Ada sebuah kejadian
luar biasa di tahun 70-an. Saat itu muncul sebuah argumen yang
mengatakan “kalau tidak mencoblos partai Islam dalam pemilu , maka
kita bukan Islam.” Hal ini terlihat sangat tegas dan terkesan
menghakimi. Bagaimana bisa keIslaman ditentukan dari kegiatan
mencoblos partai? Lalu apa arti semua perintah Allah mengenai ibadah,
amal, zakat, apakah itu semua tak berarti dan hanya mencoblos yang
penting? Lalu kemudian datanglah Cak Nur, seorang pemikir Islam luar
biasa yang membangun Universitas Paramadina. Ia melontarkan sebuah
argumen sebagai lawan dari argumen di atas “Islam Yes, Partai Islam
No.” Menurut beliau, Islam seharusnya lebih memperhatikan substansi
daripada sekedar formalisasi. Untuk apa memiliki partai Islam bila
semangat di dalamnya kosong dari nilai-nilai Islam.
Maka kita bisa
melihat, bahwa dalam pemikiran Cak Nur terdapat pembagian paradigma
pemikiran Islam. Pemikiran Islam dibagi menjadi dua yaitu formalis
dan substantif. Formalis adalah mereka yang hendak menegakkan politik
Islam dalam bentuknya yang sudah menjadi tradisi Syari’ah.
Pemikiran formalis ini kemudian dibagi lagi menjadi dua, yaitu
fundamentalis dan tradisionalis. Sedangkan substantif adalah
aksentuasi terhadap substansi atau makna iman dan peribadatan lebih
penting daripada simbolisme dan formalitas keberagamaan serta
ketaatan yang literal kepada teks wahyu Tuhan.
http://www.sunangunungdjati.com/blog/2011/12/14/pemikiran-politik-islam-nurcholish-madjid-1939-2007/
Argumen Cak Nur bahwa
“Islam Yes, Partai Islam No” di dasarkan pada pemikiran Islam
substantif. Pemikiran ini tak memperhatikan bentuk, ia lebih fokus
pada isi/substansinya. Apabila kita cari logikanya, maka pemikiran
ini memisahkan bentuk dengan isi. Pertanyaannya, bisakah isi
dipisahkan dari bentuk?
Mari kita coba
analogikan hal tersebut pada kasus lain, tak usah jauh-jauh misalnya
sholat. Dalam sholat ada dua hal yang terpisah yaitu gerakannya
sebagai bentuk ibadah dan doa serta semangat beribadah sebagai
isinya. Dalam hal ini, apakah gerakan sholat (bentuk) bisa dipisahkan
dari doa(isi)? Kalau iya, maka bukan sholat namanya.
Kemudian, kita ambil
contoh lain. Misal ada orang Islam rajin mengaji dan ibadah, namun ia
berpenampilan kelompok punk dengan baju tak pernah ganti, tak mandi
dan sikat gigi, bertato. Ia datang ke masjid untuk mengaji. Apa yang
akan terjadi, orang-orang di masjia akan sangat terganggu dengan bau
badannya. Yang kita lihat dari orang itu adalah ia melaksanakan
ibadah dengan baik dengan semangat yang luar biasa walaupun dengan
penampilan yang sungguh keterlaluan. Bila kita kembali melakukan
analogi maka kita akan dapatkan mengaji sebagai substansi dan
penampilan diri sebagai bentuk/formalisasi. Ketika kita tanyakan,
apakah ia penganut Islam yang baik? Jawabannya adalah ia baik namun
belum sempurna karena menjaga penampilan dan kebersihan diri
merupakan sebuah bentuk ibadah juga dalam Islam. Maka kita
mendapatkan kesimpulan bahwa ibadah dalam Islam tak hanya
substansinya saja namun juga formalisasinya. Dalam Islam tak bisa
hanya melihat isinya, semangatnya saja namun juga bentuk
formalisasinya.
Maka dalam Islam
bentuk dan isi tak bisa dipisahkan namun justru saling melengkapi.
Tentu bentuk dan isi ini tidak boleh kaku dalam mengikuti
perkembangan jaman walaupun juga jangan sampai lepas dari rel
tuntunan Allah yang ada dalam Al Quran dan Hadits. Ini adalah bentuk
ideal pemikiran Islam. Maka tak ada yang namanya Islam formalis,
Islam Substantif, Islam Fundamentalis, Islam Tradisional. Yang ada
hanyalah Islam.
Inilah
kekurangan dalam pemikiran Cak Nur yang cenderung membagi Islam ke
dalam kotak-kotak kecil dan membandingkannya satu sama lain. Pada
sisi inilah saya tidak setuju dengan Cak Nur. Argumen Cak Nur tentang
‘Islam Yes, Partai Islam No” memiliki logika yang sama yaitu
memisahkan bentuk dengan isi. Hal ini telah saya singgung sebelumnya.
Namun bagaimana dengan argumen yang menjadi sebab munculnya argumen
Cak Nur, yaitu “kalau
tidak mencoblos partai Islam dalam pemilu , maka kita bukan Islam”
Dalam hal ini kita
bisa melihat dari banyak sisi, pertama pada tahun 1970an terjadi
perampingan partai politik hanya menjadi 3, yaitu PDI,PPP dan Golkar.
Otomatis hanya terdapat satu partai politik Islam. Ketika hanya ada
satu partai politik Islam, maka apa yang harus dilakukan oleh orang
Islam? Supaya memiliki kekuatan lebih untuk memperjuangkan aspirasi
umat Muslim maka umat harus mencoblos PPP, sebagai satu-satunya
partai Islam. Seperti misalnya, hanya ada satu partai Kristen misal
PKP (Partai Kristen Pembangunan), maka menjadi lumrah apabila muncul
pemikiran bahwa hanya partai inilah satu-satunya yang dapat
memperjuangkan aspirasi umat Kristen secara utuh. Maka wajar ketika
ada yang berteriak “kalau tidak mencoblos partai Kristen dalam
pemilu, maka kita bukan Kristen.” Apakah hal ini dapat disebut
dengan menjual agama demi kemenangan partai? Tentu tidak. Karena pada
dasarnya yang mempersatukan para pemilih dengan partai adalah
ideologi partai dan itulah daya tarik utama partai. Para pemilih
(voters) diikat oleh sebuah identitas bersama, ketika ia dianggap
mengkhianati identitas tersebut, maka ia dianggap pula telah keluar
dari kelompok. Sama kasusnya, ketika kita ada pemilihan tujuh
keajaiban dunia dimana Malaysia sebagai pesaing utama, kemudian kita
justru memilih Twin Tower nya Malaysia sebagai salah satu dari
ketujuh keajaiban dunia (misalnya saja), padahal di saat yang sama
kita sedang mengajukan Borobudur. Maka kita dapat dianggap sebagai
“pengkhianat” atau “tidak nasionalis” atau bahkan ada juga
yang berkata, pindah aja sana ke Malaysia!
Ada
satu hal yang jangan pernah kita lupakan, bahwa keadaan sosial
politik kita terus berubah. Argumen bahwa “kalau tidak mencoblos
partai Islam dalam pemilu , maka kita bukan Islam” tentu telah
memiliki makna yang berbeda. Saat ini partai yang membawa nama Islam
tidak hanya satu. Maka partai Islam manakah yang harus dicoblos?
Partai Islam yang akan dicoblos tentu harus bersih dari korupsi dan
jujur serta merakyat. Mari kita ciptakan sebuah argumen baru sebagai
sebuah antitesis argumen cak Nur bahwa “
Islam Yes, Partai Islam Jujur Yes”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar