturan urusan publik, rajalah
yang berkewajiban mengawasi pendapatan negara, melindungi kehidupan dan harta
rakyatnya, menjaga perdamaian, menahan penjahat, dan mencegah kejahatan
lainnya. Ia harus memenuhi janjinya, dan kemudian, tambah si penulis, “Kewajiban
rakyat ialah mematuhi raja, tapi tak seorangpun boleh patuh pada raja yang
zalim.” Sedangkan Ibnu Rusyd berkata, “Seorang raja yang zalim(tiran) ialah
orang yang memerintah demi kepentingannya sendiri dan bukan untuk kepentingan
rakyatnya.”
Hukum Islam berdasar atas
prinsip-prinsip kesetaraan dan sangat akurat serta sederhana, tidak menuntut
kepatuhan yang menyulitkan atau tidak selaras dengan kecerdasan manusia. Negeri
tempat kaum Muslimin datang merupakan negeri yang belum dirusak oleh tatanan
feodal dan hukum-hukum feodal(27). “Mereka tidak mengakui adanya hak-hak
istimewa, adanya kasta, karena itu undang-undang mereka menghasilkan dua hal
yang teramat penting—yakni, membebaskan tanah dari segala bentuk beban yang tak
wajar, yang dibuat oleh ketentuan hukum barbar, dan menjamin persamaan hak yang
amat sempurna bagi tiap individu”(28)
Keterangan:
1.
Gereja paling lama menahan budak-budak mereka. Sir Thomas
Smith dalam bukunya Commonwealth
memaparkan dengan pahit tentang kepalsuan pendeta-pendeta.
2.
Dalam Perang Parlemen kedua pihak menjual musuh yang kalah
sebagai budak kepada kaum kolonis. Setelah pemberontakan Duke Monmouth
dipatahkan, semua pengikutnya dijual sebagai budak. Perlakuan terhadap para
budak di daerah-daerah koloni di bawah pemerintahan “Para Bapa Gereja” dan
anak-anaknya sungguh tidak terperikan dengan kata-kata.
3.
Buku ini ditulis sebelum kejatuhan kerajaan Romanoff
4.
Bandingkan Gobineau, Les
Religions et les Philosophies dans l’Asie Centrale.
5.
Dalam sistem Islam, rakyat non-Muslim dalam negara Islam
disebut Ahl-uz-zimmah atau Zimmi, artinya “orang yang hidup dibawah
jaminan keamanan.”
6.
Lihat esai-esai Sell mengenai Islam
7.
Artinya, mereka tidak boleh dipaksa untuk menerima tentara
untuk tinggal di dalam rumah mereka; Futuh
ul-Buldan (Balazuri), hal.65; Kitab
ul-Kharaj karangan Imam Abu Yusuf.
Muir mengemukakan jaminan Muhammad ini dengan lebih singkat, jilid II, hal.697.
8.
Sepotong kayu yang dipakai gereja-gereja Kristen Timur
sebagai pengganti lonceng.
9.
Kadi kepala Harun ar-Rasyid
10.
Abu Bakar
11.
Terdiri dari Umar, Utsman, ‘Ali dan sahabat-sahabat nabi
terkemuka lainnya; lihat kitab ul-Kharaj, hal.84
12.
Seorang keponakan Muhammad dan seorang ahli hukum Islam yang
sangat diakui keahliannya.
13.
Kitab
ul-Kharaj, hal.88
14.
Makrizi, hal.492, 499
15.
Zail’i dalam kitabnyaTakhrij ul-Hidayah menceritakan suatu
peristiwa yang pernah terjadi pada masa khalifah Umar. Seorang Muslim bernama
Bakar bin Wail membunuh seorang Kristen bernama Hairut. Khalifah memerintahkan
agar “si pembunuh diserahkan kepada ahli waris orang yang terbunuh. “Si
pembunuh kemudian diserahkan pada Hunain, ahli waris Heirut, yang kemudian
membunuhnya, hal.338 edisi Delhi. Kasus yang sama juga dilaporkan pernah
terjadi semasa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz.
16.
Lihat The short
History of the Saracens, hal.573
17.
Urquhart, Spirit of
the East, Jilid I. Introd. Hal.XXVIII
18.
Demikianlah julukan yang sering diberikan kepada para raja
Bizantium oleh orang-orang Islam awal
19.
Hukuman pertama yang dijatuhkan oleh pengadilan dan tidak
dilaksanakan eksekusinya terjadi pada jaman Mu’awiyah yang mengampuni orang
yang divonis bersalah oleh hakim karena membaca sebuah sajak yang memuji sang
perampas kekuasaan tersebut.
20.
Itulah sebabnya mereka disebut sebagai Mualafat ul-kulub (Islam nominal).
21.
Oelsner, Des Effets de
la Religion de Muhammad
22.
Keterangan lengkap
mengenai sistem politik dan administrasi Dinasti Abbasiyah, lihat di The short History of the Saracens,
hal.402-443
23.
Conde, History of the
Spanish Moors
24.
Renan, Averroes et
Averroisme
25.
Oelsner
26.
Karya ini dikenal sebagai Kitab-i-Tarikh-ud-Duwal, Sejarah Dinasti-Dinasti,; tapi judul yang
sebenarnya adalah Kitab-ul-fakhri fi’l
adab-il-Sultaniyat wa’d duwal ul-Islamiyah, “Kitab Fakhri mengenai tingkah
laku raja-raja dan Dinasti Islam”; Edisi Derenbourg.
27.
Di Korsika, Sardinia, Sisilia dan sebagian Italia, sistem
feodal masuk setelah pengusiran orang Arab.
28.
Oelsner
SUMBER:
Tulisan ini
diambil dari buku The Spirit of Islam
karangan Syed Ameer Ali, bab VII, hal.309-332.Buku Diterbitkan oleh Penerbit
NAVILA,Yogyakarta, Januari 2011, Penerjemah: Margono dan Kamilah,S.Pd