Sabtu, 17 Agustus 2013

Kritik Pemikiran Cak Nur: Islam Yes, Partai Islam Jujur Yes

Ada sebuah kejadian luar biasa di tahun 70-an. Saat itu muncul sebuah argumen yang mengatakan “kalau tidak mencoblos partai Islam dalam pemilu , maka kita bukan Islam.” Hal ini terlihat sangat tegas dan terkesan menghakimi. Bagaimana bisa keIslaman ditentukan dari kegiatan mencoblos partai? Lalu apa arti semua perintah Allah mengenai ibadah, amal, zakat, apakah itu semua tak berarti dan hanya mencoblos yang penting? Lalu kemudian datanglah Cak Nur, seorang pemikir Islam luar biasa yang membangun Universitas Paramadina. Ia melontarkan sebuah argumen sebagai lawan dari argumen di atas “Islam Yes, Partai Islam No.” Menurut beliau, Islam seharusnya lebih memperhatikan substansi daripada sekedar formalisasi. Untuk apa memiliki partai Islam bila semangat di dalamnya kosong dari nilai-nilai Islam.
Maka kita bisa melihat, bahwa dalam pemikiran Cak Nur terdapat pembagian paradigma pemikiran Islam. Pemikiran Islam dibagi menjadi dua yaitu formalis dan substantif. Formalis adalah mereka yang hendak menegakkan politik Islam dalam bentuknya yang sudah menjadi tradisi Syari’ah. Pemikiran formalis ini kemudian dibagi lagi menjadi dua, yaitu fundamentalis dan tradisionalis. Sedangkan substantif adalah aksentuasi terhadap substansi atau makna iman dan peribadatan lebih penting daripada simbolisme dan formalitas keberagamaan serta ketaatan yang literal kepada teks wahyu Tuhan.
http://www.sunangunungdjati.com/blog/2011/12/14/pemikiran-politik-islam-nurcholish-madjid-1939-2007/
Argumen Cak Nur bahwa “Islam Yes, Partai Islam No” di dasarkan pada pemikiran Islam substantif. Pemikiran ini tak memperhatikan bentuk, ia lebih fokus pada isi/substansinya. Apabila kita cari logikanya, maka pemikiran ini memisahkan bentuk dengan isi. Pertanyaannya, bisakah isi dipisahkan dari bentuk?
Mari kita coba analogikan hal tersebut pada kasus lain, tak usah jauh-jauh misalnya sholat. Dalam sholat ada dua hal yang terpisah yaitu gerakannya sebagai bentuk ibadah dan doa serta semangat beribadah sebagai isinya. Dalam hal ini, apakah gerakan sholat (bentuk) bisa dipisahkan dari doa(isi)? Kalau iya, maka bukan sholat namanya.
Kemudian, kita ambil contoh lain. Misal ada orang Islam rajin mengaji dan ibadah, namun ia berpenampilan kelompok punk dengan baju tak pernah ganti, tak mandi dan sikat gigi, bertato. Ia datang ke masjid untuk mengaji. Apa yang akan terjadi, orang-orang di masjia akan sangat terganggu dengan bau badannya. Yang kita lihat dari orang itu adalah ia melaksanakan ibadah dengan baik dengan semangat yang luar biasa walaupun dengan penampilan yang sungguh keterlaluan. Bila kita kembali melakukan analogi maka kita akan dapatkan mengaji sebagai substansi dan penampilan diri sebagai bentuk/formalisasi. Ketika kita tanyakan, apakah ia penganut Islam yang baik? Jawabannya adalah ia baik namun belum sempurna karena menjaga penampilan dan kebersihan diri merupakan sebuah bentuk ibadah juga dalam Islam. Maka kita mendapatkan kesimpulan bahwa ibadah dalam Islam tak hanya substansinya saja namun juga formalisasinya. Dalam Islam tak bisa hanya melihat isinya, semangatnya saja namun juga bentuk formalisasinya.
Maka dalam Islam bentuk dan isi tak bisa dipisahkan namun justru saling melengkapi. Tentu bentuk dan isi ini tidak boleh kaku dalam mengikuti perkembangan jaman walaupun juga jangan sampai lepas dari rel tuntunan Allah yang ada dalam Al Quran dan Hadits. Ini adalah bentuk ideal pemikiran Islam. Maka tak ada yang namanya Islam formalis, Islam Substantif, Islam Fundamentalis, Islam Tradisional. Yang ada hanyalah Islam.
Inilah kekurangan dalam pemikiran Cak Nur yang cenderung membagi Islam ke dalam kotak-kotak kecil dan membandingkannya satu sama lain. Pada sisi inilah saya tidak setuju dengan Cak Nur. Argumen Cak Nur tentang ‘Islam Yes, Partai Islam No” memiliki logika yang sama yaitu memisahkan bentuk dengan isi. Hal ini telah saya singgung sebelumnya. Namun bagaimana dengan argumen yang menjadi sebab munculnya argumen Cak Nur, yaitu “kalau tidak mencoblos partai Islam dalam pemilu , maka kita bukan Islam
Dalam hal ini kita bisa melihat dari banyak sisi, pertama pada tahun 1970an terjadi perampingan partai politik hanya menjadi 3, yaitu PDI,PPP dan Golkar. Otomatis hanya terdapat satu partai politik Islam. Ketika hanya ada satu partai politik Islam, maka apa yang harus dilakukan oleh orang Islam? Supaya memiliki kekuatan lebih untuk memperjuangkan aspirasi umat Muslim maka umat harus mencoblos PPP, sebagai satu-satunya partai Islam. Seperti misalnya, hanya ada satu partai Kristen misal PKP (Partai Kristen Pembangunan), maka menjadi lumrah apabila muncul pemikiran bahwa hanya partai inilah satu-satunya yang dapat memperjuangkan aspirasi umat Kristen secara utuh. Maka wajar ketika ada yang berteriak “kalau tidak mencoblos partai Kristen dalam pemilu, maka kita bukan Kristen.” Apakah hal ini dapat disebut dengan menjual agama demi kemenangan partai? Tentu tidak. Karena pada dasarnya yang mempersatukan para pemilih dengan partai adalah ideologi partai dan itulah daya tarik utama partai. Para pemilih (voters) diikat oleh sebuah identitas bersama, ketika ia dianggap mengkhianati identitas tersebut, maka ia dianggap pula telah keluar dari kelompok. Sama kasusnya, ketika kita ada pemilihan tujuh keajaiban dunia dimana Malaysia sebagai pesaing utama, kemudian kita justru memilih Twin Tower nya Malaysia sebagai salah satu dari ketujuh keajaiban dunia (misalnya saja), padahal di saat yang sama kita sedang mengajukan Borobudur. Maka kita dapat dianggap sebagai “pengkhianat” atau “tidak nasionalis” atau bahkan ada juga yang berkata, pindah aja sana ke Malaysia!

Ada satu hal yang jangan pernah kita lupakan, bahwa keadaan sosial politik kita terus berubah. Argumen bahwa “kalau tidak mencoblos partai Islam dalam pemilu , maka kita bukan Islam” tentu telah memiliki makna yang berbeda. Saat ini partai yang membawa nama Islam tidak hanya satu. Maka partai Islam manakah yang harus dicoblos? Partai Islam yang akan dicoblos tentu harus bersih dari korupsi dan jujur serta merakyat. Mari kita ciptakan sebuah argumen baru sebagai sebuah antitesis argumen cak Nur bahwa “ Islam Yes, Partai Islam Jujur Yes”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar