hujan membasahi bumi
angin segar membawa kebaruan kehidupan
awan menangis bahagia
tanah hidup karenanya
manusia tertawa, mengeluh dan marah
namun, kehidupan berjalan
Tuhan ada dalam hujan
Rabu, 21 November 2012
Jumat, 16 November 2012
SUBSIDI BBM HANYA MEMBOROSKAN ANGGARAN
Hal
ini memang telah menjadi polemik lama. Pada tahun 2005 kemaren ada kenaikan
harga BBM dengan tujuan memperkecil besaran subsidi sehingga bisa disalurkan
kepada sektor lain seperti subsidi kesehatan, pendidikan dan pertanian. Kenaikan
ini berhasil dilakukan oleh Pak Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kemudian kenaikan
hampir terjadi lagi pada tahun 2011 dan ditentang habis-habisan oleh berbagai
elemen masyarakat yang akhirnya gagal naik.
Sebenarnya
pemberian subsidi BBM kepada masyarakat menguntungkan atau merugikan?
Bila melihat pada judul
tulisan tentu pembaca sudah mengetahui posisi saya yang menolak subsidi BBM. Hal
tersebut karena beberapa hal, yaitu:
1. Subsidi
BBM hanya berakhir menjadi asap polusi udaa
2. Tidak
tepat sasaran karena dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat
3. Menguntungkan
industri mobil yang merupakan produk asing
4. Dana
pembangunan dikuras hanya untuk subsidi BBM yang tidak produktif
5. Terbengkalainya
berbagai sektor lain yang justru merupakan sektor penopang utama sebuah bangsa
yaitu sektor pendidikan, kesehatan dan pertanian
6. Meningkatkan
kemacetan karena dengan BBM murah, orang jadi lebih termotivasi membeli
kendaraan pribadi
Itulah 6 sebab yang
membuat subsidi BBM hanyalah sebuah tindakan sia-sia yang telah membakar dana
tak kurang dari 300 trilyun tahun 2012 ini. Sungguh sangat disayangkan.
Kamis, 15 November 2012
UNTUK APA KITA WAJIB BELAJAR 12 TAHUN?
Pemerintah
mewajibkan kita untuk belajar dari SD-SMP-SMA. Pemerintah juga menganggarkan
dana sangat besar untuk mewujudkan “kewajiban” kita belajar. Walaupun kita
tetap harus membayar berbagai iuran lainnya untuk berbagai alasan yang entah
penting atau tidak. Dari mulai iuran seragam, buku, gedung,ekstrakurikuler
hingga iuran perjalanan wisata. Semua dibayarkan oleh kedua orang tua dengan
penuh kerelaan hati walau harus berutang kanan-kiri dengan harapan kita akan
menjadi manusia yang berhasil dan
membanggakan. Beribu terima kasih kita haturkan pada jasa kedua orang tua.
Namun, kemudian ternyata setelah lulus SMA harapan orang tua justru tak
terwujud. Saat ini untuk mendapatkan pekerjaan bagus minimal harus memegang
ijazah D3. Kemudian untuk membuka usaha sendiri kita juga tak mampu, bukan
karena kita tidak memiliki kemampuan untuk itu, namun karena kita memang tidak
diajarkan untuk menjadi manusia mandiri. Lalu apa gunanya kita belajar selama
12 tahun menuntut ilmu dari pagi hingga siang yang kemudian dilanjtkan dengan
berbagai kegiatan ekstrakurikuler?
Belajar
memang kewajiban semua umat manusia. Ilmu yang membuat manusia maju dan
bahagia. Menusia menjadi bahagia karena semua kesulitan dalam hidup bisa
terpecahkan dengan ilmu. Semua masalah kehidupan dapat ditemukan solusinya
dengan ilmu. Bukankah itu tujuan utama kita dalam belajar, yaitu memperoleh
kebahagiaan tertinggi dalam kehidupan. Namun, apakah kebahagiaan yang kita
kejar semenjak dini kita belajar? Tentu saja. Masih ingatkah kita ketika kecil
kita ditanya ingin menjadi apa, lalu kita menjawab ingin menjadi sesuatu.
Karena kita berpikir dengan menjadi sesuatu kita akan mendapatkan kebahagiaan.
Sewaktu
kecil saya ingin menjadi Power Ranger karena menurutku mereka sangat kuat dan
aku merasa akan bahagia bila memiliki kekuatan seperti mereka, bisa melawan
monster dan pamer pada teman. Namun kemudian berubah lagi, aku ingin menjadi
dokter karena berpikir mengobati teman-teman yang sakit supaya bisa bermain
bersama lagi adalah sesuatu yang menyenangkan. Itulah kebahagiaan yang ingin
kucapai ketika kecil. Menjelang dewasa semua mulai berubah. Cita-cita konyol
dahulu telah berganti, bahkan saat menjadi dewasa dan mengerti kerasnya hidup
aku hanya memiliki satu keinginan yaitu mendapatkan pekerjaan. Semua keindahan
masa kecil telah sirna, berganti dengan keinginan untuk bertahan hidup. Untuk
mendapatkan pekerjaan aku melamar kesana-kemari, tak perduli walaupun yang
kulamar bukanlah bidang yang telah kupelajari selama 5 tahun kuliah. Bila
ditotal maka aku telah belajar selama 17tahun dan semuanya hanya menghasilkan
ijazah.
SD-SMP-SMA
memakan waktu 12 tahun dan kuliah 5 tahun. Sebuah waktu yang sangat lama dalam
belajar. Lalu apa yang kita dapatkan? Bahkan kita sama sekali tidak mampu
menjawab sebuah pertanyaan sederhana seperti” untuk apa kita hidup?” walaupun
telah 17 tahun belajar. Bayangkan saja, untuk belajar intensif tentang bahasa
inggris saja kita hanya butuh waktu untuk belajar selama 1 tahun dan kita telah
mampu menguasai bahasa Inggris. Kemudian untuk berbagai macam ketrampilan lain
seperti menjahit, memperbaiki mesin, membangun rumah, memasak secara intensif
tak membuttuhkan waktu yang lama.
Sederhananya, semua kemampuan dasar yang dibutuhkan untuk dapat bertahan hidup
sebenarnya bisa dipelajari dalam waktu yang singkat. Termasuk untuk berdagang,
tak sedikit manusia yang hanya bekerja menjadi pelayan pedagang dan akhirnya
mendapatkan kemampuan berdagang. Bayangkan bila 17 tahun yang kita habiskan itu
kita pergunakan untuk mempelajari hal yang memang kita sukai dan bermanfaat,
tentu masa depan kita akan berbeda, masa depanku berbeda.
Setelah 17 tahun
belajar, akhirnya aku hanya mencari lowongan seadannya, apapun itu yang penting
menghasilkan rupiah. Aku bukan satu-satunya yang bernasib seperti ini, ada
jutaan pemuda Indonesia lainnya yang bernasib sama. Lihat saja Job Fair yang
selalu dipenuhi manusia-manusia muda dan “terpelajar”. Aku hanyalah satu
diantara jutaan lainnya.
Apakah
itu semua salahku yang tidak belajar dengan baik? Coba lihatlah sekitar, berapa
banyak mahasiswa yang memiliki indeks prestasi tinggi justru berakhir menjadi
pengangguran. Ini bukanlah kesalahan individu, namun sebuah fenomena yang
terjadi dalam kehidupan nyata. Walaupun akhirnya aku berhasil mendapatkan
pekerjaan di sebuah bank namun hal tersebut tetaplah mengecewakan karena
bekerja bukan pada bidang dan minatku.
Tidak
hanya aku yang bekerja bukan pada bidangnya, ada banyak orang lain yang
melakukan hal sama. Di kantorku saja terdapat lulusan ilmu fisika, pertanian,
sastra inggris. Bekerja bukan pada bidang perbankan membuat diriku merasa
sia-sia telah membuang 5 tahun belajar ilmu komunikasi. Akhirnya setelah satu
tahun bekerja kuputuskan keluar dan melanjutkan S2 untuk menjadi dosen dan
penulis. Daripada menghabiskan waktu melakukan hal yang tidak disukai lebih
baik pergunakan waktu sebaik mungkin untuk mengejar cita-cita. Pencerahan ini
baru kudapatkan setelah hidup selama 25 tahun dan selama 1 tahun terlepas dari
dunia pendidikan.
Akhirnya aku
menemukan tujuan hidupku. Hal ini
seharusnya lebih awal kusadari. Seandainya pendidikan kita berbasis pada
penemuan minat, bakat dan pembangunan karakter sebagai manusia Indonesia
seutuhnya yang mandiri dan merdeka serta berani maka kita, seluruh pemuda akan
menjadi 180 derajat berbeda dari keadaan sekarang. Mari bersama-sam kita
wujudkan mimpi itu demi anak cucu kita nanti.
Selasa, 13 November 2012
BANK SYARIAH LEBIH BURUK DARI BANK KONVENSIONAL
Bank
syariah merupakan bank yang memiliki prinsip berbeda dengan bank konvensional.
Bila bank konvensional menggunakan prinsip bunga/riba maka bank syariah
menggunakan prinsip bagi hasil. Hal ini amatlah berbeda, bahkan berlawanan.
Untuk lebih jelasnya mari kita ambil sebuah contoh,
Contoh
Kasus
Budi
ingin meminjam uang pada Bank Syariah untuk memulai usaha bisnis rumah makan.
Ia mengajukan pinjaman sebesar 100 juta. Ia berdialog dengan bank dan akhirnya
terjadi kesepakatan , bank memberikan pinjaman sebesar 100 juta dengan jaminan
rumah Budi dan bagi hasil 25% dari keuntungan bersih per bulan. Bila rumah
makan Budi mengalami kerugian maka bagi hasil pun tidak dibayarkan.
Kasus
di atas merupakan sebuah kejadian yang menggambarkan sebuah bank syariah yang
ideal, namun kenyataannya tidak demikian. Bank syariah justru tidak memfokuskan
diri pada usaha bagi hasil (mudharabah) justru lebih berfokus pada jual beli
(murabahah). Bank syariah menjadi mirip seperti leasing yang memberikan kredit
untuk membeli motor dengan bunga. Memang bank syariah tidak menimpakan bunga
namun keuntungan yang telah diberitahukan di awal dan di bayar perbulan dengan
jumlah angsuran yang sama,
Contoh
kasus
Budi
inginmembeli motor Ninja 250 cc seharga 50juta, ia mengajukan permintaan ke bank
syariah untuk membeli motor tersebut. Bank syariah menyetujuinya dengan
keuntungan 5 juta. Total pinjaman yang di ambil 55 juta. Budi membayar uang
muka 10% dari total pimjaman, 5.5 juta. Sisanya harus diangsur perbulan.
Lihat,
bukankah hal di atas sama saja dengan leasing atau bank konvensional lainnya.
Hanya saja keuntungannya dinyatakan di awal. Hal ini memburamkan perbedaan
antara bank syariah dengan bank konvensional. Pada praktek kesehariannya
prinsip bagi hasil juga sangat jarang dipakai karena berbagai macam kesulitan
yang menurut bank menjadi hambatan dalam pemberian kredit bagi hasil. Sedangkan
bagi nasabah, penerapan bagi hasil merupakan syarat wajib. Hal ini berarti bank
boleh membayar bagi hasil atas tabungan nasabah berdasarkan keuntungan yang diperoleh bank dan bila tak
ada keuntungan maka tak ada bagi hasil yang dibayarkan bank pada nasabah.
Hal
ini justru lebih buruk dari bank konvensional karena tak adanya prinsip
keadilan. Bila nasabah menitipkan uang pada bank maka selalu digunakan prinsip
bagi hasil sedangkan bila bank meminjamkan uang nasabah kepada pihak yang
membutuhkan digunakan prinsip jual beli.
Minggu, 11 November 2012
FILSAFAT KEADILAN VS KEJAHATAN
Bagaimanakah kejahatan berkembang dan
memenuhi dunia saat ini? Hal ini merupakan pertanyaan penting untuk
dijawab. Tentu kita tahu bahwa tak satu pun manusia yang menyukai kejahatan
atau paling tidak, tidak ada manusia yang rela dirinya menjadi korban
kejahatan. Semua manusia ingin diperlakukan dengan penuh cinta dan rasa
persahabatan. Semua mencintai keadilan atau paling tidak menginginkan diri kita
sendiri untuk mendapatkan keadilan. Semua manusia ingin diperlakukan baik dan
mencintai keadilan. Tentu kita semua setuju dengan hal ini.
Lalu, bagaimana kejahatan bisa muncul dan
berkembang sangat pesat dewasa ini?
Kita
setiap hari menyaksikan pemberitaan di televisi mengenai berbagai macam tindak
kejahatan yang dilakukan manusia kepada manusia lainnya dengan berbagai motif
yang bermacam-macam. Tindak kejahatan yang begitu beraneka jenis, seperti
pemerkosaan, pembunuhan, penjambretan, perampokan, penipuan, penculikan,
penjualan narkoba, pembantaian etnis, korupsi dan tentu banyak lagi lainnya.
Semuanya merupakan tindakan yang menguntungkan pelaku dan merugikan korban
secara paksa.
Memang
kejahatan bisa timbul akibat adanya dendam. Mungkin dahulu pelaku pernah
dirugikan oleh korban, jadi ia menuntut balas. Namun, kejadiannya tidak selalu
seperti itu. Tak jarang, si korban bahkan sama sekali tidak mengenal pelaku.
Korban tak tahu mengapa dirinya diperkosa atau dibunuh. Sebuah kelompok suku
juga tak tahu mengapa mereka harus dimusnahkan oleh kelompok lain.
Ada
kalanya kejahatan timbul karena keinginan tak tertahankan pelaku, seperti
pemerkosaan yang tak mampu menahan nafsu birahi kemudian pembunuhan yang
pelakunya tak mampu menahan nafsu amarah. Kejahatan ini terjadi akibat ketidak
mampuan pelaku dalam mengendalikan diri sendiri sehingga secara sadar melakukan
sesuatu yang membuatnya bisa mendapatkan apa yang diinginkan walaupun secara
paksa. Pelaku tentu memahami bahwa yang ia lakukan adalah salah, karena sesuatu
yang dilakukan di luar kendali memang sangat berbahaya. Tindakan ini bahkan
dapat memunculkan kejahatan lain. Misalnya ketika ayah korban pemerkosaan tidak
dapat menerima perlakuan yang dialami putri kesayangannya bisa saja ia menjadi
marah dan berusaha memotong alat kelamin pemerkosa dan kemudian membakarnya
hidup-hidup. Hal ini merupakan sebuah kejahatan dan si Ayah bisa dihukum
penjara. Namun apakah sang ayah tak berhak melakukannya? Apakah penyiksaan yang dilakukan sang Ayah terhadap pelaku pemerkosa
putrinya merupakan sebuah tindakan menuntut keadilan dan dapat disebut sebuah
tindakan yang adil?
Pertanyaan
tersebut tidak akan dijawab sekarang, karena sebelumnya masih ada 2 pertanyaan
lain yang belum terjawab. Mengapa kejahatan muncul? Apakah hanya dikarenakan
nafsu tak tertahankan? Mungkin pada beberapa tindak kejahatan hal ini masuk
akal namun bagaimana dengan tindak kejahatan lain?
Korupsi
merupakan sebuah bentuk tindak kejahatan namun memiliki sifat yang berbeda
dengan pemerkosaan. Dalam kasus pemerkosaan sudah sangat jelas bahwa sang
pelaku tak dapat menahan nafsu birahi dan akhirnya melampiaskan nafsunya secara
paksa kepada pihak lain. Sedangkan korupsi adalah tindakan yang merugikan
organisasi/negara. Tindakan ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang menjadi
bagian dalam suatu organisasi. Pelaku korupsi memakan harta yang bukan haknya
dan merugikan organisasi dengan tujuan memperkaya diri. Ini adalah hasrat untuk
memenuhi keinginan memiliki banyak harta, motifnya bisa karena ingin dihargai
oleh orang lain karena kekayaannya, membeli banyak kemewahan atau sekedar untuk
biaya kelahiran anak pertamanya. Dalam hal ini maka kejahatan memiliki 2 motif
yaitu nafsu dan kebutuhan. Memperkaya diri sendiri merupakan nafsu sedangkan
memenuhi biaya persalinan anak pertamanya merupakan kebutuhan. Terlihat bahwa
tindakan kejahatan ternyata bisa terjadi karena adanya kebutuhan mendesak yang
harus dipenuhi pelaku dalam waktu singkat.
Tentu
seorang suami harus melindungi istrinya dalam berbagai keadaan. Ketika nyawa
sang istri berada dalam bahaya akibat proses kelahiran anak pertama mereka yang
ternyata harus dilakukan secara caesar dan membutuhkan biaya tak sedikit yang
harus dibayarkan dalam waktu singkat sedangkan anda tak memiliki cukup uang
bahkan jauh dari mencukupi apa yang akan anda lakukan? Mungkin anda akan
mencari pinjaman kepada keluarga dan teman serta tetangga. Tapi ketika anda tak
mendapatkannya apa lagi yang anda lakukan? Mungkin menjual atau menggadaikan
beberapa barang berharga, tapi bagaimana bila anda tidak memiliki barang
berharga? Di sini muncul sebuah kebingungan yang amat sangat. Tak ada pinjaman
dan tak ada barang berharga untuk di jual, lalu apa yang akan anda lakukan
untuk menyelamatkan nyawa istri anda yang tercinta? Dalam keadaan bingung dan
sendirian kemudian anda mencuri harta orang lain yang anda anggap sebagai orang
kaya raya di kota anda. Kemudian dengan harta curian anda membayar biaya
persalinan, selamatlah istri dan anak pertama anda. Sebenarnya anda hanya
mengambil sesuai kebutuhan untuk biaya persalinan, tidak lebih. Hanya demi
menyelamatkan istri dan anak sedangkan yang anda curi adalah orang kaya raya
yang menimbun hartanya hingga hitungan miliar dan memiliki aset dimana-mana.
Apakah tindakan anda tersebut layak dihukum? Mungkin itu adalah kejahatan, tapi
apakah kejahatan yang anda lakukan layak mendapatkan hukuman? Adakah kejahatan yang tidak perlu dihukum?
Bila jawabannya adalah iya, maka itukan salah satu bentuk keadilan atau hanya
sekedar kesalahan penerapan keadilan akibat rasa kasihan? Bisakan keadilan memiliki perasaan seperti rasa kasihan untuk kasus di
atas atau keadilan adalah sesuatu yang mati rasa dan menilai segalanya berdasarkan
kerugian yang menimpa orang lain? Ataukan kita harus melihatnya dengan sebuah
perspektif yang berbeda. Mari kita fokuskan pada kasus yang baru saja kita
lewati dan perjelas dengan lebih mendalam.
Uji
Kasus
Pak
Sudibyo merupakan seorang pedagang makanan anak-anak di sebuah sekolah dasar
yang baru menikah 1 tahun lalu. Ia berasal dari keluarga dengan kemampuan
ekonomi rendah dan hanya mengenyam pendidikan sampai jenjang Sekolah Menengah
Atas (SMA). Ayahnya buruh serabutan dam ibunya berjualan bubur kacang hijau di
depan rumah. Istrinya bernama Suparti yang tidak bekerja.
Mereka
hidup di kota A, sebuah kota yang memiliki ketimpangan ekonomi sangat tinggi.
Banyak mobil mewah berlalu lalang ditengah ribuan sepeda motor, angkutan kota
dan bus bobrok. Rumah dan apartemen mewah berdiri menjulang tinggi tak jauh
dari pemukiman kumuh dengan rumah berukuran 3x4 meter dan huni satu keluarga.
Orang kaya makan lahap bahkan kekenyangan sedangkan banyak lainnya kelaparan
hingga harus ngelem untuk menghilangkan rasa lapar. Di kota ini segalanya harus
di bayar dari mulai kencing, parkir, pendidikan apalagi kesehatan yang
menyangkut nyawa manusia. Tidak ada subsidi dari pemerintah kota untuk orang
miskin dalam hal pendidikan dak kesehatan. Semua ditanggung oleh penduduk kota
sendiri. Tak sedikit penduduk miskin di tolak rumah sakit akibat tak memiliki
dana untuk membayar biaya pengobatan.
Tak
lama kemudian Suparti hamil lalu tibalah masa untuk melahirkan. Dengan uang
simpanan ia membawa Suparti kerumah sakit. Ternyata di rumah sakit tersebut
Suparti mengalami kelainan pada janin dan harus menjalani operasi caesar dengan
biaya tambahan. Sudibyo berusaha mencari pinjaman namun tak dapat, ia pun
mencari barang berharga untuk dijual. Usahanya ternyata hanya sia-sia karena ia
tak punya aset untuk dijual. Dalam keadaan putus ia, ia melihat Pak Robert
melintas dengan mobil mewahnya. Setelah Pak Robert keluar dari mobil dan menuju
toko dekat di situ Pak Sudbyo segera mendatangi Pak Robert dan meminjam uang
namun gagal. Akhirnya ia masuk ke mobil Pak Robert dan mengambil uang sebanyak
Rp.5.000.000. Ia gunakan uang tersebut untuk membayar rumah sakit guna segera
mengoperasi istrinya. Tak lama istri dan anaknya selamat tapi kemudian ia harus
dipenjara karena mencuri.
Ini
adalah hal yang pernah terjadi dalam kehidupan nyata. Adanya si miskin dan si
kayan dengan jurang perbedaan kekayaan yang begitu besar, pemerintah yang tak
peduli pada rakyat dan rumah sakit yang hanya mau bekerja bagi pemilik uang.
Tiga hal ini berdiri tegak dan juga ikut menjadi penyebab Pak Sudibyo harus
mencuri uang demi istri dan anaknya. Apabila si kaya berbaik hati memberikan
pinjaman atau bahkan santunan demi Sudibyo maka ia tak harus mencuri. Bila ada
subsidi kesehatan maka Sudibyo juga tak jadi mencuri. Namun, dapatkan orang
kaya yang pelit, pemerintah tak bertanggung jawab dan rumah sakit yang
matrealistis ikut dipersalahkan atas tindak kejahatan Sudibyo? Apakah Sudibyo
seharusnya membiarkan saja istri dan anaknya meninggal daripada harus mencuri?
Sabtu, 10 November 2012
SECUIL NUANSA SURGA DI GUCI TEGAL
KOMPAS, SELASA 16 OKTOBER 2012
PESONA
NUSANTARA
Air panas alami guci, sebagai daerah wisata
di lereng Gunung Slamet, Jawa Tengah, terletak pada ketinggian sekitar 1500 meter di atas permukaan laut.
Selama ini, wisatawan yang berkunjung ke Gucitertarik pada dua hal, yakni air
panas alami serta suasana alamnya yang sejuk dengan udara dingin.
Kawasan
wisata seluas 125 hektar ini, yang lokasinya mirip sendok, berada di sebuah
jalan buntu di kampung Guci, Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal atau sekitar
47 kilometer dari kota Tegal. Obyek wisata ini memiliki air terjun dan sumber
mata air panas yang mengalir deras di beberapa anak sungai.
“Ibarat
hikayat surga selalu mengalir sungai di bawahnya. Rasanya Guci ini seperti
secuil surga yang terlempar ke bumi,” kata ny Ikmah, warga Tegal yang selalu
menyempatkan berwisata ke Guci setiap Idul Fitri.
Air
beberapa sungai dan anak sungai di Guci memang jernih. Sebuah keistimewaan,
airnya panas alami. Kondisi ini jadi andalan. Lazimnya air panas bumi
mengandung belerang. Namun, air panas di guci justru bersih. Air panas itu
terasa kontras dipadukan denga suhu rata-rata udara di kawasan itu yang selalu
kurang dari 20 derajat celcius.
Air
panas itu mengalir dari sumber air, antara lainyang dinamai Jedor, Sigedong,
Pengantian, Kembar, Capit Urang, Sengang, Konyal, Kesepuhan, Pengasihan, dan
Teyeng. Sumber air atau tuk itu
terpelihara sehingga meski kemarau, airnya masih mengalir jernih.
Dari
sejumlah lokasi pemandian air panas, terdapat lokasi favorit wisatawan, yaitu
kolam alami pancuran 13, pancuran 7, dan pancuran 5. Lokasi ketiga pancuran ini
berdekatan di bawah air terjun Sigedong dan Kembar.
“Keluarga
kami lebih suka mandi di pancuran yang alamnya terbuka. Anak-anak paling suka
mandi seolah di sungai, airnya mengalir deras. Mereka puas bermain air tanpa
takut kedinginan,” ujar Kuncoro, warga Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, yang
beberapa saat lalu ditemui tengah berwisata bersama keluarga di guci.
Walau
dini hari, Kuncoro tak ragu mengajak dua anaknya, Hanif dan Nurul, mandi di
kolam pancuran 13. Banyak wisatawan lain juga melakukan hal yang sama. Jarak
kolam pancuran dengan hotel tempat wisatawan menginap itu hanya sekitar 500
meter. Seiring kabut turun, air panas di kolam itu langsung menghangatkan
badan.
Wisatawan
yang ingin privasi dapat mandi di pemandian kamar tertutup, dengan membayar
Rp.5.000 untyuk durasi 30 menit. ”Pengunjung yang mandi di kamar tertutup
diseleksi. Mereka yang menderita asma dan sakit jantung dilarang,” jelas Karno,
pegawai di kompleks wisata Guci.
Berkah
dari Kendi Sunan
Air
panas di Guci memberikan berkah bagi warga sekitar dan juga pemerintah
Kabupaten Tegal. Dalam setahun, obyek wisata ini memberikan pendapatan daerah
sekitar Rp 2 milliar. Hasil ini dari kunjungan sekiatr 22.000 wisatawan per
bulan.
Seiring
dengan wisata Guci yang ramai, tentu juga mendorong ekonomi warga setempat.
Misalnya, usaha Ny Ika dengan mengelola pondok wisata, rumah yang disewakan
setelah mendapatkan izin usaha dari Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Guci,
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tegal. Pondokan disewakan Rp.400.000
per malam. Pada akhir pekan, tarif pondok itu naik 30 persen.
Air
panas di Guci diyakini wisatawan amat baik untuk terapi menghilangkan nyeri
atau penyakit kulit. “Dari cerita turun-menurun, khasiat air panas guci ini
tiada lain berkah dari doa Sunan Gunungjati,” kata Zaenal, warga setempat.
Lokasi
ini semula bernama Kampung Keputihan atau tempat belum terjamah. Suatu ketika,
di kampung ini terjadi paceklik, bencana. Berbagai penyakit menyerang warganya.
Tanaman pun diserbu hama. Datanglah Syekh Elang Sutajaya, utusan Sunan
Gunungjati, Cirebon, Jawa Barat.
Syekh
Elang tiba di Keputihan sambil membawa air yang sudah didoai oleh Sunan
Gunungjati dalam gentong kecil (guci). Alhasil, bencana itu berlalu. Warga pun
memohon agar Sunan Gunungjati memberi doa sehingga air panas yang mengalir di
sungai kampung bisa sebagai obat penyembuh penyakit. Sejak saat itu, Kampung
Keputihan berganti nama menjadi Kampung Guci.
Guci
peninggalan Syekh Elang kini di Museum Nasional, Jakarta. Guci itu dipindah
penyimpanannya semasa pemerintahan bupati Brebes Raden Cakraningrat.
Jalanan
satu arah
Untuk
mencapai kawasan pemandian air panas alami Guci, wisatawan bisa memakai bus
umum dari Semarang atau Cirebon, dan turun di Kota Tegal. Dari Tegal lalu naik
angkutan minibus menuju Desa Tuwel, dengan perjalanan sekitar satu jam. Dari
Desa Tuwel lalu naik ojek atau angkutan bak terbuka menuju Guci. Tarif sewa
ojek dari Tuwel ke Guci Rp.30.000 per orang. Biaya sewa mobil bak terbuka
Rp.10.000 per orang.
Untuk
wisatawan yang mengendarai sepeda motor atau mobil pribadi, tentu saja lebih
mudah. Lokasi wisata ini bisa diakses dari Kota Tegal, Purwokerto atau
Purbalingga di Jawa Tengah.
Namun,
Kepala UPTD Guci, Sutanto Karno, mengakui, sarana jalan masih jadi kendalauntuk
pengembangan obyek wisata itu. Selama ini, jalan bagi wisatawan yang akan masuk
ataupun keluar dari Guci masih satu jalur.
Pemkab
Tegal akan membuat jalan lingkar, yang memisahkan arus lalu lintas masuk ke
Guci dengan yang akan meninggalkan obyek wisata itu. Bila jalan lingkar itu
terwujud, tentu kenyamanan ini akan mendongkrak jumlah pengunjung ke pemandian
air panas alami guci.
Walaupun
demikian, pengelolaan wisata air panas alami Guci tetap terus mengembangkan
fasilitas rekreasi di kawasan itu sehingga wisatawan tak melulu hanya menikmati
air panas. Dengan penambahan fasilitas itu, diharapkan wisatawan bisa lebih
lama tinggal di Guci.
Fasilitas
wisata yang banyak diminati anak-anak adalah naik kuda. Kini, ada 43 ekor kuda
terlatih yang siap mengantar wisatawan menikmati lingkungan Guci. Supaya
kegiatan naik kuda tidak mengganggu wisatawan lain, dibangun pula rute kuda.
Tarif naik kuda untuk jarak dekat Rp.10.000 per orang. Untuk jarak jauh,
berkeliling di kawasan Guci sekitar Rp.50.000.
Dengan
beragam tambahan fasilitas, Guci diharapkan benar-benar seperti secuil surga.
Jumat, 09 November 2012
RIWAYAT TANAH PARA PEMABUK
Perilaku mabuk-mabukan
punya riwayat panjang di negeri ini. Umumnya berkait tragedi, kekelaman dan
kehancuran. Minuman keras-sarana mabuk-biasa menjadi suguhan istimewa dan wajib
dalam pesta. Dan mabuk menjadi semacam agenda rutin atau “kewajiban” dalam berbagai perayaan
kemenangan perang, judi, taruhan, maupun sekedar pesta kalangan kerajaan.
Goyangan, ngelantur, ocehan, sumpah serapah dan
umpatan sering menjadi efek ikutan ketika individu atau sekelompok orang sedang
mabuk. Terlebih jika kondisi itu diiringi tetabuhan, merdu sinden, atau musik
cadas dan dangdut pada masa sekarang. Mabuk jadi situasi paling ampuh dan
menyenangkan untuk membuat seorang lupa: pada apa pun yang saat itu pemabuk
ingin lupakan.
Sejarahnya,
sumber gula beraneka ragam di Nusantara memungkinkan penduduk membuat berbagai
jenis minuman keras. Negarakertagama mencatatbahwa di era Majapahit, tuak dari
kelapa, dari pohon lontar, arak yang disuling dari pohon aren, hingga tape
menjadi menu setiap pesta dihelat. Kuantitas suguhan minuman keras merupakan
indikator kemeriahan pesta, bahkan kelas sosial.
Kebiasaan
semacam itu seperti menciptakan reputasi di berbagai komunitas tradisional
negeri ini. Hikayat Hang Tuah menyebut, orang Jawa pra-Islam punya reputasi
sebagai peminum berat. Minuman keras jadi media beramah-tamah dalam pesta. Pada
kehidupan sehari-hari, mereka mengunyah campuran sirih, buah pinang dan kapur
(nginang) berkadar alkohol rendah sebagai media pelunak interaksi sosial.
Minuman keras atau jenis madat lain dengan kadar alkohol lebih tinggi harus
dibeli lebih mahal.
Mabuk
dan Surup
Rasa
“nikmat” dan efek psikologis maupun fisiologis yang dihasilkan minuman
memabukkan itu membuatnya tenar. Rasa yang khas mempercepat detak jantung,
menumbuhkan keberanian, hingga membuat si peminum lupa. Bahkan, menjadikannya
candu. Efek pembuat lupa ini, pada beberapa etnik, dijadikan stimulan para
dukun untuk berkomunikasi dengan dunia supranatural dalam berbagai ritual
mistisnya. Mabuk adalah cara menjadi (ke)surup(an).
Situasi
surup ini, catatan Anthony Reid (1992), kadang mendapatkan makna spiritual,
bahkan religius, ketika para dukun dianggap dapat berhubungan dengan leluhur.
Seperti saat dukun berkomunikasi dengan orang mati. Huntington dan Metcalf
(1979) menyatakan, sehubungan dengan praktek penguburan sekunder, ada hubungan
(bawah sadar) antara bangkitnya roh dari jasad mati denngan pembuatan arak
lewat peragian beras.
Berdasarkan
sakral semacam itu, mabuk bukan hanya diterima masyarakat tradisional sebagai
perilaku “legal”, tapi juga menyetujuinya sebagai kebiasaan sosial atau produk
tradisi permanen. Minuman keras atau alkohol menjadi kelumrahan konsumtif pada
saat sebuah komunitas menjalankan/memelihara interaksi sosial warganya.
Kehadiran
agama baru yang melarang konsumsi minuman keras butuh waktu untuk dipahami,
diterima, namun gagal memberantasnya. Hadirnya kolonialisme plus tawaran aneka
jenis minuman memabukkan memperparah keadaan ini.
Keterpurukan
Pemabuk
Akibat
negatif dari para pemabuk ini ditulis dalam Hikayat Hang Tuah. Konon, Hang Tuah
mampu meloloskan diri dari tawanan tentara Majapahit karena mereka mabuk
alokohol dalam pesta kemenangan. Kisah yang mengajarkan bagaimana kegarangan
dan keperkasaan, bahkan sebuah peradaban, takluk oleh mabuk.
Pemabuk
pribumi era kolonial punya riwayat lebih buruk dalam laku mabuknya dibanding
leluhurnya. Mabuk karena minuman keras atau madat ternyata semata untuk
pemuasan hasrat, demi kesenangan, melupakan masalah dan memuaskan nafsu
kecanduan itu sendiri.
Peter
Carey (2011) menyebut, penduduk memperoleh madat dari orang Cina penjaga
gerbang pajak. Mereka membeli madat dengan uang upah kecil hasil kerja di
perkebunan kolonial. Sisa uangnya dihabiskan di meja judi.
Menang
di meja judi, mereka berfoya-foya membeli madat, minuman keras dan perempuan.
Perilaku yang hingga detik ini masih terjadi, termasuk di perkebunan-perkebunan
negeri tetangga, di mana rakyat negeri ini bekerja dan berusaha.
Mabuk
pun menjadi sumber tegangan antara hidup, penderitaan dan kematian. Mabuk
adalah candu yang menjadi hiburan, pelarian dari ingatan atau kondisi yang
tidak diinginkan, atau pada berbagai situasi menjadi sarana menciptakan
khayal/ilusi pencipta mimpi sosial mereka. Dan, demi peristiwa yang terjadi
semalam saja itu, upah sebulan dikorbankan.
Itulah
keadaan yang dianggap menguntungkan oleh kolonialis pada masa lalu. Bisa jadi,
itulah keadaan saat ini. Keadaan di mana keberadaan kolonialis pun tak
diketahui. Karena mabuk. Ya, karena mabuk.
ADI
PURNOMO
Peneliti di Paradigma Institute, kudus
KOMPAS, KAMIS 8 NOVEMBER 2012
Langganan:
Postingan (Atom)